Kedaulatan panganKedaulatan pangan adalah hak seseorang untuk mendefinisikan sistem pangan untuk mereka sendiri. Istilah ini dibuat oleh anggota Via Campesina pada tahun 1996.[1] Pendukung kedaulatan pangan menempatkan individu dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi pangan di tengah pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pangan, bukan korprasi atau institusi pasar. Kedaulatan pangan vs ketahanan panganKedaulatan pangan tumbuh dalam menanggapi ilusi yang diberikan oleh prinsip ketahanan pangan kebijakan penyediaan pangan yang dominan secara global. Kebijakan ketahanan pangan menekankan akses pangan bernutrisi yang mencukupi untuk semua, yang dapat disediakan melalui produksi dari dalam negeri maupun dari impor. Dengan mengatasnamakan efisiensi dan produktivitas, di berbagai negara justru berkembang rezim korporasi pangan di mana perusahaan besar mendominasi produksi dan perdagangan pangan sementara petani kecil terlantarkan.[2] Fokus ketahanan pangan pada rezim korporasi pangan demi produktivias dan efisiensi telah menyebabkan berbagai masalah yang terus meluas secara global, seperti hilangnya pangsa pasar bagi produsen kecil dan berbagai dampak lingkungan dari pertanian. Haiti telah menjadi cntoh bagaimana produsen kecil tumbang akibat korporasi pangan. Urbanisasi dari pedesaan ke perkotaan mencerminkan hilangnya budaya pertanian subsisten menuju budaya buruh pabrik. Petani dipaksa pindah karena beras yang diimpor dari Amerika Serikat jauh lebih murah sehingga beras yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing. Pada tahun 2008, Haiti mengimpor 80 persen beras yang dikonsumsinya, sehingga menyebabkan mereka sangat rentan terhadap perubahan harga dan suplai dunia. Ketika harga beras melonjak pada tahun 2008, banyak masyarakat yang tidak mampu membelinya, sedangkan produksi pangan dalam negeri sudah terlanjur turun, sehingga suplai pangan tidak mencukupi dan banyak yang memakan makanan yang tidak layak.[3] Kritik terhadap Revolusi HijauRevolusi Hijau digerakkan oleh pendukung ketahanan pangan sebagai sebuah kisah sukses peningkatan hasil pertanian dan usaha melawan kelaparan di seluruh dunia. Namun berbagai gerakan kedaulatan pangan kritis terhadap revolusi hijau dan menuduh para pendukung revolusi hijau karena berpihak terlalu ke barat dan tidak memperdulikan kebutuhan mayoritas produsen pangan kecil di pedesaan. Revolusi hijau mengacu pada perkembangan pemuliaan tanaman antara tahun 1960an sampai 1980an yang meningkatkan hasil pertanian serealia, terutama gandum dan padi. Fokus utama adalah penelitian, pengembangan, dan transfer teknologi pertanian seperti benih hibrida dan pupuk melalui investasi publik dan swasta yang mengubah arah pertanian di sejumlah negara di dunia. Menurut Friends of The Earth, revolusi hijau telah mampu memproduksi lebih banyak bahan pangan, namun kelaparan dunia masih terjadi karena revolusi hijau tidak menyelesaikan masalah akses secara ekonomi,[4] terutama akses terhadap lahan dan kemampuan membeli (purchasing power). Perpindahan menuju pertanian industri berjalan bersamaan dengan masalah sosial dan lingkungan. Lahan, sumber daya alam, energi, dan uang terkonsentrasi di tangan korporasi dan pelaku usaha pertanian besar. Petani kecil menjadi berganting pada bahan pertanian yang mahal. Biaya produksi di bawah model pertanian revolusi hijau lebih mahal sehingga tidak mampu menjangkau petani kecil.[5] Pandangan ini didukung oleh Bank Dunia dan laporan International Assessment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development yang disponsori PBB.[6][7] Lihat pula
Referensi
Bahan bacaan terkait
Pranala luar
|