Keboansikep, Gedangan, Sidoarjo
SejarahLegenda dari Keboansikep Pada Tahun 1850, pasukan Diponegoro datang di daerah hutan wilayah kota Sidoarjo. Pasukan itu di bawah pimpinan Buyut Endang dan Mbah Jogoreso. Mereka memutuskan untuk menetap di sana dan mulai menebangi pohon yang ada di hutan untuk dijadikan sebuah pemukiman. Mbah Jogoreso dan Buyut Endang itu tidak lain adalah tokoh yang sangat berperan dalam munculnya atau berdirinya desa Keboansikep. Mereka adalah Mbah Jogoreso dan Buyut Endang yang telah menjadi suami istri. Pada waktu itu Mbah Jogoreso dan Buyut Endang mencari wilayah yang untuk dibangun rumah sebagai tempat tinggal demi kelangsungan hidupnya. Tidak lama kemudian mereka menemukan tempat yang dianggap sesuai untuk dijadikan pemukiman tempat tinggal. Dengan semangat dan kegigihannya, Mbah Jogoreso, Buyut Endang serta para prajuritnya berusaha menjadikan hutan itu menjadi tempat yang berguna demi kelangsungan hidupnya dengan cara menebang (membabad) hutan tersebut. Dengan semangat, kesabaran, kegigihan yang diajarkan Mbah Jogoreso serta Buyut Endang kepada para prajuritnya yang membatunya, sedikit demi sedikit hutan itu berhasil dijadikan ladang yang dibangun rumah serta tempat untuk ditanami tanaman yang bermanfaat demi kehidupan sehari-hari. Setelah Mbah Jogoreso, Buyut Endang beserta para pasukan yang membantu dalam pembabatan hutan itu memiliki tempat tinggal yang layak, dalam benak Mbah Jogoreso pernah terlintas fikiran bahwa setiap manusia yang hidup pasti memiliki keturunan atau generasi. Pada akhirnya keturunan itu juga akan menambah jumlah manusia yang hidup di tempat itu. Apakah akan cukup wilayah yang kecil itu, bila jumlah manusianya terus bertambah ?. Akhirnya Mbah Jogoreso merundingkan hal ini dengan para prajurit yang membatunya tadi, kemudian muncul kesepakatan untuk melanjutkan penebangan atau pembabatan hutan supaya menjadi lebih luas wilayah untuk pemukiman demi kehidupan keturunannya kelak. Sebelum melakukan kegiatan pembabatan hutan ada pembagian tugas yaitu perbedaan tempat atau wilayah yang akan dibabad (tebang). Dalam hal ini Mbah Jogoreso dan Buyut Endang selalu bersamaan untuk penbabatan hutan itu dan berpisah dari para prajurit lainnya. Pada saat Mbah Jogoreso dan Buyut Endang melakukan pekerjaan itu, tiba-tiba mereka berdua menemukan sebuah sungai yang tidak terlalu besar atau lebar. Di sebelah sungai tersebut masih terdapat hutan belantara yang menurut Mbah Jogoreso harus juga dibabad dan dijadikan pemukiman. Meraka berdua bergandengan tangan dalam melewati sungai itu, awal mulanya mereka mengira bahwa sungai itu tidak terlalu dalam. Tetapi angan-angan difikiran mereka tidak sesuai dengan dugaannya. Karena ketika mereka mulai melewati sesamapai di tengah sungai, ternyata sungai itu dangkal. Akibat faktor arus yang yang deras, akhirnya Mbah Jogoreso serta Buyut Endang terhanyut di sungai itu. Tidak lama kemudian setelah penduduk dan para pengikutnya yang sudah selesai membabad hutan, mereka tidak satupun yang melihat Mbah Jogoreso beserta Buyut Endang. Sejumlah penduduk merasa cemas dan kebingungan karena seharusnya mereka berdua sudah kembali ke pemukimannya. Tapi ada seorang dari warga itu memiliki ide untuk mencari Mbah Jogoreso serta Buyut Endang dengan menelusuri daerah yang telah menjadi babatannya. Akhirnya para penduduk setuju dan dimulailah pencarian itu. Langkah demi langkah mereka menelusuri tempat yang sudah dibabat Mbah Jogoreso dan Buyut Endang. Sesampai wilayah terakhir yang dibabat tadi, para warga melihat ada sebuah sungai. Kemudian mereka berhenti dan berpikir apakah mungkin Mbah Jogoreso dan Buyut Endang melakukan pembabatan hutan sampai hutan yang berada di sebelah sungai. Akan tetapi tidak sedikitpun tampak hasilnya. Dari sinilah mereka mulai sadar, apakah mungkin Mbah Jogoreso dan Buyut Endang mengalami kegagalan dalam melewati sungai ! Akhirnya para warga sepakat untuk mencari mereka berdua dengan berjalan di tepi sungai mengikuti arus sungai tersebut. Tidak lama kemudian salah seorang warga