Kekuatan panganKekuatan pangan dalam politik internasional adalah penggunaan sumber daya pertanian sebagai alat kontrol politik di mana satu negara atau kelompok negara menawarkan komoditas kepada, atau menahannya dari negara atau kelompok negara lain untuk kepentingan tertentu. Kemungkinan penggunaannya sebagai senjata diakui setelah negara-negara OPEC sebelumnya memanfaatkan minyak sebagai senjata politik. Pangan memiliki pengaruh besar terhadap tindakan politik suatu bangsa. Mengantisipasi kekuatan pangan sebagai senjata, suatu negara akan berusaha bertindak untuk memenuhi ketersediaan pangan warganya.[1][2] Kekuatan pangan merupakan bagian tak terpisahkan dari politik pangan. Gagasan penggunaannya digunakan dalam embargo, strategi kekuatan, dan politik pangan. Kekuatan pangan secara efektif dapat diterapkan jika kondisi berikut terpenuhi, yakni kelangkaan, penguasaan pasokan, penyebaran permintaan, dan kemandirian tindakan. Pada era 1970-an, empat negara pengekspor komoditas pertanian dalam jumlah yang dianggap cukup sebagai sebuah pengerahan kekuatan pangan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.[3][4] Saat ini empat negara yang mendominasi produk pangan dunia yaitu Amerika Serikat, Brazil, India, dan China.[5] Dalam skala yang lebih kecil, khususnya di beberapa negara Afrika, kekuatan pangan digunakan sebagai senjata oleh pihak-pihak yang bertikai dalam perang saudara dan konflik melawan rakyatnya sendiri.[6][7][8] Latar belakang sejarahPada era 1970-an, empat negara ini memiliki kemampuan mengekspor komoditas pertanian dalam skala yang dianggap cukup sebagai kekuatan pangan hipotetis, yaitu: Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.[3][4][5]Ketergantungan negara-negara yang kekurangan pangan kepada negara pengekspor utama itu mungkin akan menyebabkan krisis pangan seandainya pasokan dihentikan. Akan tetapi, sementara para pemimpin politik di negara-negara pengimpor pangan dilanda kekhawatiran atas ketergantungan mereka, negara-negara pengekspor tadi umumnya tidak menahan karena produsen pertanian di negara-negara tersebut menekan pemerintah mereka untuk terus mengekspor.[9] KebijakanPolitik pangan adalah aspek politik produksi, pengendalian, pengaturan, pemeriksaan, dan distribusi pangan. Politik pangan itu sendiri dipengaruhi oleh perdebatan etika, budaya, medis dan lingkungan tentang bagaimana metode pertanian, pemasaran, regulasi-regulasi yang tepat. Kekuatan pangan merupakan bagian tak terpisahkan dari politik pangan.[3][2] Pada tahun 1974 Earl Butz, Menteri Pertanian Amerika Serikat, mengatakan bahwa “Pangan adalah senjata”.[10] Politik minyak OPEC menginspirasi Amerika untuk menggunakan pangan sebagai alat dalam menghadapi negara-negara lain untuk meraih tujuan-tujuannya.[10] Terdapat beberapa alternatif penggunaan kekuatan pangan. Seorang importir dapat menolak untuk mengimpor barang kecuali ada imbalan-imbalan politik tertentu. Efeknya sama dengan kasus eksportir yang menolak untuk mengekspor.[3] Salah satu contoh yaitu pengurangan kuota impor gula Kuba oleh Amerika.[3][11] Secara sederhana, dalam kondisi permintaan yang terpusat (satu importir menjadi pembeli dominan) sementara sumber pasokannya tersebar (beberapa eksportir bersaing untuk menjual produk yang sama), importir dapat memanfaatkan kesenjangan ini secara politis demi meraih keuntungan. Hal itu akan sangat efektif terutama jika eksportir tidak punya banyak pilihan kecuali mengekspor (kemandirian rendah).[1] Kekuatan pangan dan ketahanan panganKetahanan pangan dan kekuatan pangan tidaklah sama. Namun kedua hal itu sering berhubungan secara langsung. Ketahanan pangan adalah kondisi ketika seluruh penduduk di suatu wilayah senantiasa tercukupi kebutuhan pangannya untuk tetap hidup secara normal.[12] Kekuatan pangan berkaitan dengan kondisi tersebut ketika pemerintah, perusahaan, pemimpin, negara, dan komponen-komponen lain, bersama-sama menggunakannya sebagai daya tawar untuk memperoleh sesuatu dari negara asing. Banyak negara mengeksploitasi kekuatan pangan untuk mengancam ketahanan pangan negara lain. Kesejahteraan suatu negara terkait erat dengan kesejahteraan rakyatnya; oleh karena itu setiap negara tentu menginginkan suplai pangan yang layak bagi warganya. Kebutuhan tersebut dapat dimanfaatkan dalam strategi politik pangan yang menunjukkan peran kekuatan pangan.[12] Kekuatan pangan dan embargoEmbargo tidak sama dengan kekuatan pangan tetapi kekuatan pangan bisa digunakan dalam embargo. Faktanya, embargo yang tidak memasukkan komoditas pangan dalam daftar larangan sering kali gagal mencapai sasaran.