Kesultanan Sanggau
Kesultanan Sanggau ( Bahasa Sanggau dengan Aksara Arab: كسولتانن سڠڬاو ) adalah sebuah Pemerintahan di Negeri Sanggau pada abad ke 14, Kesultanan Sanggau berdiri pada tahun 1380 yang tidak lepas dari peran seorang ulama yang bernama Abang Abdurrahman. dirinya merupakan seorang salah satu Pangeran dari Labai Lawai yang telah memeluk agama Islam dan melakukan pendidikan agama di daeran Banten, disana dirinyaberguru dengan seorang ulama kharismatik bernama Nurul Kamal. Abang Abdurrahman berhasil mengislamkan penduduk Negeri Mengkiang dan diangkat sebagai pemimpin di Negeri tersebut dengan menggunakan gelar Sultan, guna mempertegas perubahan pemerintahan dari era hindu ke Islam. sebelum dirinya meninggal, dirinya menobatkan Abang Awal sebagai Sultan di Negeri Sanggau dengan gelar Sultan Awaluddin. Menantunya inilah yang memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke kampung Kantu' sekarang dengan tanda pendirian sebuah parit besar yang dapat dilalui perahu atau dedaup, dan diatasnya didirikan sebuah Rumah besar sebagai pusat pemerintahan yang baru, tak lupa juga disamping sebelah hulu Rumah Besar dirinya membangun sebuah Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam di Negeri yang baru tersebut, Masjid itu diberi nama dengan nama Masjid Batu. Berdirinya KesultananAbang Abdurrahman adalah salah seorang putera bangsawan dari Negeri Labai Lawai yang telah memeluk agama Islam. Negeri Labai Lawai, sekarang lebih dikenal dengan Sukadana dan agama Islam masih belum berkembang karena pengaruh dari Brawijaya yang beragama hindu masih sangat kuat. Abang Abdurrahman pada usia muda gemar belajar hingga sampailah dirinya menuju Negeri Banten dan bertemu dengan seorang ulama yang bernama Nurul Kamal. Selama bertahun-tahun belajar ilmu agama, gurunya menilai bahwa Abang Abdurrahman dirasa telah cukup dalam memperdalam ilmu agama dengan dirinya. Sehingga dirinyapun pulang ke Negeri asalnya di Labai Lawai, dan disinilah dirinya memiliki tugas mulia sebagai seorang Da’i. Setelah sampai di Labai Lawai, dirinya berdakwah setiap waktu sehingga satu persatu masyarakat di Labai Lawai memeluk islam. Berita mengenai keberhasilan dakwah dari Abang Abdurrahman yang banyak mengislamkan masyarakat di Labai Lawai terdengar oleh gurunya, Nurul Kamal di Banten sehingga Abang Abdurrahman pun diberi gelar sebagai Kiayi Patih Kemitir. Mulai saat itu, Abang Abdurrahman membuka sebuah sekolah agama guna mengajar masyarakat yang baru masuk Islam tersebut di Labai Lawai. Setelah mengajar masyarakat selama bertahun-tahun, Abang Abdurrahman mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan Dakwahnya menyusuri Sungai Kapuas. Perjalanan Dakwahnya ini dipersiapkan secara matang olehnya, dengan menyiapkan kapal yang cukup besar dan perbekalan yang cukup dan murid-muridnya juga ikut dengan sukarela dalam perjalanan dakwahnya menyusuri Sungai Kapuas tersebut. Seiring berjalannya waktu, dalam pelayarannya di Sungai Kapuas Abang Abdurrahman memilih untuk berbelok ke kiri dan masuk kedalam Sungai Sekayam. Setelah melakukan pelayaran mudik di Sungai Sekayam, dirinya melihat sebuah perkampungan kecil di mana perkampungan itu masih menganut agama hindu. Dirinyapun memutuskan beserta rombongan memutuskan untuk singgah dan bertanya kepada masyarakat setempat, siapa kepala Negeri disini. Masyarakat setempat menjawab bahwa Raden Satry merupakan Temenggung di Negeri ini. Abang Abdurrahman dan rombongan meminta kepada salah satu masyarakat tersebut mempertemukan mereka dengan Raden Satri. Abang Abdurrahman langsung pergi menghadap Temenggung, dalam pertemuannya Abang Abdurrahman dan pengikutnya menceritakan latar belakang mereka dan menjelaskan bahwa mereka berasal