melihat Buyut Endang terdampar di tepi sungai dekat dengan sebuah batu besar. Setelah dilihat kondisinya, ternyata Buyut Endang telah meninggal. Akan tetapi para penduduk masih terlihat kebingungan dan gelisah karena Mbah Jogoreso belum juga ditemukan. Ketika berjalan beberapa meter tidak jauh dari tempat ditemukannya Buyut Endang, para warga juga menemukan Mbah Jogoreso dalam kondisi tersangkut di pohon besar yang tumbang ke sungai. Setalah diperiksa ternyata Mbah jogoreso juga sudah meninggal. Perasaan sedih menyelimuti hati para pasukannya atau penduduk yang senasib seperjuangan dalam mencari wilayah untuk tempat tinggal. Akhirnya para penduduk setuju dan memutuskan bahwa Mbah Jogoreso dan Buyut Endang dimakamkan di tempat dekat mereka masing-masing ditemukan saat terdampar di sungai. Sehingga letak makam Buyut Endang dan mbah Jogoreso tidak bersebelahan, akan tetapi berdasar ditemukannya saat mereka berdua terdampar. Jadi makam Buyut Endang di sebelah barat sedangkan Mbah Jogoreso di sebelah timur (di hutan dekat sungai saat mereka terdampar). Samapai sekarang makamnya masih ada dan sungai itu sudah menjadi desa. Setelah meninggalnya Mbah Jogoreso dan Buyut Endang, para penduduk berjanji akan meneruskan cita-cita mereka berdua yaitu menebang (membabat) hutan untuk dijadikan pemukiman atau desa. Mereka berbagi tugas untuk meneruskan cita-cita tersebut dan sepakat mengawali pembabatan hutan itu yang peratama dimulai dari wilayah yang dekat makam Mbah Jogoreso dan Buyut Endang. Setelah beberapa tahun kemudian dengan bertambahnya jumlah warga yang juga memiliki kepandaian, akhirnya hutan belantara berubah menjadi pemukiman atau sebuah desa. Bahkan sungai yang menghanyutkan Mbah Jogoreso beserta Buyut Endang pada saat mengalami kekeringan, oleh warga diratakan dengan tanah dan menjadi tempat tinggal pula. Akan tetapi desa yang sudah dihuni banyak penduduk itu belum memiliki nama. Sampai masa sebelum G30/SPKI di desa itu ada seorang warga menemukan sebuah benda yang berbentuk persegi ukurannya kecil di kebun dekat langgar, yang sekarang menjadi masjid dan diberi nama masjid Jami’ Al-Mubarok. Kebun tempat ditemukan persegi (kotak) itu dulunya milik warga setempat yang bernama Mbah Yem, setelah kotak kecil ditemukan oleh seorang warga kemudian dibukalah kotak tersebut. Kotak itu berisi baju berwarna putih atau orang dahulu menyebutnya kelambi putih. Ahkirnya seorang warga yang menemukan baju putih tadi mengadakan pengumuman, siapa yang merasa memiliki baju (kelambi) putih ini ? warga masyarakat memberikan pernyataan bahwa tidak ada seorangpun yang mempunyai baju putih tersebut. Lalu dikemudian hari kotak kecil yang berisi baju putih itu diserahkan pada pemerintah Sidoarjo dan disimpan dalam museum. Setelah waktu 1 minggu salah seorang warga mengambil kotak tersebut dan disimpan di rumah seorang warga yang menjadi sesepuh desa tersebut. Baju (kelambi) putih itu oleh seorang warga dicoba untuk dibakar akan tetapi tidak bisa terbakar sedangkan pada saat dicuci juga tidak basah. Akhirnya baju putih itu disampan oleh seorang warga dan diabadikan sebagai benda sakral atau keramat. Karena baju putih yang ditemukan dalam kotak pada sebuah “kebun” dan kegunaannya sebagai penutup tubuh “sikepi/nyikepi awak” maka pada akhirnya masyarakat sepakat menggunakan istilah tersebut untuk nama desanya, yaitu Kebunsikep. Ketika pada saat ditinggal Mbah Jogoreso dan Buyut Endang desa itu belum memiliki sebuah nama. Dianggap kurang enak didengar maka warga mengganti “Kebunsikep” menjadi “Keboansikep”. Dengan kondisi masyarakat yang sudah modern, demi kepentingan sebuah desa maka dibentuklah kepala desa beserta perangkat desa. Wilayah administrasiWilayah desa Keboansikep dibagi mejadi 3 dusun yaitu: dusun Congkop, dusun Calukan dan dusun Sikep. BatasDesa Keboansikep ini berbatasan langsung, sebelah timur berbatasan dengan desa Gedangan, sebelah utara berbatasan dengan desa Bohar, sebelah barat berbatasan dengan desa Keboananom, dan disebelah selatan berbatasan dengan desa Seruni. Pranala luar |