Keracunan jamur merujuk kepada dampak buruk dari masuknya unsur racun dari sebuah jamur ke dalam tubuh. Dampaknya dapat beragam dari sakit perut sampai kematian. Jamur liar merupakan salah satu komoditas pertanian yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh masyarakat Indonesia. Namun, risiko keracunan bisa terjadi karena morfologi yang sering kali terlihat mirip antara jamur yang dapat dimakan dan yang beracun. Maka dari itu, penting sekali mengidentifikasi jamur yang dapat dikonsumsi maupun yang tidak dapat dikonsumsi.
Penyebab
Keracunan jamur dapat terjadi ketika seseorang mengonsumsi jamur yang mentah atau ketika seseorang mengonsumsi spesies jamur yang memang beracun. Jenis Chlorophyllum molybdites diketahui merupakan penyebab utama kasus keracunan jamur sepanjang masa di berbagai negara (Lehmann & Khazan, 1992).[1] Hal tersebut juga dapat berkaitan dengan pengetahuan seseorang terkait pengenalan (identifikasi) terhadap jamur saat merambah.
Sifat Racun
Keracunan jamur biasanya menimbulkan berbagai gejala tergantung dari seberapa banyak jamur yang dikonsumsi atau seberapa banyak zat beracun yang terdapat pada jamur yang dikonsumsi. Berdasarkan efek samping fisiologisnya, racun yang disebabkan oleh jamur dibagi menjadi empat kategori, yaitu :
Racun Protoplasma, yaitu racun yang mengakibatkan kerusakan sel secara umum dan diikuti dengan kegagalan organ. Yang termasuk racun protoplasma di antaranya:
Amatoksin/Amanitine.
Amatoksin merupakan salah satu toksin yang sering menyebabkan keracunan. Racun ini dapat mengganggu transkripsi DNA sehingga menyebabkan nekrosis pada sel-sel dengan sintesis protein tingkat tinggi. Kerusakan yang paling penting yang disebabkan oleh racun ini yaitu nekrosis hati. Keracunan yang disebabkan amatoksin memiliki karakteristik dengan periode laten yang panjang yaitu 6 – 24 jam, di mana selama itu korban tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan. Kelompok jamur amatoksin adalah kelompok jamur Amanita (Amanita phalloides, Amanita virosa) atau dikenal dengan The Death cap atau Destroying Angel, The Fool’s Mushroom (A. verna).
Hidrazine Salah satu racun yang termasuk kelompok hidrazine adalah Gyromitrin. Toksin Gyromitrin (N -methyl-Nformylhydrazone) terurai dengan cepat dalam lambung dan duodenum menjadi asetaldehida dan N-methyl-N-formylhydrazine, melalui hidrolisis lambat diubah menjadi monomethylhydrazine (MMH) dan hidrazin lainnya. Kelompok jamur yang menyebabkan toksin Gyromitrin di antaranya spesies Gyromitra esculenta (the false Morel) dan spesies Gyromitra lainnya (Gyromitra gigas dan G. fastigiata).
Orellanin Toksin Orellanin biasanya terdapat pada spesies Cortinarius. Keracunan karena toksin Orellanin ditandai dengan periode laten yang lama. Gejala keracunan awal seperti mual, muntah, nyeri pada abdomen, anoreksia, dan diare akan tertunda selama 12–14 jam setelah tertelan. Organ target utama dari racun orellanin adalah ginjal, fase ginjal terjadi karena keracunan biasanya berkembang 4–15 hari setelah tertelan. Gejalanya yaitu terdiri dari haus berat, diuresis, dan rasa sakit berkembang dalam segitiga lumbal atas ginjal. Penderita juga mengalami sakit kepala terus-menerus, menggigil, kelesuan, kelelahan, ketidaknyamanan muskuloskeletal dan sendi, dan kurangnya nafsu makan disertai dengan oligura gagal ginjal yang progresif, atau lebih jarang poliuria, dan akhirnya anuria.
Neurotoksin, yaitu senyawa yang menyebabkan gejala neurologis, seperti berkeringat banyak, koma, kejang, halusinasi, kegembiraan, dan depresi. Yang termasuk ke dalam neurotoksin di antaranya :
Ibotenic Acid dan Muscimol Toksin atau racun yang ditimbulkan oleh gejala umumnya terjadi dalam 30–180 menit. Efek toksin bisa berlangsung 12 jam. Pengaruh utama dari Ibotenic Acid dan Muscimol adalah disfungsi sistem saraf pusat, biasanya depresi SSP (Sistem Saraf Pusat). Gejala yang ditimbulkan diawali dengan mual, muntah, pusing, vertigo, ketiadaan koordinasi, mengantuk. Gejala-gejala ini sering diikuti dengan kebingungan, ataksia, euforia mirip keracunan etanol. Gejala berkembang menjadi aktivitas hiperkinetik, sentakan otot (muscle jerks), kram, dan delirium. Contoh spesies yang menghasilkan toksin ini yaitu The Fly Agaric (Amanita muscaria) dan Panthercap (Amanita pantherina), keduanya mengandung asam yang dengan cepat dilepaskan dari tubuh jamur karena proses memasak dan merebus, tetapi proses ini tidak menghilangkan semua zat beracun yang dikandungnya atau tidak memperlihatkan toksisitas yang lebih rendah.
