Konflik Portugal-Utsmaniyah
Perang Portugis-Utsmaniyah [6][7] adalah konflik militer antara Kekaisaran Portugis dan Kesultanan Utsmaniyah (Turki Utsmani) yang berlangsung di Samudra Hindia, Afrika, Timur Tengah dan Mediterania sepanjang abad ke-16. Kekuatan Eropa lainnya membantu Portugis pada beberapa pertempuran di mediterania, sedangkan Utsmaniyah bersekutu dengan kekuatan muslim lainnya seperti India, Kesultanan Mamluk (Kairo), Kesultanan Mughal, Kesultanan Adal, Somalia, dan Kesultanan Aceh pada sebagian besar pertempuran di Samudra Hindia, yang merupakan pentas utama perperangan ini. Latar belakang PortugisPada tahun 1249 Portugis merebut kembali wilayah yang membentuk Kekaisaran Portugal dengan mengusir permukiman Moor terakhir di Algarve. Pada awal abad ke-15, pasukan Portugis merebut kota Ceuta di sepanjang wilayah yang sekarang Maroko.[8] Ini merupakan era dimana para navigator Portugis melakukan penjelajahan ke selatan di sepanjang pantai Afrika.[9] Penjelajahan ini menuntut Portugis untuk menyebarkan kekuatan armada yang tangguh. Menurut profesor John C. Marshman, "selama abad keenam belas kekuatan maritim Portugis menjadi yang paling tangguh di belahan timur, meneror setiap negara di daerah pesisir."[10] Menurut sejarawan kekuatan maritim ini menjadikan Portugis sebagai World Power pertama dalam sejarah dan terdepan dalam Ekonomi Global sejak akhir abad ke-15 hingga ke-16 karena Emas Afrika dan rempah-rempah Asia.[11] Otoritas terkemuka Charles Boxer menyimpulkan mengenai Kekaisaran Portugis: "Pada abad ke-16, Portugis mendominasi sebagian dari Planet ini dan perdagangannya lebih unggul dibanding negara lainnya". "Celakanya bagi negeri Timur, Portugis mewarisi ketangkasan militer abad pertengahan dan mencapai puncaknya sejak fase terakhir abad pertengahan ... kapal-kapal mereka memiliki artileri terbaik yang pernah dihasilkan di Eropa."[12] Sejak tahun 1498, para kapten seperti Vasco da Gama, Pedro Álvares Cabral, Francisco de Almeida, dan Alfonso de Albuquerque turut memecut ambisi yang tumbuh dalam kekaisaran yang kuat ini. Latar belakang UtsmaniyahBangsa baru yang kuat tersebut juga menebarkan aura "teror" di Samudera Hindia. Satu-satunya kekuatan yang sanggup menghadapinya adalah Kesultanan Utsmaniyah (karena mereka terlibat nyaris di semua pertempuran melawan Portugis pada abad ke-16). Tetapi sejak awal abad ke-16, kekuatan Muslim ini sudah mengalami dampak kemunduran ekonomi akibat kedatangan orang Eropa pertama. Sejarawan India P. Malekandathil mengatakan "Upaya Portugis untuk memonopoli perdagangan di timur dengan menyalurkan komoditas ke Eropa melalui rute Cape dimulai dengan mengorbankan Utsmaniyah serta mengurangi aliran kekayaan ke Utsmaniyah."[13] Sebagai akibatnya, Kesultanan memulai deretan perlawanan untuk menangkal kekuatan Portugis di Samudera Hindia dan di daerah pesisir. Utsmaniyah "mencium marabahaya politik di lingkungan mereka. Hingga 1515, Eropa menjadi musuh utama Turki yang berasal dari barat. Tetapi pada tahun tersebut dengan penaklukkan Hormuz (yang terletak di timur Kesultanan) oleh orang Lusitan, Utsmaniyah menyadari mereka telah dikelilingi oleh orang-orang Eropa, yang sebenarnya adalah sinyal peringatan kepada Utsmaniyah. Tekanan ekonomi yang terus terjadi serta ancaman-ancaman politik yang muncul dari ekspansi Eropa membuat Utsmaniyah mengalihkan perhatian mereka ke wilayah politik Samudra Hindia."