Kerapatan adat nagari

Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah lembaga perwakilan permusyawaratan dan permufakatan adat tertinggi, yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun di tengah-tengah masyarakat nagari di Sumatera Barat.[1][2] KAN bertugas sebagai penjaga dan pelestari adat dan budaya Minangkabau, berada di bawah pengawasan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) mulai dari tingkat kecamatan hingga provinsi.

Sejarah

Tidak diketahui pasti kapan pertama kali lembaga KAN ini didirikan dan di nagari mana pertama kali dibentuk serta siapa pencetusnya tetapi berdasarkan berbagai catatan dan literatur yang ada, pada era kolonial lembaga ini sudah terbentuk dan berjalan. Juga tidak diketahui eksistensi lembaga ini pada era kesultanan Pagaruyung dan bagaimana hubungan antara KAN dengan lembaga rajo tigo selo, sebagaimana diketahui bahwa nagari-nagari di Minangkabau memiliki status yang otonom terhadap Kesultanan Pagaruyung selaku entitas politik tingkat tinggi hanya dianggap sebagai simbol saja.

Fungsi


Struktur Lembaga

KAN terdiri dari beberapa unsur dalam masyarakat adat Minangkabau yaitu:

  1. Penghulu dari setiap kaum persukuan
  2. Manti (mentri), berasal dari kalangan intelektual (cerdik pandai)
  3. Malin (mu'alim), dari kalangan pemuka agama atau alim ulama
  4. Dubalang (hulubalang), yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan

Unsur-unsur selain penghulu itu disebut sebagai Tungku Tigo Sajarangan dan apabila dimasukkan unsur penghulu maka disebut sebagai Nan Ampek Jinih (Unsur Empat Jenis).

Biasanya struktur organisasi KAN terdiri dari:

  • Ketua KAN (biasanya ketua dipilih secara musyarawah mufakat oleh rapat anggota)
  • Ketua Bidang (mengurusi bidang-bidang terkait dengan adat dan budaya)
  • Anggota (terdiri dari para penghulu, para manti, para malin dan para dubalang).

Seorang Ketua KAN mewakili lembaga KAN berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Wali Nagari selaku pejabat eksekutif dalam administrasi pemerintahan resmi negara.

Unsur Empat Jenis dan Tiga Tungku dalam masyarakat adat

Setiap Kampung yang terdiri dari beberapa kepala keluarga dipimpin oleh Penghulu Andiko didampingi oleh Pandito yang mengurus soal-soal agama. Penghulu Pucuk, Monti (Manti/Menteri), Malin (Mualim/Alim Ulama), Dubalang (Hulubalang), Penghulu Andiko dan Pandito (Cerdik Pandai) disebut “Orang Nan Bajinih”. Orang Nan Bajinih yaitu, imam masjid (yang dipegang oleh Suku Malayu); Khatib (yang dipegang Suku Patopang); Bilal (yang dipegang Suku Supanjang) dan Ongku Kali (Kadhi) Silungkang Khusus yang juga termasuk “Orang Nan Bajinih”.

Sedang Tungganai yang memimpin Kaum atau Famili (kepala keluarga), yang biasanya disebut Mamak Kaum atau Mamak Kepala Waris, tidaklah termasuk “Orang Nan Bajinih”.

Jumlah Orang Nan Bajinih di Silungkang 60 orang: 5 Penghulu Pucuk, 5 Malin, 5 Monti, 5 Dubalang, 18 Penghulu Andiko, 18 Pandito, 1 Imam, 1 Khatib, 1 Bilal dan 1 Kadhi. Ke 60 Orang Nan Bajinih tersebut adalah anggota-anggota KAN (Kerapat Adat Nagari) Silungkang yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat.

Perda Sumatera Barat


“Keputusan-keputusan KAN menjadi pedoman bagi Kepala Desa dalam menjalankan roda Pemerintahan dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat negari. Aparat pemerintahan juga berkewajiban membantu menegakkannya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku” (Perda Sumatera Barat No. 13/1983, Bab IV, pasal 7, sub 2).

Menurut Hasan Basri Durin Datuk Rangkayo Mulia Nan Kuning) Pimpinan tertinggi dalam Nagari adalah mufakat para Penghulu. Dalam perkembangannya kemudian dalam musyawarah itu diikutsertakan unsur-unsur Ulama dan Cerdik Pandai. Sebagai pimpinan musyawarah biasanya ialah Penghulu Pucuk yang lebih ditinggikan dari Penghulu-penghulu pucuk lainnya (biasanya karena asal-usulnya dari kaum yang paling dahulu menghuni Nagari tersebut) Nagari yang menganut Koto Piliang. Di nagari-nagari yang menganut aliran Bodi Caniago biasanya dipilih di antara penghulu-penghulu. Pimpinan musyawarah ini kemudian menjadi penghulu Kepala, lalu menjadi Kepala Nagari pada zaman penjajahan Belanda.

Catatan kaki

  • Mochtar Naim. 1984. Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik. Padang: Genta Singgalang Press, hlm. 57.
  • Hasan St. Maharajo. Mei 1988. Silungkang dan Adat Istiadat. Edisi 1. Jakarta.

Rujukan

Pranala luar

  1. ^ https://books.google.co.id/books?id=K89RCwAAQBAJ&pg=PA220&dq=kerapatan+adat+nagari&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj5pO_h6fnqAhU0muYKHfuyCQIQ6AEIQTAE#v=onepage&q=kerapatan%20adat%20nagari&f=false
  2. ^ https://books.google.co.id/books?id=zLaYDwAAQBAJ&pg=PA125&dq=kerapatan+adat+nagari&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj5pO_h6fnqAhU0muYKHfuyCQIQ6AEISzAF#v=onepage&q=kerapatan%20adat%20nagari&f=false
Kembali kehalaman sebelumnya