Keselamatan (agama)
Keselamatan (bahasa Inggris: salvation; bahasa Latin: salvatio; bahasa Yunani: sōtēria; bahasa Ibrani: yasha[1]) adalah keadaan diselamatkan atau dilindungi dari bahaya[2] ataupun keadaan diselamatkan atau dilepaskan dari situasi tertentu yang mengerikan.[3] Dalam agama, keselamatan dinyatakan sebagai penyelamatan jiwa dari dosa dan konsekuensinya.[4] Studi akademis mengenai keselamatan disebut soteriologi. MaknaDalam agama, keselamatan adalah diselamatkannya jiwa seseorang dari dosa dan konsekuensi-konsekuensinya.[5] Hal ini juga dapat disebut "pembebasan" atau "penebusan" dari dosa dan akibat-akibatnya.[6] Keselamatan dipandang disebabkan oleh rahmat dari Tuhan, oleh kehendak bebas serta usaha-usaha pribadi melalui doa dan asketisme, ataupun oleh gabungan dari keduanya. Agama-agama sering kali menekankan perlunya usaha-usaha pribadi—misalnya pertobatan dan asketisme—serta tindakan ilahi (yaitu rahmat atau kasih karunia). Agama AbrahamikYudaismeDalam Yudaisme kontemporer, penebusan (bahasa Ibrani: ge'ulah) mengacu pada Allah yang menebus bangsa Israel dari berbagai tempat pengasingan atau pembuangan mereka.[7] Ini termasuk penebusan akhir dari pengasingan saat ini.[8] Yudaisme berpandangan bahwa para penganutnya tidak membutuhkan keselamatan pribadi sebagaimana diyakini umat Kristen. Umat Yahudi tidak menganut ajaran dosa asal.[9] Sebaliknya, mereka memberikan nilai tinggi pada moralitas individu sebagaimana didefinisikan dalam hukum Allah — terkandung dalam apa yang dikenal umat Yahudi sebagai Taurat, diberikan Allah kepada Musa di Gunung Sinai biblika, yang ringkasannya termuat di dalam Sepuluh Perintah Allah. Dalam Yudaisme, keselamatan berkaitan erat dengan gagasan mengenai penebusan, suatu penyelamatan dari keadaan atau kondisi yang menghancurkan nilai dari eksistensi manusia. Allah sebagai roh universal dan Pencipta Dunia adalah sumber dari segala keselamatan bagi umat manusia, asalkan seseorang menghormati Allah dengan melakukan ajaran-ajaran-Nya. Maka, penebusan atau keselamatan tergantung pada masing-masing orang. Yudaisme menekankan bahwa keselamatan tidak dapat diperoleh melalui orang lain atau dengan hanya berseru kepada Tuhan ataupun meyakini suatu kuasa lainnya.[10]
Ketika mengamati sumber-sumber intelektual Yahudi sepanjang sejarah, tampak jelas adanya keragaman pendapat mengenai kematian versus kehidupan setelah kematian. Kendati mungkin saja suatu penyederhanaan yang berlebihan, satu sumber mengatakan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan cara sebagai berikut: Jalani suatu kehidupan yang suci dan benar yang ditujukan kepada Yahwe, Allah Pencipta. Berpuasa, beribadah, dan merayakannya selama hari-hari raya yang sesuai.[11] Berdasarkan asal usul dan hakikatnya, Yudaisme merupakan suatu agama etnis. Oleh karena itu, keselamatan utamanya dipahami dari segi takdir Israel sebagai bangsa pilihan Yahwe (sering kali disebut sebagai "Tuhan"), Allah Israel.[8] Dalam teks-teks biblis Mazmur, terdapat suatu deskripsi tentang kematian, yaitu ketika orang masuk ke dalam bumi atau "dunia orang mati" dan tidak dapat memuji Allah. Referensi pertama tentang kebangkitan bersama terlihat dalam penglihatan Yehezkiel mengenai tulang-tulang kering, ketika semua orang Israel dalam pembuangan dibangkitkan kelak. Terdapat suatu referensi tentang kebangkitan individual dalam Kitab Daniel (165 SM), kitab terakhir dalam beberapa Alkitab Ibrani.[12] Dikatakan bahwa baru pada abad ke-2 SM muncul keyakinan akan suatu kehidupan setelah kematian, di mana orang mati akan dibangkitkan dan menjalani penghakiman ilahi. Sebelum saat itu, orang harus puas melihat keturunannya berlanjut di dalam bangsa yang kudus.[8] Keselamatan orang Yahudi secara individual dihubungkan dengan keselamatan seluruh bangsanya. Keyakinan ini bersumber langsung dari ajaran-ajaran yang tercantum dalam Taurat. Dalam Taurat, Allah mengajarkan pengudusan atau penyucian individu kepada bangsanya. Namun, Ia juga mengharapkan mereka untuk mengusahakannya bersama-sama (secara rohani) dan saling bertanggung jawab kepada individu lainnya. Konsep keselamatan dikaitkan dengan pemulihan bagi Israel.[13]