Psilocybin.
Toksin Psilocybin dapat melepaskan efek neurotoksik mirip dengan LSD (d-lysergic acid) dengan struktur kimia yang berkaitan erat dengan serotonin, pengaruhnya terutama berkaitan dengan susunan saraf pusat (halusinasi), selain itu juga melepaskan beberapa efek pada saraf periferal. Biasanya genus yang memproduksi toksin ini yaitu Genus Psilocybe, Panaeolus, Copelandia, Gymnopilus, Cono, dbe dan Pluteus. Gejala keracunan pada toksin ini akan berkembang dalam kurun waktu 10 menit sampai 2 jam setelah tertelan.
Iritasi gastrointestinal, yaitu senyawa yang menyebabkan mual, muntah, perut kram, dan diare. Ada beberapa jamur yang dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal, di antaranya Chlorophyllum molybdites, Entoloma lividum, Tricholoma pardinum, Omphalotus illudens, Paxillus involutus, Russula emetica, Early Verpa bohemica, Agaricus arvensis, Boletus piperatus. Gejala keracunan biasanya muncul dalam 20 menit hingga 4 jam setelah menelan jamur. Gejala-gejala seperti mual, muntah, perut kram, dan diare mirip seperti gejala keracunan yang diakibatkan oleh racun proptoplasma.
Racun seperti disulfiram, biasanya bersifat toksik dan efeknya akan terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan alkohol (etanol) sedangkan jika dikonsumsi secara tunggal tidak beracun. Genus Coprinus (Coprinus atramentarius, Coprinus cornatus, Coprinus disseminatus, Coprinus micacues, Coprinus picaceus) memproduksi toksin coprine yang bersifat disulfiram. Gejala keracunan yang diakibatkan oleh toksin coprine akan terus berlangsung selama alkohol masih ada di lambung korban. Korban akan sembuh secara spontan jika alkohol dibebaskan.
Kasus Keracunan Jamur di Indonesia
Salah satu jamur yang sering kali tumbuh di sekitar permukiman, terutama di Indonesia yaitu Chlorophyllum molybdites. Oleh karena itu, beberapa kali kasus keracunan jamur di Indonesia disebabkan oleh Chlorophyllum molybdites. Pada 10 tahun terakhir, diduga telah terjadi sebanyak 4 kasus keracunan akibat Chlorophyllum cf. molybdites di Indonesia dengan total 34 orang korban dan tanpa ada yang meninggal dunia. Jamur ini diketahui mengandung senyawa toksik berupa racun protein polimerik. Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa telah terjadi sebanyak 4 kasus keracunan akibat C. molybdites selama kurun sepuluh tahun terakhir di Indonesia.[1] Sebanyak 34 orang (dengan rentang umur 7–53 tahun) diketahui merupakan korban tanpa ada yang sampai meninggal dunia. Jumlah korban paling banyak berada pada tahun 2013 dengan jumlah 3 kali lebih banyak dari korban paling sedikit (5 orang) yakni pada tahun 2017. Kasus-kasus keracunan tersebut diketahui dari 4 provinsi di Indonesia yakni Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa tengah, dan Jawa Timur. Seluruh kasus keracunan yang terjadi akibat kesalahan pengenalan dan kurangnya pengetahuan terhadap jamur ini.
Tips Memilih Jamur untuk Dikonsumsi
Ada tips khusus yang dapat dilakukan sebelum mengonsumsi jamur, di antaranya :
Amati terlebih dahulu bentuk serta sifat jamur tersebut karena akan sangat berbahaya apabila kita tidak mengenal serta membedakan antara jamur yang beracun dan yang tidak beracun.
Jamur beracun biasanya memiliki warna mencolok, bau tidak sedap, dan mudah hancur apabila diraba serta memiliki bintik-bintik mencolok disekitar tudungnya.
Jangan mengambil jamur yang belum mekar dengan benar karena hal ini akan sulit bagi kita untuk mengetahui jenisnya.
Jangan memakan jamur yang bergetah saat dipotong.
Jangan mengambil jamur dari tempat yang kotor dan berbau.