Kesongo, Tuntang, SemarangKesongo, adalah merupakan sebuah nama salah satu desa yang terletak di kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang. |kode pos =50773 Batas wilayah Desa Kesongo adalah sebelah utara : desa Lopait, sebelah selatan : desa Candirejo, Tuntang, Semarang sebelah barat : Danau Rawa Pening sebelah timur : Kota Salatiga Desa Kesongo terdiri atas 7 Dusun:
DefinisiDesa Kesongo adalah Desa Eduwisata yang berlokasi di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Kata Eduwisata belum menjadi kata baku di KBBI. Namun, dapat dipastikan makna Eduwisata adalah gabungan dari kata edukasi dan wisata. Ketika digabung, Eduwisata berarti sesuatu yang memberikan latihan untuk memperoleh pengetahuan sekaligus bersenang-senang. Hal ini berarti bahwa pariwisata yang ditawarkan oleh Desa Kesongo harus memiliki orientasi pendidikan yang mampu memberi pengetahuan dalam kondisi rekreatif. Desa Kesongo mempunyai visi, yaitu Desa yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat. Tujuan Desa Kesongo dibagi menjadi dua, tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umum Desa Kesongo adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di desa sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan warga desa dan meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes) menuju terwujudnya desa mandiri dan sejahtera. Sementara terdapat sembilan tujuan khusus, yaitu:
Tujuan-tujuan ini dapat dicapai melalui Program Desa Wisata Edukasi Terpadu berbasis pengelolaan lingkungan yang baik, serta memanfaatkan potensi desa yang akan tepat sasaran. Adapun sasaran dari program pembangunan bidang ekonomi desa ini meliputi: Sasaran dari Program Pembangunan Bidang Ekonomi Desa ini meliputi:
GeografisTotal area yang dimiliki oleh Desa Kesongo seluas 158,566 hektar dengan ketinggian +475 mdpl, dan berjarak 43 km dari Kota Semarang dan 7,6 km dari Kota Salatiga. Desa ini berbatasan dengan Desa Lopait, Kabupaten Semarang di sebelah Utara, Desa Candi Rejo, Kabupaten Semarang di sebelah Selatan, Kelurahan Blotongan, Kota Salatiga di sebelah Timur, dan Rawa Pening di sebelah Barat. Suhu cukup bervariasi di Desa Kesongo, dimana bagian pesisir Rawa Pening sekitar 21-26 derajat celcius. Desa Kesongo terdiri atas 7 Dusun:
Sejarah[1]Legenda Kesongo erat kaitannya dengan cerita Aji Saka dan Jaka Linglung. Kita bisa memulai cerita dari Jaka Linglung yang mengaku anak Aji Saka yang merupakan raja kerajaan Medhangkamulan. Cerita mengenai kelahiran Jaka Linglung dan cerita Aji Saka dapat dibaca di cerita lain. Jaka Linglung sendiri berwujud ular, oleh karena itu Aji Saka enggan mengakui Jaka Linglung sebagai putranya. Akan tetapi hal ini tidak dikatakan secara langsung bahwa Aji Saka enggan mengakui Jaka Linglung sebagai putranya. Maka dari itu Aji Saka menolak secara halus dengan mengajukan syarat kepada Jaka Linglung. Syarat dari Aji Saka adalah untuk menumpas Bajul Putih (siluman buaya) yang menebar terror di pantai selatan Jawa. Bajul Putih sendiri merupakan jelmaan Dewata Cengkar yang merupakan musuh Aji Saka di masa lalu. Berangkatlah Jaka Linglung untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh Aji Saka. Singkat cerita bertarunglah Jaka Linglung dan Bajul Putih. Dalam pertempuran itu Jaka Linglung berhasil membunuh Bajul Putih dan membawa kepalanya