dari Negeri Labai Lawai. Temenggung tersebut terkejut, karena dirinya juga merupakan keturunan dari Putri Daranante yang merupakan seorang Putri Bangsawan yang terkenal di Negeri Labai Lawai. Raden Satry juga menjelaskan bahwa, Negeri ini bernama Mengkiang dan didirikan oleh Putri Daranante. Abang Abdurrahman diterima dengan baik oleh Temenggung Raden Satry, dirinyapun diperkenankan untuk tinggal di Negeri tersebut. Abang Abdurrahman memilih untuk tinggal di seberang kampung tersebut disebuah Tanjung ditepi sungai Mengkiang. Disini dirinya membuat sebuah Surau dan Rumah yang cukup besar untuk dirinya beserta murid-muridnya tinggal. Setelah bertahun-tahun tinggal dan menetap di Negeri Mengkiang, banyak masyarakat di Negeri Mengkiang yang tertarik dengan ajaran Islam sehingga masyarakat di Negeri Mengkiang banyak memeluk agama Islam tak lupa juga Raden Satry beserta anak dan istriny. Anak tunggal dari Temenggung Raden Satry bernama Dara Mas dipersunting oleh Abang Abdurrahman sebagai istrinya, sehinggalah namanyapun diubah menjadi Dayang Mas Ratna. Dari hasil pernikahan keduanya, Abang Abdurrahman dan Dayang Mas Ratna memiliki dua orang anak, yaitu Abang Firdaus dan Dayang Puasa. Setelah wafatnya Raden Satry, masyarakat Negeri Mengkiang melakukan musyawarah mufakat untuk memilih Kepala Negeri yang baru, maka ditunjuklah Abang Abdurrahman sebagai Kepala Negeri Mengkiang pada tahun 1380 Masehi. Setelah Abang Abdurrahman diangkat sebagai Kepala Negeri, dirinya menggunakan gelar Sultan untuk mengokohkan iman dan islam penduduk di Negeri Mengkiang, sehingga hukum Islam diterapkan diberbagai aspek kehidupan masyarakat di Negeri Mengkiang. Menjabat sebagai Sultan di Negeri Mengkiang kurang lebih selama empat puluh lima tahun. Membangun Negeri BaruAbang Awal adalah seorang anak Bangsawan dari Negeri Embau, yaitu anak dari Demang Nutup, salah satu Demang dari Negeri Embau Hulu Kapuas. Demang Nutup juga dikenal oleh penduduk Negeri sebagai seorang Ulama sehingga dirinya juga dikenal sebagai Kiayi Karang Aji. Abang Awal tidak mau menggunakan status ayahnya untuk mencari jabatan yang kala itu memang seorang Demang di Negeri Embau Hulu Kapuas. Sehingga dirinya memilih menjadi seorang Pedagang. Namun sekali berlayar untuk berdagang, dirinya selalu membawa banyak sekali barang dagangannya sehingga para awak kapal juga banyak yang dirinya bawa untuk mendukung proses perdagangannya. Lambat laun, Abang Awal menjadi seorang saudagar kaya raya yang selalu hilir mudik yang melayari sungai-sungai di Borneo Barat. Abang Awal melakukan pelayaran dengan membawa puluhan orang yang didominasi oleh orang Dayak Kantu’ dari hulu Kapuas dikarenakan konon katanya, nenek moyang dari orang-orang Dayak Kantu’ berasal dari hulu Sekayam. Sehingga merekapun dengan sukarela ikut menyertai pelayaran dari Abang Awal. Karena mereka ingin mengetahui asal muasal dari nenek moyang mereka. Pada suatu hari, Ketika dirinya melakukan pelayaran dagangnya. Abang Awal singgah di muara sungai sekayam, dan membuat sebuah pangkalan atau pelabuhan agar ketika dia berlayar kembali dapat singgah ditempat tersebut untuk istirahat. Maka dibangunlah pangkalan atau pelabuhan itu di hilir muara sungai sekayam, beberapa pengikutnya ditinggalkan untuk menyelesaikan pelabuhan, serta membangun sebuah parit besar disitu agar kelak bidar dan dedaup dapat merapat dan masuk di pelabuhan tersebut. Dari sinilah, awal mula dari sebuah kampung dan Muara Kantu’ yang berada dihilir muara sungai Sekayam tersebut. Setelah menugaskan beberapa awak kapalnya untuk membangun sebuah pangkalan, Dirinya melanjutkan perjalanan mudik ke Sungai Sekayam dan singgah di Negeri Mengkiang, dirinya bertemu dengan Abang Firdaus mitra dagangnya di