Kebijakan kebudayaan Uni EropaKebijakan kebudayaan Uni Eropa mendukung segala kegiatan kebudayaan, pendidikan, dan penelitian oleh perusahaan swasta, organisasi masyarakat, dan individu yang bekerja di ranah seni, musik, penerbitan, dan audiovisual. Kebijakan ini bertujuan memelihara dan mempromosikan sektor kebudayaan Uni Eropa melalui perangkat hukum dan pendanaan pemerintah. Sejak 2000-an Komisi Eropa membuat program tujuh tahunan sebagai terapan dari kebijakan kebudayaan, yaitu Culture 2000 (2000-2007), Culture Programme (2007-2014), dan Creative Europe (2014-2020). Sejarah dan PerkembanganPartisipasi Uni Eropa di dalam sektor kebudayaan merupakan perjalanan yang relatif baru, terutama setelah penandatanganan Perjanjian Maastricht pada 1992 di mana Uni Eropa diberi mandat untuk menangani suatu kebijakan untuk pengembangan budaya. Meski terdapat keterbatasan ikatan hukum, cukup mengejutkan bagaimana Uni Eropa punya rekam yang cukup atas program-program di sektor ini. Program kerja Uni Eropa untuk sektor kebudayaan sendiri dapat dilacak sejak 1970-an dan berkembang jauh pada dekade setelahnya. Sejak dikembangkan pada 1977, kebijakan kebudayaan dipandang telah membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentag identitas keeropaan (European identity). Ketika itu, penyatuan orang Eropa adalah bentuk integrasi sosial dan menjadi penting dalam merespon imigran dari Timur Tengah dan Afrika.[1] Namun, persepsi atas identitas keeropaan semakin lama mendapatkan porsi yang sedikit, meski tidak benar-benar ditinggalkan.[2] Kemunculan persepsi ini masih dianggap relevan dalam melegitimasi suatu kebijakan luar negeri di lingkup Uni Eropa secara umum. Isinya menyatakan bagaimana keragaman budaya di dalam peradaban Eropa, yang diikat dari persamaan nilai dan prinsip hidup, menyumbang keaslian identitas Eropa dan dinamikanya sendiri. Identitas keeropaan dianggap memperkuat rasa kepemilikan masyarakat Eropa. Dalam perkembangannya, terjadi perubahan persepsi atas pembangunan kebudayaan dalam perkembangan kebijakan kebudayaan Uni Eropa. Perubahannya mulai dari model budaya seperti apa yang disetujui, yang berorientasi ke pasar, sampai aspek pemanfaatan dari sektor kebudayaan. Hari ini kita melihat bahwa bagaimana kebijakan kebudayaan Uni Eropa diartikulasikan sebagai sesuatu yang memberi kontribusi pada daya saing ekonomi Eropa, potensi tenaga kerja, dan regenerasi masyarakat urban.[2] Mengacu pada Perjanjian Maastricht, khususnya di Pasal 3, kebijakan kebudayaan Uni Eropa harus mendukung rencana pengembangan kebudayaan nasional maupun regional serta menempatkan warisan budaya di garda depan. Dengan kata lain, kebijakan tersebut tidak dibuat untuk menyelaraskan negara-negara anggota EU menjadi satu identitas, melainkan untuk menjaga keberagaman antar negara. Semangat yang diusung adalah pentingnya pertukaran budaya dan pengetahuan di dalam masyarakat Uni Eropa; promosi dan pemeliharaan warisan budaya; dan dukungan terhadap penciptaan artistik, literatur, dan audiovisual. Agenda Kebudayaan EropaPada 2007 Komisi Eropa merilis pemberitahuan resmi yang ditujukan kepada Parlemen Eropa, Dewan Eropa, Komite Ekonomi dan Sosial, dan komite di tiap-tiap wilayah. Pemberitahuan tersebut berbicara tentang agenda kebudayaan Eropa dalam merespon globalisasi. Agenda kebudayaan ini menyasar kepada partisipasi pemangku kepentingan yang ada, antara lain Komisi Eropa, Parlemen Eropa, negara-negara anggota, dan masyarakat umum akan pentingnya peran kebudayaan di dalam masyarakat Uni Eropa sebagai landasan hidup harmonis dan pembentukan identitas. Komisi Eropa mendorong implementasi agenda kebudayaan yang bersifat lebih kooperatif, sebagaimana tercantum pada Perjanjian Maastricht Pasal 151, "Masyarakat harus memperhatikan aspek-aspek budaya dan bertanggung jawab terhadapnya sebagai bentuk penghormatan dan promosi terhadap keberagaman yang ada... Masyarakat dan negara-negara anggota harus mendorong kerja sama dan pengorganisasian yang kompeten di lingkup internasional dalam bidang kebudayaan".