[13] Contohnya, pada 20 Agustus 1914 negara-negara Sekutu mulai mengembargo barang-barang penting yang biasanya dikirim ke Jerman. Namun, embargo itu tidak efektif sampai komoditas pangan ditambahkan ke dalam daftar embargo.[13] Pangan memiliki kekuatan yang nyata. Setelah pasokan pangan dihentikan, blokade mulai mencekik ekonomi Jerman karena kebutuhan pangan mereka bergantung pada impor. Karena Sekutu menggunakan kekuatan pangan dalam embargo mereka, Jerman terpaksa melakukan berbagai upaya meskipun pada akhirnya tetap saja gagal.[13] Pada awal 1980-an, Amerika Serikat mengembargo komoditas gandum terhadap Uni Soviet. Hal ini adalah tindakan AS dalam memanfaatkan kekuatan pangan meskipun hal itu tidak terkonfirmasi. Soviet kemudian mengimpor biji-bijian dari pemasok yang berbeda; embargo menyebabkan peningkatan impor biji-bijian selama periode waktu itu tetapi dengan biaya yang lebih tinggi.[9] Upaya embargo pangan yang gagal lainnya yaitu yang diterapkan oleh Dewan Keamanan PBB terhadap Irak pada tahun 1990.[9] Contoh lain lagi yaitu embargo Amerika Serikat terhadap Kuba.[14] Embargo ini masih berlangsung, dan, karena situasi dan kondisi kesehatan masyarakat Kuba yang menurun, embargo tersebut menuai banyak kecaman.[15] Strategi penerapanKondisi strukturalKekuatan pangan hanya dapat digunakan secara efektif jika kondisi struktural tertentu berlaku:[16]
Keempat kondisi di atas harus hadir bersamaan untuk mengubah aset ekonomi pangan menjadi sebuah instrumen politik. Hal ini tidak berarti bahwa aset ekonomi akan digunakan setiap kali empat kondisi di atas muncul. Keputusan seperti itu dipertimbangkan sesuai kondisi, misalnya, pertimbangan sifat alami konflik yang terjadi beserta penilaiannya, tujuan, pilihan-pilihan alternatif, dan penilaian manfaat.[1] Penggunaan kekuatan pangan sebagai senjata ekonomiAda beberapa strategi penggunaan kekuatan pangan sebagai senjata ekonomi dalam hubungan antarnegara. Pertama, penggunaan yang berkaitan dengan tawar-menawar oleh penjual/pembeli dalam sebuah kontrak bisnis. Strategi dalam bentuk ini menyangkut soal harga barang, transportasi, jadwal pengiriman dan pembayaran. Meskipun hal ini adalah contoh penerapan kekuatan pangan yang berhasil, tetapi bukan merupakan tujuan politik.[1][17] Penerapan kedua menyangkut kebijakan ekonomi negara pembeli yang tidak berkaitan dengan transaksi barang. Kaitannya yaitu dengan keseimbangan neraca pembayaran, masalah umum seperti inflasi atau perpajakan dan penguasaan tanah. Perbedaannya dengan yang pertama yaitu tidak ada hubungan antara latar belakang kondisi-kondisi yang terjadi dengan proses transfer produk.[3][1] Kedua penggunaan kekuatan pangan sebagai senjata ekonomi di atas berkaitan dengan bidang ekonomi. Dalam politik, penerapannya berkaitan dengan kebijakan luar negeri dan pertahanan negara pembeli. Banyak yang percaya adanya ambang batas moral antara ekonomi dan politik sehingga penggunaan untuk keuntungan politik dipertanyakan. Contoh penggunaan senjata ekonomi untuk tujuan politik yaitu pemboikotan terhadap negara tertentu serta pembelian suara di PBB.[3][1] Penerapan keempat berkaitan dengan asumsi dasar kategori ketiga: pemerintah tidak mengakui rezim negara lawan sebagai pemerintah yang sah. Tujuan ekonomi tidak lagi dilihat sebagai sarana untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan negara lawan, melainkan untuk mendukung pihak oposisi atau menjatuhkan rezim pemerintahan.[3][1] Amerika SerikatPada saat Amerika Serikat menjadi negara yang dominan di berbagai bidang seperti militer, energi, ekspor, dll. kekuatan pangan tidak terlalu dihiraukan. Namun, karena dominasi beberapa aspek telah berkurang, wacana kekuatan pangan kemudian mengemuka. Dalam bidang pangan pun AS unggul dan tak tertandingi.[18][19] Amerika Serikat memiliki posisi sebagai produsen dan pengekspor makanan terbesar.[19] Sementara itu negara-negara lain, terutama negara berkembang dan bahkan beberapa negara eksportir minyak terkaya, mulai mengalami kekurangan pangan dan semakin tergantung pada impor dari AS. Kondisi ini memberikan daya tawar yang semakin besar kepada negara tersebut. AS bisa berharap bahwa negara-negara pengimpor makanan itu menjadi lebih kooperatif terhadap kepentingannya. Hal ini juga berarti memungkinkan AS untuk menggunakan pengaruhnya atas negara-negara itu. Ketika beberapa negara OPEC termiskin menjadi tergantung pada impor gandum yang menjadi komoditasnya,[9] AS di sisi lain dapat memanfaatkan pembatasan ekspor untuk tujuan politik. Kekuatan pangan memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana menekan negara-negara OPEC. Kekuatan ini akan efektif penggunaannya pada saat terjadi kekurangan pangan karena negara-negara tersebut berada dalam posisi sulit.