Sekayam. Dirinya juga sempat menetap disitu selama beberapa bulan, dan mudik kembali ke Negeri Embau Hulu Kapuas. Setelah lama tidak milir dan mudik ke Mengkiang, dirinya memutuskan untuk berlayar menghilir sungai Kapuas dengan empat buah kapal besar dan empat puluh orang yang diantaranya keluarga dan para pengikutnya. Dirinya hendak menemui Abang Abdurrahman dengan maksud untuk meminang anaknya, yaitu Dayang Puasa. Sebelum mudik kehulu sekayam, dirinya singgah di kampung Kantu’ dan merapat di Pangkalan atau pelabuhan yang sebelumnya sudah dirinya bangun dengan para pengikutnya. Disini rombongan dari Abang Awal istirahat sejenak sekaligus mempersiapkan acara pernikahannya kelak di Mengkiang. Keesokan harinya, Abang Awal bersama rombongan mudik ke Hulu Sekayam menuju Negeri Mengkiang. Disini, Abang Awal disambut langsung oleh Sultan Abdurrahman. Sehingga Abang Awal bertanya, di mana Abang Firdaus. Abang Abdurrahman dan Dayang Mas Ratna sangat sedih dan menceritakan bahwa Abang Firdaus telah meninggal dunia, akibat lanun-lanun yang merompak dirinya ketika hendak menuju Labai Lawai dan Tanjungpura untuk berdagang. Abang Awal juga ikut bersedih, karena Abang Firdaus merupakan mitra dagangnya dalam berbisnis di Sekayam. Setelah berkisah panjang lebar, Abang Awal mengutarakan niatnya yang datang untuk kedua kalinya ini kepada Abang Abdurrahman, yaitu melamar Dayang Puasa. Dikapal sudah banyak barang dan perhiasan serta hadiah untuk diberikan kepada Abang Abdurrahman sebagai hantaran pernikahannya. Tentu lamaran dan pinangan dari Abang Awal diterima oleh Sultan Abdurrahman, sehingga Selaku Sultan di Negeri Mengkiang dirinya mengumumkan kepada seluruh rakyat anak negeri bahwa anak perempuan satu-satunya akan menikah dan hari pernikahan ditetapkan pada hari yang baik, yaitu pada tanggal 1 Muharam yang ketika itu juga ada tradisi untuk membersihkan Negeri Mengkiang dari bencana dan segala macam penyakit. Sehingga pernikahan antara Abang Awal dan Dayang Puasa menjadi penuh khidmat dan kental dengan adat istiadat di Negeri tersebut. Dalam persiapan pernikahannya ini, pernikahan Dayang Puasa selalu dibicarakan oleh seluruh penduduk Negeri Mengkiang. Sehingga Dayang Puasa dikenal oleh masyarakat sebagai Nyai Sura karena pernikahannya dilaksanakan bersamaan dengan peringatan 1 Sura. Dari pernikahan Abang Awal dan Nyai Sura mereka dikaruniai empat orang anak. Yaitu, Abang Gani bergelar Pangeran Adipati Kusuma Negara yang akan menjadi pelanjut tahta Kerajaan, Abang Jalal yang nantinya menjadi Raja di Negeri Belitang, Abang Jubair yang nantinya menjadi Raja di Negeri Sintang, dan Abang Jamal yang kelak menjadi penguasa di Negeri Melawi, serta Abang Arang Bergelar Pangeran Agong Rangga yang menggantikan posisi kakaknya sebagai Sultan di Negeri Sanggau. Setelah masa pernikahannya, Abang Awal meminta izin kepada Abang Abdurrahman selaku Sultan di Negeri Mengkiang untuk membawa Dayang Puasa ke Kampung Kantu’, sekaligus membangun Negeri baru di muara Sungai Sekayam. Abang Abdurrahman pun mengizinkan Abang Awal dikarenakan dirinya menilai bahwa muara Sekayam masih dekat, sehingga kelak Dayang Puasa dapat menjenguknya ketika dimasa tuanya. Abang Awal dan Dayang Puasa serta para rombongan yang dibawa oleh Abang Awal dari Embau Hulu Kapuas berangkat menuju Kampung Kantu’. Abang Awal pun memulai membangun Negeri yang baru tersebut dengan maksud sebagai Penyangga daripada Negeri Mengkiang, agar dapat membantu Ayah mertuanya dalam bidang Ekonomi maupun militer. Sehingga jadilah Negeri itu dikenal sebagai Negeri Sanggau. Pertama-tama Abang Awal membangun sebuah masjid untuk beribadah didekat Muara Kantu’, nama Masjid tersebut adalah Masjid Batu, karena dinding-dinding masjid terbuat