KekristenanPremis utama Kekristenan adalah bahwa penjelmaan dan wafat Yesus Kristus merupakan puncak dari suatu rencana ilahi bagi keselamatan umat manusia. Rencana tersebut disusun oleh Allah sebagai akibat dari Kejatuhan Adam, leluhur umat manusia, dan akan terselesaikan saat Pengadilan Terakhir, ketika Kedatangan Kedua Yesus Kristus kelak menandai akhir dunia yang dipenuhi bencana.[14] Dalam Kekristenan, keselamatan hanya dimungkinkan melalui Yesus Kristus. Umat Kristen percaya bahwa wafat Yesus di kayu salib merupakan kurban yang hanya berlangsung sekali, yang mendamaikan bagi dosa umat manusia.[14] Kendati bukan pemilik ekslusif dari gagasan tentang penebusan, Kekristenan dipandang berkontribusi memberinya suatu kepastian khusus dan suatu posisi dominan. Jika diambil artinya secara luas, sebagai pembebasan dari segala bahaya dan kesulitan, kebanyakan agama mengajarkan beberapa bentuk dari penebusan. Namun, penebusan dianggap memiliki suatu posisi penting hanya apabila kesulitan yang dimaksud merupakan bagian dari suatu sistem luar biasa yang manusia tidak berdaya untuk mengatasinya.[15] Menurut keyakinan Kristen, dosa sebagai situasi manusia yang menyulitkan dianggap bersifat universal.[16] Misalnya dalam Roma 1:18-3:20, Rasul Paulus menyatakan bahwa setiap orang telah berdosa—baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi. Keselamatan dimungkinkan melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus, yang dalam konteks keselamatan disebut sebagai "pendamaian".[17] Soteriologi Kristen berkisar dari konsep keselamatan eksklusif[18] hingga rekonsiliasi universal.[19] Kendati terdapat beberapa perbedaan pandangan dalam Kekristenan, sebagian besar kalangan setuju bahwa keselamatan dimungkinkan melalui tindakan Yesus Kristus, Putra Allah, wafat di kayu salib.
Keragaman pandangan tentang keselamatan merupakan salah satu garis pemisah utama yang membagi berbagai denominasi Kristen, baik antara Katolisisme Roma dan Protestanisme maupun di dalam Protestanisme sendiri, terutama dalam perdebatan Calvinis–Arminian, dan garis pemisah tersebut meliputi definisi yang saling bertentangan mengenai kerusakan moral, predestinasi, pendamaian, dan yang paling jelas terlihat dalam hal pembenaran. Diyakini bahwa keselamatan merupakan suatu proses yang dimulai ketika seseorang pertama kali menjadi seorang penganut Kristen, berlanjut dalam kehidupan orang tersebut, dan selesai ketika ia berhadapan dengan Kristus dalam penghakiman. Oleh karena itu menurut seorang apolog Katolik bernama James Akin, umat beriman Kristiani dapat mengatakan dalam iman dan harapan bahwa, "Saya telah diselamatkan; saya sedang diselamatkan; dan saya akan diselamatkan."[21] Konsep keselamatan Kristen bervariasi dan dirumitkan oleh sejumlah konsep teologis, kepercayaan tradisional, dan dogma. Kitab Suci tunduk pada penafsiran gerejawi dan individual. Tujuan keselamatan diperdebatkan, tetapi pada umumnya kebanyakan teolog Kristen sepakat bahwa Allah merancang dan melaksanakan rencana keselamatan-Nya karena Ia mengasihi mereka dan memandang umat manusia sebagai anak-anak-Nya. Karena keberadaan manusia di Bumi dikatakan telah jatuh ke dalam kuasa dosa, keselamatan juga memiliki konotasi yang berhubungan dengan pembebasan[22] umat manusia dari kuasa dosa, dan penderitaan yang dihubungkan dengan hukuman atas dosa—sebab "upah dosa adalah maut".Rom. 6:23 Umat Kristen percaya bahwa keselamatan tergantung pada rahmat Allah. Frank Stagg menulis bahwa suatu kenyataan diasumsikan di dalam seluruh bagian Alkitab kalau umat manusia berada dalam "masalah serius dari mana kita membutuhkan pembebasan. ... Kenyataan akan dosa sebagai situasi manusia yang menyulitkan diimplikasikan dalam misi Yesus, dan ditegaskan secara eksplisit dalam hubungan tersebut". Berdasarkan hakikatnya, keselamatan harus menjawab keadaan sulit umat manusia sebagaimana adanya. Keadaan buruk seseorang sebagai orang berdosa adalah hasil dari suatu pilihan yang sangat merugikan yang menyebabkan keseluruhan pribadinya berada dalam belenggu, kebersalahan, keterpisahan, dan kematian. Karenanya, keselamatan harus dikaitkan dengan pribadinya secara keseluruhan. "[Keselamatan] harus menawarkan penebusan dari belenggu, pengampunan atas kesalahan, rekonsiliasi atas keterpisahan, pembaruan atas citra Allah yang telah rusak".[23] Islam
Lihat pulaReferensi
Sumber
Pranala luar
|