kepada Aji Saka. Ada cerita yang menyebutkan bahwa Aji Saka langsung mengajukan syarat kedua. Sementara itu di sisi lain ada yang menyebutkan bahwa Aji Saka sudah mengakui Jaka Linglung sebagai anaknya dan Jaka Linglung diizinkan tinggal di kerajaan Medhangkamulan. Setelah tinggal di kerajaan medhangkamulan karena Jaka Linglung berwujud ular maka makanannya sendiri adalah unggas atau hewan ternak. Pada mulanya tidak terlalu sering, tapi seiring dengan berjalannya waktu karena tubuh Jaka Linglung yang semakin besar dan porsi makannya semakin banyak. Hamper setiap hari ada penduduk yang melaporkan kepada Aji Saka bahwa ternak mereka dimakan oleh Jaka Linglung. Hal ini membuat penduduk resah dan tidak tentram. Karena Aji Saka adalah seorang Raja maka sudah sewajarnya dia memperhatikan rakyatnya. Dikarenakan laporan warga tersebut Aji Saka memanggil Jaka Linglung "Wahai putraku Jaka Linglung, akhir-akhir ini kamu telah membuat masyarakat Medhangkamulan resah, karena ternak mereka kamu makan". "Sebagai hukuman atas perbuatanmu, aku perintahkan engkau bertapa di hutan, dan jangan makan apapun kecuali mangsa itu datang sendiri" demikian perintah Aji Saka. Mendengar hal itu dan demi menunjukkan bhakti kepada orang tuanya Jaka Linglung segera melaksanakannya. Jaka Linglung berangkat bertapa di hutan. Jaka Linglung mematuhi segala perintah Aji Saka dengan bertapa di hutan dan tidak makan apa-apa kecuali jika mangsa itu datang sendiri. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun Jaka Linglung masih melaksanakan perintah Aji Saja untuk bertapa di hutan. Tubuhnya yang besar dan karena telah lama dia bertapa, sampai akhirnya menyerupai goa. Ada yang mengatakan bahwa Jaka Linglung bertapa dan membuka mulutnya berlangsung hingga ratusan tahun. Lalu pada suatu hari dikisahkan ada 10 anak sedang menggembala kambing. Cuaca secara tidak terduga berubah awan menjadi gelap dan turun hujan deras disertai petir. Meskipun telah sebagian terlanjur kebasahan anak-anak itu mencari tempat berteduh. Secara tidak sengaja anak itu menemukan sebuah goa. 10 anak gembala itu pun berteduh di sana. Ada satu anak dari sepuluh anak tersebut menderita penyakit kulit (gundhik), karena basah terkena hujan penyakit kulit itu menimbulkan bau anyir. Oleh Sembilan anak lainnya anak itu diusir dari dalam goa karena baunya yang mengganggu anak lainnya. Karena tidak bisa melawan anak itu keluar dari goa. Tak lama setelah dia keluar dari goa, secara tiba-tiba goa itu menutup. Ternyata goa itu adalah Jaka Linglung yang berwujud ular besar. Anak itu lalu lari demi menyelamatkan diri dan mengabarkan kepada penduduk desa tentang peristiwa itu. Untuk memperingati peristiwa itu, tempat hilangnya Sembilan anak penggembala kambing itu dinamakan pesongo (kesongo). Kesongo sekarang masuk wilayah Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sekarang kesongo menjadi tempat wisata yang terletak di area perhutani KPH Randublatung berada di sebelah utara Desa Gabusan kurang lebih 1,5 KM dari Dukuh Sucen Desa Gabusan. MasyarakatJumlah total penduduk mencapai 7507 orang dengan raiso 3.724 perempuan dn 3.783 laki-laki. Jumlah KK mencapai 2.150 orang. Penduduk mayoritas berusia 16-55 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan Formal. Sebagian besar penduduk Dusun Karang Desa Nglegi yang menempati