dari batu. setelah itu dirinya membangun Rumah Besar tepat di ujung parit besar yang ia bangun pada saat pertama datang dan membuat pelabuhan. Ini dimaksudkan agar ketika dirinya hendak pergi sudah ada bidar atau dedaup yang bersandar didekat Rumah Besar tersebut. Sehinggalah Negeri ini menjadi sebuah Negeri yang besar dan makmur secara ekonomi, karena letaknya yang sangat strategis dijalur pelayaran utama Borneo Barat ketika itu. Negeri Sanggau menjadi pintu masuk utama dari berbagai Negeri seperti Sekadau, Sintang, Silat, dan Selimbau di Hulu Kapuas serta Lawai, Mempawah, dan Sambas di Hilir Sungai Kapuas. Pada 12 Rabiul Awal, diadakanlah acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di mana dalam acara tersebut banyak dihadiri oleh para Alim Ulama, serta masyarakat. Disini dibuatlah musyawarah dan memutuskan untuk menunjuk satu orang sebagai pemimpin di Negeri yang baru dibuka tersebut. Maka dipilihlah Abang Awal, dan disini Abang Abdurrahman selaku mertua sekaligus pemilik dari Muara Sekayam menobatkan Abang Awal sebagai penggantinya karena dirinya tidak memiliki anak laki-laki lagi sebagai penerusnya sehingga dipilihlah menantunya sebagai Sultan dengan gelar Sultan Awaludin dan menobatkan Dayang Puasa sebagai Ratu dengan gelar Ratu Sura. Ketika menjabat, Sultan Awaludin membuat kebijakan dengan memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan dari Mengkiang ke Sanggau guna untuk menyokong berbagai macam kegiatan pemerintahannya agar roda pemerintahan tidak mengalami kesulitan dalam menentukan kebijakan. Membangun Istana BaruPada masa kehidupan Sultan Achmad Jamaludin, Abang Mohammad Zainudin telah dipersiapkan sebagai penerus takhta Kesultanan Sanggau, ini bisa dilihat dari gelar yang disandang beliau sebagai Putera Mahkota yaitu Pangeran Ratu Surya Negara. Ketika Ayah beliau mangkat, jika merunut kepada tradisi dan adat istiadat sebelum mengkebumikan seorang Sultan adalah dengan menobatkan Sultan baru, dikarenakan selayaknya adalah seorang Sultan dimakamkan oleh seorang Sultan juga, karena ini merupakan adab dan adat sekaligus penghormatan terakhir terhadap Sultan yang telah mangkat. Para sesepuh dan wali Negeri pada masa itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk menobatkan Abang Mohammad Zainuddin sebagai Sultan di Negeri Sanggau. Namun hal ini tidak menjadi masalah bagi Abang Mohammad Zainudin, beliau tetap memimpin pemakaman ayahnya sampai selesai. Setelah pemakaman selesai, Abang Mohammad Zainudin mengunjungi para sesepuh dan wali Negeri pada masa itu untuk meminta dinobatkan sebagai Sultan. Beliau memiliki pandangan, bahwa Negeri Sanggau harus secepatnya memiliki seorang pemimpin baru, dikarenakan kondisi Politik pada masa tersebut juga sangat rentan dengan pertempuran dengan Negeri lain. Namun para sesepuh dan wali negeri kembali melalaikan tugasnya untuk menobatkan Sultan baru, mereka menilai bahwa belum kering tanah makam Sultan Jamaludin anaknya meminta untuk dinobatkan, Abang Mohammad Zainudin selalu mengulang permintaan untuk dinobatkan sebagai Sultan Sanggau sampai berbilang hari. Sehingga para penduduk pun mengenalnya sebagai Abang Sebilang Hari. Dikarenakan belum memiliki kepastian perihal penobatannya, beliau pun sampai memutuskan untuk tidak mau tinggal di Rumah Besar lagi, maka beliau membangun sebuah Rumah yang sekarang kita kenal dengan nama Rumah Kuta. Rumah Kuta sendiri memiliki arti Rumah yang dikelilingi oleh pagar. Abang Mohammad Zainuddin dinobatkan sebagai Sultan di Negeri Sanggau setelah empat puluh hari wafatnya Sultan Jamaludin, gelar yang beliau sandang adalah Sultan Zainuddin Surya Negara. Di penghujung hayatnya, beliau mengalami sakit keras sehingga mengganggu roda pemerintahan, pada