[3] Dengan berpijak pada globalisasi, European Agenda for Culture menyasar pada peningkatan pertukaran produk budaya dan perhatian terhadap keragaman. Agenda kebudayaan ini ingin memperlihatkan kemampuan dalam menjamin masyarakat yang kohesif dan beragam. Langkah tersebut merupakan suatu niscaya Uni Eropa terhadap kekayaan budaya yang mereka miliki serta pengaruhnya di dunia, seperti yang terlihat dari dukungan dan promosi mereka pada kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Dalam Konvensi UNESCO 2005 tentang Perlindungan dan Promosi terhadap Keberagaman Ekspresi Budaya, kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia menjadi prinsip yang harus ada dalam pembangunan kebudayaan.[4] Sebagai suatu kerjasama supranasional, Uni Eropa tidak hanya berproses menjadi kekuatan perdagangan, namun juga tawaran atas proyek kebudayaan sebagai soft power yang dapat menjadi inspirasi bagi dunia masa depan. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan kebudayaan sepatutnya membantu mempromosikan masyarakat yang inklusif dan mengurangi kemiskinan. Sektor kebudayaan menjadi area aktivitas ekonomi dan lahan pekerjaan di seluruh wilayah Uni Eropa sehingga merangsang industri kreatif yang dinamis.[3] Komisi Eropa melanjutkan European Agenda for Culture dengan New European Agenda for Culture yang dirancang pada 2018. Diawali dengan Bratislava Declaration and Roadmap (Deklarasi dan Rencana Sasaran Bratislava), New European Agenda for Culture memberikan dukungan yang lebih besar kepada anak muda. Komisi Eropa ingin menciptakan ruang bagi anak muda untuk membangun masa depan Eropa. Proporsi terhadap anak muda direalisasikan dengan pembentukan Strategi Anak Muda untuk memberdayakan mereka di dalam pengambilan kebijakan. Strategi ini akan berjalan selama 2019-2027. Paralel dalam hal ini, akan ada perbaikan pada sistem pembelajaran dan pengajaran bahasa agar anak muda lebih cakap dalam berbahasa asing.[5] New Agenda for Culture akan membuat rancangan strategis di tingkat Uni Eropa yang akan dilaksanakan pada 2019. Para negara anggota, melalui rencana kerja kebudayaan yang diadopsi dewan kementerian, akan membuat topik utama dan kerangka kerja untuk menyusun kolaborasi kebijakan di sektor kebudayaan.[6] Inovasi Kebijakan dan Kerangka KerjaDemi mencapai sasaran yang ada di dalam European Agenda for Culture, dibentuklah seperangkat sistem dan metode kerja sama baru dengan lingkup yang lebih luas. Open Method of Coordination (OMC)Open Method of Coordination (Koordinasi Metode Terbuka) adalah metode perencanaan kerangka kerja untuk mendukung sasaran strategis European Agenda for Culture dalam bentuk yang fleksibel dan tidak mengikat. "Fleksibel" diartikan sebagai menghormati sepenuhnya kompetensi dan dan kewenangan negara anggota sedangkan "tidak mengikat" diartikan sebagai partisipasi dan prosedur yang sukarela. Gunanya adalah meningkatkan pembentukan kebijakan dan kerja sama yang terstruktur melalui pembelajaran bersama dan pertukaran praktik terbaik (best practice). Kerangka kerja yang disetujui nantinya diintegasikan ke dalam rencana kerja Dewan Eropa.[7] Realisasi OMC untuk sektor kebudayaan pada 2008 memakan waktu yang cukup lama. Sistem ini sebelumnya telah diterapkan di dalam sektor-sektor UE lainnya, seperti pendidikan, anak muda, dan urusan sosial. Tahapan pertamanya dimulai pada 2006, ketika Komisi Eropa menerbitkan konsultasi online dengan menjaring respon lebih dari 200 organisasi dan individu. Penekanannya adalah dialog dengan pengambil keputusan dan masyarakat sipil, misalnya dengan mengakomodasi forum yang lebih harmonis antara 400 pelaku advokasi dengan masyarakat sipil.[8] OMC bekerja secara bertahap. Pertama, Dewan Eropa menyetujui usulan kerangka kerja. Dewan meninjau masukan-masukan yang ada dan berwenang untuk menyusun laporan dan evaluasi, sementara Parlemen Eropa, Komite Ekonomi dan Sosial, dan komite tiap-tiap wilayah akan selalu diberitahu tentang implementasi rancangan kerja.[9] Kedua, negara-negara anggota menerjemahkan pedoman kebijakan menjadi kebijakan berlingkup nasional dan regional dengan masing-masing indikator pencapaian. Merekalah yang menetapkan pedoman kerja dan tujuan bersama melalui pelaporan terpadu. Ketiga, mengadakan monitoring dan evaluasi dengan periode pelaporan dan penegakan aturan yang juga beragam. Sayangnya, OMC yang diharapkan menjadi sistem yang terbuka dan partisipatif belum berjalan efektif untuk sektor kebudayaan. Kondisi ini agak berbeda di dalam sektor pendidikan dan sosial yang berhasil menggerakkan politisi tingkat nasional. Kelemahan OMC di dalam sektor kebudayaan disebabkan karena prosesnya yang tidak mengikat sehingga tidak adanya hukuman bagi negara-negara anggota yang tidak melaksanakan rekomendasi. Lembaga swadaya masyarakat juga kesulitan untuk memberikan kontribusi dan mengikuti sistem baru ini.