[14] Turki menganggap Portugis sebagai ancaman besar terhadap monopoli mereka di daerah tersebut. Profesor G. Casale menyatakan: Utsmaniyah melancarkan "perlawanan ideologis, militer dan perdagangan secara sistematis melawan Kekaisaran Portugis, pesaing utama mereka dalam rangka menguasai rute perdagangan di maritim Asia."[15] PerangDeklarasi perangKeadaan Perang antara Utsmani dan Portugis dilihat tidak hanya dari banyaknya pertempuran yang mereka lakukan selama abad ke-16, tetapi terutama ketika kita merujuk kembali ke sumber-sumber utama Portugis yang disimpan Arsip Nasional Torre do Tombo di Lisboa. Salah satu sumber paling penting adalah Comentários do Grande Afonso Dalboquerque, yang diterbitkan pada tahun 1576, di Lisboa, oleh gubernur Estado da Índia, Afonso de Albuquerque. Dalam dokumen ini ia menyatakan secara eksplisit bagaimana Portugis menyatakan perang melawan Turki awal 1510 ketika ia memimpin penaklukan Portugis atas Goa: "...lhe daria a governança das terras de Goa, porque fará ali e fizera sempre guerra aos Turcos (di sana dia akan selalu berperang melawan orang-orang Turki) e por duas vezes fora cercada deles, sendo de gentios, a defendêra como muito valente cavaleiro."[16] Kemudian dia mengatakan bahwa orang Turki "eram inimigos capitães dos Portugueses" (musuh utama Portugis).[16] Dia tidak hanya menegaskan Keadaan Perang dengan Turki tetapi juga menambahkan dimensinya: "Além de senhorar os mares da Índia, também as tuas armadas corriam o mar de Levante, e que de uma parte, e da outra fazia guerra ao Turco, e o grande Sultão." (Selain lautan India, armada Anda juga menavigasi Laut Levantine, di satu sisi dan di sisi lainnya, berperang melawan orang Turki, dan Sultan agung).[17] Selain tulisan Afonso de Albuquerque, beberapa bukti lain yang dimiliki "Arsip Nasional Torre do Tombo, menyangkut kegiatan-kegiatan Portugis di Asia dan tentunya mengenai perselisihan Utsmaniyah-Portugis...Cartas de Ormuz a D. João de Castro (surat-surat dari Hormuz, benteng Portugis di Teluk Persia, kepada Raja Muda Portugis India, 1545-48)".[18] Catatan sejarawan kontemporer dan Kesatria Diogo Couto (juga milik Arsip Nasional Torre do Tombo) sangat berguna jika ingin memahami seputar konflik panjang ini. Dia menulis dalam Da Asia, parte II, Bab IX: "Foram chamados os capitães a conselho sobre a guerra que se havia de fazer aos Turcos." [19] (Para kapten dipanggil untuk memberi nasihat mengenai perang yang akan dilakukan melawan Turki.) AlasanPertikaian militer antara Portugis dan Utsmaniyah pecah terutama karena permasalahan ekonomi. Isu-isu ini menyebabkan serangkaian konflik jangka panjang yang berlangsung hampir sepanjang abad ke-16.