masa itu juga Putera Mahkota, yaitu Abang Mohammad Taher masih dibawah umur. Maka beliau mengutus seseorang untuk memanggil adiknya, yaitu Abang Mohammad Kamaruddin yang ketika itu juga menjabat sebagai Menteri Besar. Beliau membuat sebuah perjanjian dengan adiknya, bahwa ketika kelak dirinya mangkat maka beliaulah sebagai penggantinya dan ketika Abang Mohammad Taher dinilai sudah cukup umur dan mampu untuk memimpin Negeri Sanggau, maka digilirkanlah kepadanya. Perjanjian inipun menjadi sebuah tradisi dan dikenal lah istilah Rumah Darat dan Rumah Laut. Sanggau ModernSanggau saat ini telah meleburkan diri kedalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1960 ketika Drs. Mohammad Hatta mengunjungi Sanggau untuk mengajak Sanggau masuk dalam wilayah Indonesia. kunjungan tersebut diterima oleh Gusti Mohammad Thaufik selaku Panembahan Sanggau ketika itu yang didampingi oleh Gusti Mohammad Sholeh yang dikemudian hari ditunjuk sebagai wakil dari Pemerintahan pusat. walaupun Kesultanan Sanggau sudah dileburkan kedalam naungan NKRI, Pemerintah Indonesia menyatakan mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ada beserta hak-hak tradisionalnya didalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Ihwal pengakuan negara atas kesatuan masyarakat hukum adat tidak terlepas dari sumbangsih kerajaan-kerajaan Nusantara yang salah satunya adalah Kesultanan Sanggau sendiri dalam proses perjuangan dan pembentukan negara Indonesia modern. Pertama, para founding fathers menyatakan Pancasila merupakan sublimasi dari nilai-nilai kebudayaan Nusantara yang masih hidup dan menjadi sikap batin masyarakat. Nilai-nilai kebudayaan pada masa lalu tentu bersumber dari Istana, karena Istana adalah pusat kebudayaan dan sumber nilai tradisional. Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai kebudayaan Nusantara itu dapat diterima dengan mudah oleh bangsa Indonesia karena nilai-nilai Pancasila itu merupakan sikap hidup masyarakat adat yang masih berlaku dan terus dipertahankan hingga kini. Kedua, kerajaan-kerajaan di Nusantara dan salah satunya adalah Kesultanan Sanggau merupakan kerangka bangunan negara Indonesia. Bahwa hingga Proklamasi 1945 kerajaan-kerajaan Nusantara masih eksis. Dan setelah republik didirikan, kerajaan-kerajaan Nusantara menyatakan bergabung. Pernyataan bergabung itu ada yang bersifat legal formal seperti Yogyakarta dan Surakarta, ada juga yang secara langsung menyesuaikan diri dengan republik. Dengan bergabungnya kerajaan Nusantara itu, maka terbangun Indonesia sebagai negara yang utuh hingga saat ini. pada tahun 2009, masyarakat Sanggau membentuk sebuah Majelis Kerabat Keraton Sanggau dan bermusyawarah untuk membangun kembali Istana yang telah rusak, bahkan hampir roboh. maka hasil kesepakatan memilih Drs. H. Gusti Arman, M.Si sebagai ketua daripada pengurus Istana Surya Negara serta Majelis Kerabat Keraton Sanggau melebur menjadi Sembilan Wali Negeri Sanggau yang menobatkan Drs. H. Gusti Arman, M.Si sebagai Sultan di Negeri Sanggau dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara pada tahun 2009 di Istana Surya Negara Sanggau yang disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dihadiri oleh Bupati Sanggau, H. Setiman H. Sudin, Sultan Palembang Darussalam, Anggota DPR RI, serta Raja dan Sultan di Kalimantan Barat. Referensi
Pranala luarSejarah Kesultanan Melayu Sanggau http://m.kemenpora.go.id/index/preview/berita/1327/14 Diarsipkan 2019-05-28 di Wayback Machine. http://pontianak.tribunnews.com/2016/11/09/raja-sanggau-minta-warga-jangan-terprovokasi http://pontianak.tribunnews.com/2016/09/05/panglima-pimpin-tokoh-adat-keraton-kelilingi-kota-sanggau http://ruai.tv/2018/05/03/raja-sanggau-dukung-penuh-midji-norsan/ |