wilayah tersebut memiliki pendidikan yang kurang baik yaitu rata-rata di bawah SMA, sedangkan di dusun lain rata-rata pendidikan yang lebih tinggi. Ciri KhasBengok Craft[2]Awalnya masyarakat Desa Kesongo memanfaatkan eceng gondok sebagai sumber penghasilan. Pemanfaatan ini berupa menyuplai bahan mentah dan mengirim eceng gondok ke daerah Jogjakarta sampai Pekalongan. Firman Setyaji selaku pemilik memberdayakan masyarakat mengolah eceng gondok menjadi kerajinan dengan nama Bengok Craft. Bengok Craft melibatkan seluruh lapisan warga, mulai dari ibu-ibu sampai pemuda-pemudi di daerah Desa Kesongo. Merek Bengok Craft memiliki makna sederhana, namun erat dengan ciri khas produk yang dijual. Bengok merupakan penyebutan nama lokal eceng gondok di daerah Desa Kesongo. Sedangkan Craft merupakan nama global yang dipakai karena Firman ingin produk Bengok Craft mencapai ranah global. Pemanfaatan eceng gondok menjadi kerajinan merupakan peluang untuk meningkatkan taraf hidup. Bengok Craft memberikan solusi agar warga bisa mengolah eceng gondok menjadi kerajinan yang bernilai tinggi. Bengok Craft mendistribusikan kreasi eceng gondok melalui media sosial seperti Instagram dan Website. Wisata Kuliner Daringan[3]Berawal dari mencari ide untuk membangkitkan ekonomi akibat pandemi, Kepala Desa Kesongo, Supriyadi, membuat Wisata Kuliner Daringan[4] sebagai salah satu komoditas untuk meningkatkan pendapatan desa. Melakukan kegiatan di desa dengan mengembangkan usahanya di desa. Menggunakan BUMDes diharapkan bisa menjadi Soko guru pertumbuhan ekonomi di desa. Sehingga pihaknya menggerakkan BUMDes untuk unit usaha di Kesongo. Diakuinya, dengan dukungan berbagai pihak akhirnya terwujud pada 2021 sebuah taman kuliner yang diberi nama Daringan Kesongo Kultur. Daringan sendiri diambil dari nama lokal, yakni sumber mata air yang oleh warga setempat disebut Daringan. Letaknya sebelah barat Daringan Kesongo Kultur. Masyarakat dapat berkunjung ke Daringan untuk bersantai sambil membeli makanan dan minuman dengan harga bersahabat. Pembangunannya dimulai pada September 2020. Supriyadi mengungkapkan, anggaran pembangunan berasal dari berbagai sumber. Seperti dana desa, sisa hasil usaha BUMDes, serta penyertaan modal masyarakat. Total pembangunan Daringan Kesongo Culture menghabiskan anggaran sekitar Rp 600 juta. Pengolahan Sampah[5]Proses pemilahan sampah telah dilakukan sejak dalam rumah oleh warga Desa Kesongo melalui kantong-kantong sampah. Kemudian setiap pagi mereka memasukkan kantong-kantong tersebut ke keranjang. Istilah yang digunakan sangat sederhana dan mudah dipahami siapapun untuk mempermudah masyarakat untuk turut serta dalam gerakan itu. Keranjang Iso Bosok berarti dikhususkan untuk sampah-sampah yang bisa membusuk (organik) dan keranjang Ora Iso Bosok untuk sampah yang tidak bisa membusuk (anorganik). Sampah yang berada di keranjang kemudian diangkut ke Tempat Penampungan Sementara oleh petugas dari desa, Kepala Desa Kesongo Supriyadi mengatakan, petugas pengangkut sampah tersebut juga melanjutkan pemisahan sampah. Sampah organik langsung masuk ke bak pikap, sementara sampah anorganik dimasukkan ke keranjang plastik. Di TPS, petugas akan memilah kembali sampah yang dikumpulkan. Untuk sampah yang bisa dimanfaatkan akan dikumpulkan, sementara yang tidak bisa akan diangkut ke TPA.
|