[20] Kedatangan Portugis di Samudra Hindia mengusik siklus perdagangan dan monopoli kekuatan timur,[21] terutama Kesultanan Utsmaniyah yang menjadi negara adidaya muslim pada masa itu. Portugis membawa perubahan ekonomi dan politik serius yang tidak hanya mempengaruhi para khalifah Muslim, tetapi juga seluruh dunia. Sejak awal abad ini, orang-orang Portugis mampu mengendalikan aliran perdagangan dalam sumbu Timur/Barat. Sehingga Portugis dapat memblokir rute laut ke India melalui Mediterania. Dalam waktu yang singkat, Kekaisaran Portugis merebut pusat-pusat perdagangan yang penting di Afrika Timur (Sofala 1505, Kilwa 1505, Mozambik 1507); Laut Merah (Sokotra 1507); Di muara Teluk Persia (Ormuz 1514, Bahrain 1521); di pantai barat India (Kochi 1503, Kannur 1505, Goa 1510, Diu 1534, Bassein 1534) dan selat Malaka (1511). Kepulauan yang kaya akan rempah-rempah di Maluku, serta Indonesia dan Mauritius juga dikuasai pada 1512. Satu tahun kemudian, menyerang China. Pulau Makau Cina diduduki oleh Portugis pada tahun 1557 (dan tetap menjadi negara Portugis sampai tahun 1999). Orang Portugis adalah orang Eropa pertama yang tiba di Jepang (1543), dan mendirikan pos perdagangan di sana pada 1570.[22] Oleh karena itu, tidak mengherankan jika perubahan besar dalam politik di Afrika dan Asia akan berakhir dengan peperangan. Alasan-alasan itulah yang menyebabkan pertempuran besar pertama antara Utsmani dan Portugis. Awal 1506, Utsmani dan sekutunya melawan Portugis dalam Pertempuran Kannur yang terkenal.[23] Pertempuran inilah kelak menciptakan rangkaian skenario konflik di antara kedua kekuatan tersebut. Sejarawan India K. K. N. Kurup menjelaskan dalam pertempuran ini, "Tiga kerakah Portugis dan sebuah karavel membombardir enam puluh kerakah dan ratusan paraus juga zabuqs...Artileri Portugis memainkan peran penting dengan dibantu senjata besar yang dipasang di dinding benteng di Kannur serta menewaskan lebih dari 3.000 orang.. Ini yang menentukan kemenangan Portugis." Juga sejarawan Bailey W. Diffie, mengatakan bahwa kerakah muslim bertabrakan dengan "skuadron Portugis yang diperintahkan oleh putra Vicero'y Lourenço. Di sana diikuti pertempuran yang berkepanjangan di mana berkumpulnya awak kapal Hindu, Arab, dan Turki."[24] Menariknya, pertempuran ini memiliki pola yang terus berulang di setiap pertempuran berikutnya. Kekuatan MiliterKekuatan tentaraDi satu sisi, Utsmani memiliki keunggulan yang luar biasa tidak hanya dari dalam kerajaan saja tetapi juga dari kalifah muslim lainnya yang sangat mendukung mereka, juga sebaliknya. Utsmani mampu mengumpulkan tentara dalam jumlah besar dari luar Kesultanan.[25] Ini terbukti saat Kejatuhan Konstantinopel: "Sultan Mehmed II mengepung kota tersebut pada awal April dengan kekuatan 75.000 dan 100.000 pasukan dan sebuah armada besar.[26] Kekuatan tentara yang besar ini sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah tentara Eropa yang mempertahankan kota tersebut: "Itu merupakan pertahanan garnisun yang buruk, di bawah Kaisar Konstantinus XI Palaiologos, berjumlah sekitar 8.000 orang."[26] Demikian pula, Kekaisaran Portugis memiliki jumlah pasukan yang sangat terbatas dan jarang didukung oleh sekutu-sekutu penting di Timur. Portugal, saat itu memiliki sekitar 1 juta orang, dan dengan ditemukannya Brasil, warganya diberikan peluang baru untuk berimigrasi. Selain itu, banyak orang Portugis yang meninggal karena penyakit di Timur.[27] Sebagai perbandingan, Kesultanan Utsmaniyah pada dekade pertama abad ke-16 memiliki populasi sekitar 13 juta orang,[28] sementara Portugis sekitar 1 juta orang.