Kitab Maleakhi
Kitab Maleakhi (disingkat Maleakhi; akronim Mal.) merupakan kitab terakhir dalam kelompok kitab-kitab kenabian dan khususnya dalam kelompok nabi-nabi kecil,[1] sekaligus menjadi kitab terakhir dari seluruh rangkaian Perjanjian Lama di dalam Alkitab Kristen.[2] Dalam Tanakh atau Alkitab Ibrani, kitab ini menjadi bagian dari kitab kolektif yang bernama "Dua Belas Nabi", yang termasuk dalam kelompok Nevi'im, atau yang lebih tepatnya dalam kelompok nabi-nabi akhir. Kitab ini membahas kembali mengenai Musa dan juga terkait dengan nabi Elia.[1] Konteks mengenai kitab Maleakhi ini bisa dikatakan sama dengan konteks kitab Hagai.[2] Hal ini karena Maleakhi dan Hagai mempunyai kurun waktu yang dekat.[2] NamaNama kitab ini merujuk pada tokoh utama kitab ini, yaitu Maleakhi, pada masa jauh setelah kembali dari pembuangan ke Babel, tepatnya pada abad ke-5 SM saat Yudea menjadi provinsi di bawah Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Nama "Maleakhi" sendiri merupakan serapan dari bahasa Ibrani: מַלְאָכִי (Mal'akhi), yang merupakan gabungan dari kata מַלְאָךְ (mal'akh, har. "malaikat, utusan") dan bentuk terikat ־ִי (-i, har. "-ku"), sehingga artinya secara harfiah adalah "utusanku" atau "malaikatku". IsiIsi dari kitab ini terdiri dari dua bagian.[3] Bagian pertama yaitu Maleakhi 1 dan Maleakhi 2 berkaitan dengan dosa bangsa Israel.[3] Bagian yang kedua yaitu Maleakhi 3 dan Maleakhi 4 berkaitan dengan penghukuman yang akan menimpa orang yang berdosa.[3]
Naskah sumber
KepengaranganSecara tradisional, kitab ini diyakini ditulis oleh seorang yang bernama Maleakhi.[2] Nama Maleakhi tidak terdapat di tempat lain di Alkitab.[2] Nabi Maleakhi mempunyai sifat yang pemberani dan tidak berkompromi dalam membeberkan dan mencela orang-orang berdosa pada zaman itu.[2] Digambarkan bahwa semangat sang nabi untuk pertobatan dan pembaruan bernyala-nyala seperti api.[2] Ada banyak tanggal yang diusulkan sehubungan waktu pembuatan kitab Maleakhi yang berkisar tahun 605-550 Sebelum Masehi (SM), 514-456 SM, atau lebih lama lagi pada periode Persia.[1] Dugaan yang terkuat adalah penanggalan kitab ini merujuk pada 514-456 SM.[1] Hal ini karena penanggalan tersebut sesuai dengan masa di mana pembangunan kuil Zerubabel selesai menjelang kedatangan Ezra dan Nehemia.[1] Bukti-bukti lain yang menunjuk pada penanggalan tersebut adalah:[1]
PerikopJudul perikop dalam Kitab Maleakhi menurut Alkitab Terjemahan Baru oleh LAI adalah sebagai berikut.
Latar belakangKitab Maleakhi merupakan salah satu kitab yang ditulis setelah masa pembuangan.[2] Beberapa puluh tahun sebelumnya, Nehemia telah membangun tembok-tembok Yerusalem yang diawali dengan kembalinya sekitar 50.000 orang tawanan dari Babel pada zaman Zerubabel dan imam besar Yosua.[2] Dalam kitab ini diperlihatkan bahwa para imam mulai berbuat kejahatan di mata Tuhan, seperti melakukan ketidakadilan, bergaul dengan penyembah berhala, dan menolak membayar persepuluhan.[2] Dalam keadaan seperti ini, dibutuhkan seorang nabi yang mengingatkan para imam akan kesalahannya.[2] Kitab ini ditulis pada masa kerajaan Persia yang menggantikan Kerajaan Babel pada tahun 539 Sebelum Masehi.[5] Tidak begitu banyak informasi mengenai orang Yahudi pada masa ini (selama kurun waktu 515-450 Sebelum Masehi).[5] Akan tetapi, Bait Allah telah dibangun dibangun kembali.[5] Waktu itu Kerajaan Persia telah diperintah oleh wali-wali negara.[5] Kepada wali-wali negara inilah bupati-bupati setempat bertanggung jawab.[5] Hal inilah yang dialami oleh Yudea.[5] Yudea tidak lagi mempunyai bupati sendiri, tetapi diatur dari Samaria.[5] Hal ini menyebabkan timbulnya perselisihan antara para pejabat Samaria dengan orang Yahudi.[5] Pembangunan tembok Yerusalem oleh orang-orang yang kembali dari pembuangan dilihat oleh orang-orang di Samaria sebagai pemberontakan.[5] Tuduhan ini sangat wajar pada masa itu karena pembangunan tembok kota sangat identik dengan pembangunan kubu pertahanan. Hubungan bangsa Israel dengan bangsa tetangga pada saat itu juga tidak telalu baik, terutama dengan bangsa Edom dan suku-suku dari bangsa Arab.[2] Latar belakang dari kitab Maleakhi ini merupakan lanjutan dari masa Zakharia dan Hagai di mana orang-orang Yahudi telah membangun kembali bait suci mereka.[5] Muatan teologisDalam kitab Maleakhi terdapat banyak pesan-pesan teologis yang dapat diangkat sebagai suatu refleksi dalam kehidupan sehari-hari.[6] PerceraianPersoalan mengenai perceraian merupakan persoalan yang sering ditemukan baik di luar kekristenan maupun di dalam kekristenan.[6] Persoalan ini juga terdapat dalam kitab Maleakhi.[6] Dalam kitab Maleakhi, kita dapat melihat dengan jelas bahwa Allah tidak menyukai perceraian.[6] Ia bahkan mengutuk perceraian.[6] Persoalan teologis mengenai perceraian ini merupakan suatu kutipan yang juga ada pada kitab Torah.[6] PernikahanPernikahan dalam kitab Maleakhi dipandang sebagai dimensi yang bersifat komunal.[6] Pernikahan merupakan suatu kerangka dari sebuah komunitas yang menggambarkan hubungan yang fundamental yang didasarkan pada hubungan yang umum antara bapa dan pencipta.[6] Hal ini juga berarti bahwa keputusan seseorang untuk menikah dengan pasangannya dipengaruhi oleh komunitas di mana ia berada.[6] Lihat pulaReferensi
|