[10] Perbaikan akses finansialKomisi Uni Eropa, yang juga dibantu oleh Parlemen Eropa, berhasil meyakinkan pelaku bisnis untuk memberikan dukungan finansial. Strateginya adalah memberikan kajian-kajian berbasis bukti tentang dampak sosial serta ekonomi atas pengembangan kebudayaan. Salah satunya adalah data statistik sektor kebudayaan yang menyumbang 2,6% PDB Uni Eropa dengan 3,1% tenaga kerja di 25 negara.[3] Pandangan tentang kontribusi kebudayaan untuk pembangunan juga didukung dengan strategi Creative Europe yang menempatkan komunitas seni sebagai motor pertumbuhan ekonomi, bukan hanya sebagai entitas nonprofit. Pelaku bisnis dan bank swasta lantas diminta untuk memberikan kredit kepada pekerja kreatif, baik individu maupun lembaga. Fasilitas pinjaman keuangan direalisasikan pada 2016 dengan jumlah pinjaman dari bank sebesar €750 juta. Bentuknya adalah jaringan terbuka (open network) lembaga keuangan yang mempertemukan pihak pendana dengan semua subsektor pelaku kreatif sehingga mampu menghasilkan indikator pinjaman dan pengukuran yang bervariasi.[11] Prosedur ini berada di tataran legislatif, tanpa perlunya harmonisasi hukum dan aturan dari negara-negara anggota, dengan konsultasi bersama Komite Regional. Pada 2015 kelompok kerja di dalam OMC menerbitkan laporan eksekutif tentang instrumen akses keuangan bagi sektor kreatif dan kebudayaan. Untuk mengurangi risiko, mereka merekomendasi perlunya skema pendanaan baru dalam bentuk kredit mikro atau urun dana serta mengumpulkan data tentang praktik-praktik terbaik yang telah dilakukan kelompok kreatif demi lebih meyakinkan investor.[8] Hubungan internasional melalui sektor kebudayaanSektor kebudayaan memiliki posisi penting dalam kebijakan luar negeri Uni Eropa. Strategi diplomasi kebudayaan dilatarbelakangi oleh pentingnya perluasan partisipasi dan kewajiban tiap pemangku kepentingan, baik di tingkat lokal, nasional, dan regional Uni Eropa. Kerja sama yang melibatkan sektor swasta dan multinegara akan menaikkan sinergi antar pihak dan memaksimalkan dampak sosial dan ekonomi dari kebudayaan, di dalam dan di luar Uni Eropa. Kerja sama internasional yang ada di dalam European Agenda for Culture sejalan dengan salah satu prioritas Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker. Sejak menjabat pada 2014, garis haluan politiknya merefleksikan strategi global.[12] Pada 2016 Foreign Policy Instruments, sebuah divisi layanan diplomasi luar negeri Komisi Eropa,[13] meluncurkan Cultural Diplomacy Platform, sebuah organisasi untuk membuat rekomendasi kebijakan, memfasilitasi jaringan, dan memberikan pelatihan untuk segala urusan luar negeri. Organisasi ini menjadi implementasi dari EU Strategy for International Cultural Relations (Strategi Uni Eropa untuk Hubungan Budaya Internasional), yang didahului dengan Preparatory Action 'Culture in EU External Relation' (Aksi Persiapan "Budaya di dalam Hubungan Internal EU") selama 2013-2014. Saat ini, Cultural Diplomacy Platform fokus membangun kemitraan dengan beberapa negara yang dianggap stragegis untuk Uni Eropa, seperti Brazil, Kanada, Republik Rakyat Tiongkok, India, Jepang, Meksiko, Rusia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat.[14] Sebelumnya, Uni Eropa telah menjalin proyek kerja sama berbentuk jaringan pusat kreatif (creative hub) di beberapa daerah. Contohnya adalah mendukung program The Young Arab Voices di wilayah Euro-Mediterranian untuk mengurangi kekerasan dan ekstrimisme. Uni Eropa bekerja sama dengan UNESCO juga membantu menanggulangi penjarahan warisan budaya di Suriah.[12] Salah satu objek budaya yang dikedepankan sebagai citra diplomasi dan potensi pariwisata adalah warisan budaya yang ada di negara-negara Eropa. Faktanya, warisan budaya di Eropa menyumbang setengah dari Daftar Warisan Budaya Dunia UNESCO, dengan jumlah 453 situs.[15] Komisi Eropa juga mendorong Parlemen dan Dewan untuk mengorganisir acara European Year of Cultural Heritage pada 2018.[12] Referensi
|