[29] Oleh sebab itu, tenaga manusia merupakan kekurangan besar di pihak Portugis. Dalam konteks ini, Pertempuran Diu (1509) adalah contoh bagus yang mengarahkan kita pada skenario tersebut. K. K. N. Kurup memberitahukan bahwa dalam pertempuran ini "Armada Turki yang terdiri dari 2.000 orang di bawah Amir Husain dari Laut Merah berlayar menuju Diu untuk bergabung dengan pasukan Malik Ayyaz dan para penguasa pantai India lainnya.. Di sisi India, Malik memimpin armada yang terdiri dari orang-orang Gujarat, Bijapur Ahmednagar dan Calicut. Rombongan Amir Husain terdiri dari orang Mesir, Venesia, dan lainnya yang bekerja sama dengan armada India...menghadapi Armada Portugis di Diu dan berjuang mati-matian. Sekitar 6.000 tentara gabungan tersebut berjuang melawan Portugis dalam pertempuran ini. Kemudian sejarawan beralih ke pasukan Portugis, yang terdiri dari "sembilan belas kapal dan 1.200 orang."[30] Sejarawan Willian Weir menegaskan kembali angka-angka ini: "Husain kembali dengan lebih banyak kapal. Kebanyakan adalah galai-galai yang memasang tiga meriam di atas paruh perunggu besar yang digunakan untuk menyeruduk. Ada 200 kapal, ribuan pendayung, dan 1.500 tentara menaiki kapal musuh. Selain pedang dan tombak, para prajurit membawa busur atau pemantik api. Mereka memiliki jepitan besi untuk merampas kapal musuh dan belanga api untuk dijatuhkan di dek mereka...Ketika orang-orang Muslim kembali, Almeida memiliki 17 kapal."[31] Kekuatan armadaDalam Pertempuran Diu (1509) "sekitar 1.500 prajurit dari pasukan gabungan terbunuh" memperlihatkan contoh bagaimana Portugis mampu mengatasi kelemahannya dari segi jumlah selama perang tersebut: kekuatan armada yang ulung. Meskipun Utsmaniyah dan sekutunya lebih unggul dalam jumlah pasukan maupun kapal, mereka secara militer tidak seefisien Portugis. Kesimpulan ini dijelaskan oleh profesor Geoffrey Parker: "Untuk masalah strategi armada laut yang dihadapi kekuatan Iberia pada abad keenam belas sama sekali berbeda dengan mereka yang menghadapi Inggris. Negara-negara yang berbatasan dengan Laut Utara dan Saluran, di mana banyak pelabuhan air yang dalam dengan teater operasi yang relatif kecil, bisa mengandalkan senjata-senjata besar dan berat untuk pertahanan. Tetapi Portugal dan Spanyol mengharuskan orang-orang yang berperang mampu berlayar ke lautan yang jauh, melewati lautan yang ganas untuk berdagang dan menghancurkan kapal-kapal musuh yang beroperasi tanpa izin mereka. Sehingga memerlukan kapal yang serbaguna, dan butuh waktu bertahun-tahun sebelum 'jalur kecil' Columbus dan Vasco da Gama membuka jalan bagi kapal laut perang yang dikenal sebagai galiung."[32] Dia menjelaskan bahwa "kapal perang yang paling modern adalah skuadron galiung Portugis, yang dalam waktu normal, berhasil mengawasi kerajaan dimana matahari tak pernah tenggelam." Dengan demikian, Kekaisaran Portugis memperkenalkan pola baru dalam peperangan laut ke dunia, khususnya Asia. Portugis adalah pionir dalam pengembangan teknologi militer armada laut yang canggih. Sejarawan K.M Mathew mengatakan "Pada abad ke-15, para pembuat kapal Portugis membuat kemajuan besar khususnya dalam pembuatan karavel. Kapal perang baru mengandalkan kualitas pelayarannya, kemampuan manuver