Kerajaan Patipi
Kerajaan Patipi (Melayu Papua: Petuanan Patipi) adalah kerajaan Islam Papua di Semenanjung Onin tepatnya di Teluk Patipi, Fakfak.[1] Asal muasalSejarah masyarakat Teluk Patipi yang merupakan bagian dari suku Mbaham-Matta bisa dibagi menjadi beberapa fase berdasarkan lokasi persinggahan dalam menjalankan migrasi: (1) fase konggoup; (2) fase tokpekperi; (3) fase hriet wriya; (4) fase kerja wriya; (5) fase peh wriya. Fase pertama konggoup merupakan kelompok-kelompok kecil (marga) yang menjadikan gua-gua (konggoup) sebagai tempat tinggal dan aktivitas domestik, sehingga banyak keluarga yang menggunakan nama gunung sebagai nama marga. Alat-alat kerja masih sangat sederhana dan terbuat dari batu dan kayu sehingga sejajar dengan periode Paleolitikum (zaman batu kuno). Selain itu gua juga menjadi tempat sakral untuk upacara khusus. Selanjutnya masyarakat Patipi melakukan migrasi untuk mencari tempat baru yang mengarah ke wilayah pesisir, untuk lokasi persinggahan sejenak mereka menggunakan dedaunan lebar yang menyerupai payung yang disebut Tokpekperi. Struktur masyarakat masih berupa kelompok-kelompok individual marga yang nomaden dengan model mata pencaharian meramu dan berburu. Pergeseran waktu mereka mulai memasuki fase semi-sedenter dimana kelompok individual marga mulai menetap dan bercocok tanam dan membangun rumah kebun yang disebut hriet wriya (hriet: kebun, wriya: rumah). Fase ini merupakan awal domisili dan dilakukan pengusahaan tanah dengan berkebun terbatas, dan awal mula pembagian kepemilikian wilayah kebun oleh marga-marga tertentu. Dinarasikan bahwa moyang-moyang marga mulai mengetahui dan merintis perjumpaan satu sama lain dengan menggunakan asap dari api. Perjumpaan antar kelompok kecil marga memfasilitasikan terbentuknya kelompok lebih besar. Kelompok yang lebih besar ini membangun rumah bersama untuk tempat pertemuan, musyawarah, dan ritual yang disebut kerjawriya. Rumah ini berukuran besar dan didirikan di atas tiang-tiang pancang yang cukup tinggi, terbagi pula dalam satu ruang kamar tempat diletakkannya benda-benda sakral dan sang pemimpin serta ruang luas untuk pertemuan rapat dan pesta-ritual. Pembentukan kelompok besar lintas marga tersebut untuk mengatasi tantangan baru dengan sistem organisasi lebih teratur. Biasanya diinisiasi oleh seorang pimpinan marga utama yang kemudian menjadi patron. Patron memang memiliki kelebihan dalam hal keahlian peran dan ilmu serta ekonomi maupun kemampuan supranatural. Pada tahap inilah terjadi peperangan antar kelompok kerjawriya yang juga disebut hongi dibawah hegemoni simbolik Kesultanan Tidore. Pengayauan dan kanibalisme berlangsung cukup masal, tengkorak kepala kelompok yang ditaklukkan dan dibunuh dibawa kembali sebagai tanda kemenangan dan diletakkan di kerjawriya kelompok yang menang. Persenjataan mereka adalah parang, tombak, dan panah. Fase peh wriya merupakan fase akhir dimana warga turun ke pantai dan membuka interelasi dan interaksi sosial baru, dimana terbentuk komunitas-komunitas lintas marga dan pendatang yang baru sebagai basis pengembangan kampung-kampung saat ini. Mereka yang turun lebih awal mengambil tempat hidup di pantai dengan rumah-rumah panggung (peh wriya). Marga-marga yang datang kemudian, memilih menetap di gunung-gunung yang terletak secara geografis di atas komunitas-komunitas marga pehwriya. Selanjutnya marga-marga di gunung diberi tempat oleh marga-marga pehwriya (seperti awal mula Kampung Sorpeha dan Merapi). Mereka bersama membentuk aliansi (band) lintas marga di wilayah pesisir. Aliansi marga-marga ini yang berinteraksi dengan para pendatang diberbagai bidang: perdagangan, politik, agama, dan