Kedokteran forensik

Kedokteran forensik adalah istilah luas yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok spesialisasi medis yang menangani pemeriksaan dan diagnosis individu yang terluka dan atau yang telah meninggal, bukan merupakan kematian alami melainkan akibat penyebab eksternal seperti diracun, diserang, bunuh diri, maupun bentuk kekerasan lainnya. Umumnya hasil penemuan tersebut akan dibawa pada ranah hukum (yaitu kasus pengadilan) sebagai alat bukti.

Kedokteran forensik adalah cabang multidisiplin yang mencakup praktik patologi forensik, psikiatri forensik, kedokteran gigi forensik, radiologi forensik, dan toksikologi forensik.[1][2] Kedokteran forensik dibagi menjadi dua berdasarkan kondisi pasien yang akan diperiksa, yaitu kedokteran forensik klinis dan kedokteran forensik patologis. kedokteran forensik klinis hanya akan melakukan pemeriksaan trauma pada pasien yang masih hidup,[3] sedangkan kedokteran forensik patologis melibatkan pemeriksaan trauma pada almarhum untuk menemukan penyebab kematiannya.[4]

Sejarah

Istilah kedokteran forensik klinis diciptakan oleh Thomas Stuart pada abad ke-19, yang mengacu pada hubungan antara penggunaan bukti medis untuk tujuan peradilan, meskipun bentuk kedokteran forensik ini telah digunakan sebelum menggunakan istilah ini. Forensik klinis tidak dapat dianggap apa-apa sampai sistem hukum dan medis berkembang dengan baik. Terdapat bukti dari beberapa bentuk forensik sejauh 220B.C.E. di Dinasti Qin, yang dimana bukti yang menghubungkan sistem medis dan hukum ditulis.[3]

Kedokteran forensik muncul sebagai suatu disiplin ilmu di Prancis pada akhir abad ke-18.[5] Sedangkan kedokteran forensik patologis tidak dianggap sebagai subbidangnya sendiri sampai tahun 1819, ketika Joan Lobstein diangkat sebagai Profesor Patologi di Universitas Strassburg.[6] Meski demikian patologi forensik telah digunakan sepanjang sejarah untuk menentukan penyebab semua faktor kematian (meliputi mekanisme, kronologis, dll) dengan memeriksa tubuh jenazah.

Autopsi dicatat dilakukan pada hewan sejak 400 SM. Berbeda halnya dengan jasad manusia yang hingga pada abad ke-13 masih dianggap suci dan tidak dapat dilakukan pembedahan. Kemudian sekitar tahun 1231 M muncul hukum pertama yang mengizinkan pembedahan dan pengamatan terhadap tubuh manusia. Terbitnya izin ini memulai proses penetapan konsep otopsi manusia.

Pada masa ini dicatat sebagai masa mulainya kemajuan dalam bidang patologi karena penelitian tubuh manusia seperti dipetakan terstruktur sesuai fungsinya, untuk kemudian mempelajari proses kejadian penyakit (etiologis). Peningkatan kualitas medis secara keseluruhan menuju masa yang lebih maju seiring dengan teknik kuno yang ditinggalkan, dan praktik medis ilmiah terbaru mulai diterapkan.[6]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Eriksson, A. (2016). "Forensic Pathology". Forensic Epidemiology. hlm. 151–177. doi:10.1016/B978-0-12-404584-2.00006-9. ISBN 9780124045842. 
  2. ^ Baud, Frédéric J.; Houzé, Pascal (2020). "Introduction to clinical toxicology". An Introduction to Interdisciplinary Toxicology. hlm. 413–428. doi:10.1016/B978-0-12-813602-7.00030-2. ISBN 9780128136027. 
  3. ^ a b A physician's guide to clinical forensic medicine. Martha Stark. Totowa, N.J.: Humana Press. 2000. ISBN 0-585-27707-9. OCLC 45731321. 
  4. ^ Tsokos, Michael (2004). Forensic Pathology Reviews (dalam bahasa English). Humana Press. 
  5. ^ Cage, E. Claire (2022). The Science of Proof: Forensic Medicine in Modern France. Cambridge University Press. ISBN 978-1-009-19833-2. 
  6. ^ a b Choo, Tae M.; Choi, Young-Shik (2012-05-29). "Historical Development of Forensic Pathology in the United States". Korean Journal of Legal Medicine. 36 (1): 15–21. doi:10.7580/KoreanJLegMed.2012.36.1.15. 
Kembali kehalaman sebelumnya