dan kekuatan senjatanya. Bahkan, pembuatan kapal dan peralatannya untuk pelayaran India merupakan minat khusus bagi penguasa Portugis...Mereka melakukan banyak hal untuk memperhebat senjata api dan beberapa armada jenis baru ke India untuk berbagai tujuan." Penulis Muslim Syed Ramsey juga mengakui bahwa kekuatan armada Portugis adalah "keunggulan Portugis atas lawan mereka di Samudra Hindia, hingga pada tingkat yang cukup besar (dari segi kuantitas dan kualitas), pada pesaing Eropa mereka di Atlantik - melebihi sebagian besar armada laut di dunia - dan raja Portugis terhindar dari biaya pengadaan dan produksi senjata armada laut terbaik yang diizinkan teknologi Eropa." Penulis tersebut mengatakan bahwa Raja John II dari Portugal "Pada 1489 memperkenalkan tim-tim artileri terlatih pertama yang terstandardisasi pada setiap kapal." Dia menyimpulkan: "Raja Portugis memanfaatkan teknologi meriam terbaik yang tersedia di Eropa, khususnya meriam perunggu terbaru, lebih tahan lama dan lebih akurat, yang dikembangkan di Eropa Tengah."[33] Juga menurut sarjana Jeremy Black, "Peperangan armada Abad Pertengahan awalnya didominasi pertempuran jarak dekat (mendatangi dan menaiki kapal musuh). Lahirnya senjata api, menyebabkan pergeseran ke arah taktik di mana kapal tidak lagi bersentuhan langsung dan menaikinya pun menjadi mustahil. Portugis adalah yang pertama secara sistematis mendayagunakan meriam berat untuk aksi-aksi mengelak melawan musuh-musuh yang lebih unggul, sebuah perkembangan yang sering salah diklaim bagi Inggris." [34] Secara umum, galiung Portugis memiliki 35 meriam.[35] Tapi salah satu Galiung portugis yang dikenal dengan sebutan Botafogo, "dikatakan dilengkapi dengan 366 senjata" [36][37] dan berperan penting dalam Penaklukan Tunis (1535). Batofogo, yang awalnya dibaptis oleh São João Baptista, merupakan Galiung terbesar di Eropa.[38] Selain itu, Portugis juga memiliki kapal terbesar di dunia yang disebut Padre Eterno (Bapa Kekal) yang mampu membawa kargo seberat 2.000 ton.[38] Ekspresi kekuatan armada laut ini mempengaruhi tempat lain di Afrika atau Asia dan tentu saja membantu meningkatkan "teror" Portugis atas wilayah Timur yang mereka dekati, khususnya karena banyak kapal dari Timur yang tidak memiliki senjata.[39][40] Hanya dengan melihat gambar-gambar klasik kapal Portugis dan Utsmaniyah saat itu (disajikan di atas) dan membandingkannya, dapat dipahami bagaimana keunggulan militer Portugis di lautan. Jadi, sekali lagi, alasan utama keberhasilan Portugis melawan Utsmaniyah, menurut profesor G. Modelski, adalah Keuatan Armada mereka.[41] Benteng: Senjata AmfibiPembangunan benteng adalah elemen kunci lain dalam keberhasilan Portugis di Samudera Hindia. Benteng-benteng ini adalah senjata yang serbaguna yang mampu melindungi dan mengamankan lautan maupun daratan yang dikendalikan oleh Portugis. Penulis Roger Crowley, mengatakan "keahlian teknologi dalam pembangunan benteng .... memfasilitasi bentuk baru kekaisaran samudra jarak jauh, yang mampu mengendalikan perdagangan dan sumber daya melintasi jarak yang sangat jauh." Liam Matthew Brockey berpendapat sama, mengatakan bahwa "Orang-orang Portugis merencanakan benteng mereka dengan baik ... mengadopsi ide-ide terbaru untuk benteng pertahanan....Mereka sangat sulit ditumpas dan memberikan Portugis kekuatan pertahanan yang hebat."