perkawinan. SejarahAwalnya beberapa tokoh Patipi pergi ke Tidore untuk "membeli agama", bisa dibilang kegiatan ini untuk mendapatkan legitimasi karena wilayah Patipi merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Rumbati. Sultan Tidore menantang para tokoh tersebut untuk menebang pohon sukun besar di dekat istana. Lalu tantangan ini dijawab oleh seorang bernama Tada Banenkin. Atas keberhasilan itu mereka diajarkan agama Islam selama beberapa minggu, kemudian mereka mendapatkan gelar-gelar. Untuk mendapatkan gelar tersebut mereka harus memberi upeti kepada kesultanan Tidore. Setelah itu para tokoh ini singgah di Pulau Was untuk menentukan pembagian gelar. Setelah itu mereka masih harus menentukan figur yang dianggap mahir berkomunikasi dengan dunia luar dalam konteks perdagangan. Gelar raja kemudian dibawa redi muda Tada Mbanekin Patiran (dalam sumber lain disebutkan Hrihtagmo yang merupakan panglima perang) ke Kampung Mawar karena perahu kajang yang digunakan berasal dari sana. Melalui pertanda asap mereka menemukan figur Raja Teluk Patipi dari Kampung Patipi Pulau marga Karanggusi. Tetapi terjadi perebutan dan konflik atas penetapan ini hingga akhirnya setelah terjadi kekosongan gelar raja diperoleh marga Iba dari Kampung Patipi Pasir. Pengangkatan Abdulrachim sebagai raja Patipi oleh residen Ternate pada tanggal 15 Juni 1896, didasarkan pula atas nasihat dari Mohamad Tahir Alting Pangeran Tidore dan Raja Misool Abduhamijij. Walaupun terjadi perdebatan yang menegangkan melalui ingatan masyarakat teluk Patipi bagian dalam (Kampung Degen, Offie, Adora, Us, Puar), antara garis keluarga Kranggusi, dengan pihak Redi Muda Kamandimur (Kampung Degen) dan Redi Muda Mbanekin serta pimpinan kampung dalam (Kampung Puar, Adora, Tetar). Disebutkan bahwa Redi Muda Kamandimur lah yang berhak menentukan raja, apabila menolak akan terjadi peperangan hongi, sehingga pihak Kranggusi/Koman mengalah. Muncul serangan balik dari marga Karanggusi, Raja yang bermarga Iba dilindungi marga Hindom yang dipimpin Redi Muda Kamandimur atau Runggumasa di Kampung Degen. Redi Muda Kamandimur tidak menahan gelar raja untuk dirinya maupun marga Hindom tetapi diserahkan ke marga Iba. lalu pergi ke Kampung Offie dan bertemu Redi Muda Mbanekin Patiran untuk menyetujui gelar raja untuk marga Iba dari Kampung Rangkendak yang menikah dengan saudari dari Redi Muda Kamandimur Hindom. Perlu diketahui marga Hindom adalah beragama kristen tetapi kedua moyang marga Iba beragama Islam. Agama tidak menjadi halangan dan tradisi ini tetap berlanjut dimana keturunan Redi Muda Kamandimur tetap dimintai keputusan penetapan pengganti raja yang meninggal atau mundur. KebudayaanMasyarakat Mbahan Matta Patipi mengenal dua jenis rumah, rumah kampung, peh wriya (Bahasa Iha: rumah pantai), dan rumah kebun, hriet wirya (Bahasa Iha: rumah kebun). Pada masa panen orang-orang akan tinggal di dalam rumah kebun selama 4-5 hari sementara anak-anak akan tinggal di rumah kampung. Selain itu sebelum jalan dibangun masyarakat berpergian dengan jalur laut dan jalur gunung, sehingga rumah kebun juga memiliki fungsi sebagai persinggahan. Konstruksi rumah berupa semi-permanen dengan bentuk rumah panggung tertata mengikuti garis pantai, yang dibuat setelah penimbunan dan pengeringan. Kampung-kampung di teluk Patipi tersegregasi berdasarkan agama. Pala (Bahasa Iha: Henggi Tomandin) merupakan sumber perkenomian masyarakat. Tanaman tersebut juga dihormati dengan ritus Meri Totora. Walau masyarakat menganut sistem patrilineal melalui ritus ini saudara dan anak perempuan tetap mendapat warisan harta dan hasil panen. Daftar raja
Referensi
|