[19] AS ada kalanya memberlakukan larangan ekspor komoditas pangan.[17] Tujuan kebijakan tersebut berbeda-beda, tetapi secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu untuk membendung kekuatan negara asing dan untuk memperluas pasar atau alasan kemanusiaan. Tujuan kebijakan pembendungan yaitu untuk menghukum negara-negara yang mengancam AS. Contoh ancaman semacam itu adalah negara-negara yang bentuk pemerintahannya berbeda. Contoh yang terkait dengan tujuan pembendungan yaitu tidak ada bantuan untuk negara komunis, pemerintah sosialis, negara yang mendukung rezim radikal, rezim tidak demokratis yang bersikap lemah terhadap komunisme, dan negara-negara yang tidak menerima perjanjian AS.[3] Contoh tujuan pengembangan pasar dan kemanusiaan yaitu untuk kategori negara yang mencoba bersaing dengan AS secara ekonomi. AS akan menghentikan bantuan terhadap negara-negara yang mencoba menasionalisasi properti perusahaan AS, negara yang ingin mengambil alih fungsi perusahaan AS, dan negara yang mencoba memulai kebijakan ekonomi nasionalistik.[19] AS telah mengubah pendiriannya sejak tahun 1970-an, ketika Departemen Luar Negeri dan CIA mengeluarkan laporan yang mengeksplorasi potensi embargo pangan.[20] Rancangan UU 5426, tentang Reformasi Sanksi Perdagangan dan Undang-Undang Peningkatan Ekspor 2000, menghapus sanksi perdagangan produk pertanian yang diterapkan atas Libya, Sudan, dan Korea Utara (perdagangan dengan Kuba tetap terdapat beberapa pembatasan), dan memberi Kongres hak veto atas tindakan sepihak presiden dalam hal ini.[21][22] AfrikaPolitik pangan di Afrika berbeda dengan kasus di Amerika Utara dan Eropa, di mana terdapat penggunaan kekuatan pangan dalam skala kecil di Afrika, khususnya di Sudan.[23] Beberapa ahli mengatakan bahwa kelaparan dan kerawanan pangan di Afrika disebabkan oleh produksi pangan yang tidak stabil dan faktor pertumbuhan penduduk yang berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan. Namun setelah dicermati, terungkap fakta bahwa alam bukanlah satu-satunya faktor penyebab berbagai masalah kerawanan pangan di Afrika.[23] SudanKelaparan umumnya dibentuk oleh dua teori. Yang pertama adalah terjadinya Penurunan Ketersediaan Pangan (FAD: Food Availability Decline).[23] Penyebabnya yaitu kekeringan, perang, atau perubahan drastis pada sistem pertanian lainnya. Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab umum terjadinya kelaparan. Teori lain berkaitan dengan kemampuan penduduk untuk mengakses atau mendapatkan hak-hak atas pemenuhan kebutuhan pangan.[23] Dalam kasus di Sudan, penggunaan kekuatan pangan menjadi lazim dalam skala kecil, karena kelompok-kelompok politik bersaing untuk mendapatkan suara rakyat dengan cara menghasut atau mengkondisikan terjadinya kelaparan.[23] Sebagai contoh, ada unsur kesengajaan dalam peristiwa kelaparan di Sudan tahun 1980-an yang juga dimanfaatkan oleh beberapa kelompok elit yang berbeda untuk meningkatkan status politik dan ekonomi mereka.[24][23] Namun, partai politik ini bukanlah satu-satunya kelompok yang diuntungkan. Para pedagang juga diketahui menimbun biji-bijian dan membeli ternak dengan harga sangat rendah ketika kelaparan telah mengubah syarat-syarat perdagangan. Sejumlah oknum pedagang di Sudan Barat diketahui tanpa perikemanusiaan telah menolak menjual gandumnya ke desa-desa yang membutuhkan di Darfur dengan harga yang terjangkau pada saat terjadi kelaparan tahun 1987. Kelaparan Sudan adalah contoh lain dari kekuatan pangan di mana makanan dijadikan sebagai alat kebijakan yang mengabaikan kebutuhan rakyat dan justru memupuk kekuatan-kekuatan politik yang saling bertentangan di negara tersebut. Kelaparan di Sudan pada tahun 1998 adalah bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh pelanggaran Hak Asasi Manusia, kekeringan, dan kelambanan reaksi masyarakat internasional dalam mengantisipasi potensi risiko kelaparan. Daerah yang terkena dampak paling buruk adalah Bahr El Ghazal di barat daya Sudan.[7] Di wilayah ini tercatat lebih dari 70.000 orang meninggal selama bencana kelaparan itu.[24][25] Referensi
Daftar pustaka
|