[42] Portugis mampu mengendalikan situs-situs penting dan kemudian melaksanakan "penguasaan atas benteng-benteng utama Samudra Hindia."[43] Tanah Timur yang berbatasan dengan Samudra Hindia dan Afrika melihat lanskap mereka diubah sepenuhnya oleh pembangunan kastil batu Eropa yang dilengkapi dengan meriam perunggu yang sangat efisien dan pasukan artileri yang berpatroli di pantai tersebut. Benteng Jesus di Mombasa adalah salah satu yang paling menonjol dari jenisnya selain benteng-benteng di Goa dan Diu yang masih berdiri sampai saat ini. Benteng-benteng itu tidak hanya mengesankan dalam hal konstruksi militer tetapi juga mampu menahan pengepungan panjang dan daya tahannya yang luar biasa. Kemenangan Portugis atas kekuatan besar Utsmaniyah-Gujarat dalam Pengepungan Pertama dan Kedua Diu (1538 dan 1546) dianggap sebagai salah satu yang paling penting, terutama karena benteng tersebut dirancang secara militer dan kastel yang kuat yang dibangun oleh Orang Eropa. Utsmaniyah mampu melakukan pengepungan terhadap Portugis dalam berbagai kesempatan selama abad ke-16. Misalnya, jumlah pasukan Utsmaniyah/Arab yang mengepung Mazagão (1562) di Maroko sangat banyak: 100.000 prajurit yang didukung oleh 50.000 kavaleri, menurut sumber utama Portugis yang diceritakan oleh Agostinho Gavy de Mendonça, seorang prajurit dan kroni yang selamat dari pengepungan tersebut.[44] Sekali lagi, kualitas militer benteng tersebut sangat penting bagi kemenangan Portugis. Si kroni mengatakan "25.000 musuh terbunuh selama pengepungan tersebut."[45] Pengepungan terkenal lainnya dengan hasil sama adalah Pengepungan Malaka (1568), Pengepungan Hormuz (1552), Pengepungan Bahrain (1559) dan lainnya. Perbandingan KemiliteranDengan kekuatan militernya yang dominan, khususnya pada abad ke-14, Utsmaniyah mampu mengendalikan wilayah yang luas, membangun hubungan diplomatik dengan rakyatnya dan mengumpulkan pasukan untuk pertempuran mereka. Di Timur, khususnya, mereka mendekati masyarakat dan mempersilahkan mereka untuk membangun aliansi yang kuat untuk berjuang dalam perang. Sebenarnya, "Dinasti Utsmaniyah pada abad ke-15 dan ke-16 mampu mengumpulkan tentara yang lebih banyak daripada negara-negara Eropa Barat lainnya."[46] Selain itu, Eropa pada abad ke-14 masih dalam tahap awal kekuatan militer mereka, dan Utsmaniyah melihat kesempatan ini untuk menyerang Eropa Timur dengan tentara yang jumlahnya luar biasa.[47] Jatuhnya Konstantinopel merupakan tanda dari marabahaya yang diwakili Utsmaniyah ke Eropa. Namun, skenario bahaya ini bagi Eropa mulai berubah drastis pada dekade pertama abad ke-15, lebih tepatnya pada 1415, dengan Penaklukan Portugis atas Ceuta, serta bangkitnya Kekaisaran Portugis. Zaman Penjelajahan, yang dipelopori oleh Portugal, menciptakan revolusi teknologi, militer dan politik yang belum pernah ada di dunia sebelumnya. Bukti-bukti tersebut menegaskan bagaimana periode inovasi militer membuat kekuatan militer Portugal mampu menghadapi Utsmaniyah dan sekutunya di tanah air mereka pada abad ke-16. Portugis mampu mengembangkan dan menggunakan senjata militer yang paling kuat pada waktu itu dalam bentuk galiung, meriam perunggu, senjata api, dan benteng-bentengnya.[48] Utsmaniyah, meskipun masih memiliki jangkauan militer yang sama dan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah tentara, pada abad ke-16 mereka mulai menunjukkan kemunduran dalam pertempuran. Profesor Fatma Gocek menjelaskan: "Selama abad keenam belas dan ketujuh belas, dengan meningkatnya konsolidasi kekuatan militer, kekayaan materi, dan kemajuan ilmiah di negara-negara Eropa, Utsmaniyah mulai kehilangan keunggulan militer mereka atas Barat."[49] Yang menarik, kroni persia kontemporer, Monajjem Yazni menuliskan "selama pengepungan Bahrain pada 1603, meriam-meriam Portugis jatuh ke tangan Safavid, tetapi para ahlinya tidak mampu memproduksi bola meriam dengan ukuran besar yang digunakan oleh senjata-senjata tersebut."[50] Meskipun Utsmaniyah, Arab dan khalifah muslim lainnya berusaha membangun aliansi untuk mengusir invasi Portugis, keunggulan militer orang-orang Eropa terbukti terlalu besar. Penulis Timur, Al-Khalifa dalam bukunya First Light mengatakan: "Perlawanan Arab dan Utsmaniyah terhadap Portugis semakin intensif di Laut Merah, Teluk Arab dan Samudera Hindia. Namun, perlawanan ini tidak berpengaruh karena keunggulan senjata Portugis. Tidak ada sarana untuk memperlengkapi pasukan armada laut yang setara dengan musuh. Portugis terus menjadi penguasa yang tak terbantahkan di perairan ini. Mereka dilengkapi dengan senjata yang unggul, memiliki keterampilan organisasi yang lebih baik dan tentara yang berdedikasi." [51] Sebaliknya, sejarawan Karen Hasler dan William Thompson menjelaskan "tentara Utsmaniyah... mewakili kelompok besar orang-orang yang berperang yang sering kali kurang dipersenjatai dan tidak terorganisir." [52] Akhirnya, penulis India Shankarlal C. Bhatt merangkum seluruh keunggulan militer Portugis dengan mengatakan bahwa mereka "dipersenjatai dan perlengkapannya lebih baik (baju zirah, arqualius dan sejenis granat yang terbuat dari tanah liat dengan mesiu di dalamnya)" dan "karena umumnya pasukan Portugis adalah pelaut profesional berpengalaman, kebanyakan prajurit bangsawan yang berkuasa atas Turki." [53] Hal lain yang menarik yang disebutkan oleh penulis ini adalah bahwa Portugis lebih unggul "tidak hanya dalam kekuatan fisik dan ukuran, tetapi juga dalam keterampilan tempur." [54] PertempuranDalam daftar di bawah ini, diperlihatkan pertempuran yang paling dikenal serta sumber akademis yang mengakui pemenang, dalam urutan kronologis:
HasilSebagaimana penelaahan atas literatur-literatur di atas, pada akhir abad ke-16, Portugis terbukti lebih unggul secara militer daripada Kesultanan Utsmaniyah, Portugis mengalahkan mereka pada sebagian besar pertempuran dan mengamankan kekuasaannya atas arus perdagangan rempah-rempah di Samudera Hindia dan Teluk Persia, sementara Utsmaniyah terpaksa melepaskan operasi mereka di Samudra Hindia dan mundur ke tanah air mereka di Laut Merah yang berhasil mereka lindungi.[96] Di samping itu, setelah Pertempuran Lepanto Kesultanan Utsmani juga kehilangan pengaruh mereka atas perairan meditarania. Berikut adalah beberapa penulis akademis yang berbeda, dari Timur dan Barat yang menetapkan hasil peperangan ini:
Catatan
|