Kebebasan politik
Kebebasan politik (juga dikenal sebagai otonomi politik atau kontrak politik) adalah konsep sentral dalam sejarah dan pemikiran politik Barat juga salah satu fitur terpenting dari masyarakat demokratis.[2][3] Kebebasan politik digambarkan sebagai kebebasan dari penindasan[4] atau paksaan,[5] tidak adanya kondisi yang menjegal bagi individu dan membungkam situasi,[6] atau tidak adanya keadaan paksaan pemenuhan kehidupan, misalnya paksaan ekonomi dalam suatu masyarakat.[7] Meskipun kebebasan politik sering kali dimaknai negatif sebagai kebebasan dengan perilaku yang tidak masuk akal dari kendala eksternal,[8] itu juga dapat merujuk pada pemenuhan hak, kapasitas dan kelayakan tindakan secara positif dan pelaksanaan hak-hak sosial atau kelompok.[9] Konsep ini juga dapat mencakup kebebasan dari kendala internal semacam tindakan atau perkataan politik (misalnya kearifan sosial, konsistensi atau perilaku tidak terpuji).[10] Konsep kebebasan politik erat kaitannya dengan konsep kebebasan sipil dan hak asasi manusia bahwa masyarakat demokratis biasanya diberikan perlindungan hukum dari negara. Kebebasan politik adalah salah satu kelompok hak konstitusional dasar dan kebebasan warga negara, dimana mereka menentukan partisipasi mereka dalam kehidupan publik dan politik negara. Kebebasan politik biasanya dicantumkan dalam konstitusi, undang-undang dan peraturan negara lainnya. Lawan dari masyarakat bebas politik adalah masyarakat totaliter, masyarakat yang meminimalkan kebebasan politik untuk memaksakan segala tindakan rakyatnya.[11] Sudut pandangBerbagai kelompok di sepanjang spektrum politik memiliki pandangan berbeda tentang apa yang mereka yakini sebagai kebebasan politik. Filsafat politik sayap kiri umumnya memasangkan gagasan kebebasan dengan kebebasan positif atau menghubungkan suatu kelompok atau individu dalam menentukan kehidupan mereka sendiri atau mewujudkan potensi mereka sendiri. Dalam pengertian ini, kebebasan dapat mencakup kebebasan dari kemiskinan, kelaparan, penyakit yang dapat diobati dan penindasan serta kebebasan dari kekangan dan paksaan,dari siapa pun.[12] Konsep kebebasan sosialis (liberalitas) seperti yang dilihat oleh filsuf neoliberal dan Penerima Nobel Ekonomi Friedrich Hayek :
Kaum anarkis sosial melihat kebebasan negatif dan positif sebagai konsep pelengkap kebebasan. Pandangan tentang hak seperti itu mungkin memerlukan pertukaran utilitarian, seperti mengorbankan hak atas hasil kerja seseorang, kebebasan berserikat untuk mengurangi diskriminasi rasial atau lebih banyak subsidi untuk perumahan. Kaum anarkis sosial menggambarkan pandangan negatif terhadap kebebasan-sentris yang didukung oleh kapitalisme sebagai "kebebasan egois".[14] Anarko-kapitalis melihat hak negatif sebagai sistem yang konsisten. Ayn Rand menggambarkannya sebagai "prinsip moral yang mendefinisikan dan mendukung kebebasan seseorang untuk bertindak dalam konteks sosial". Bagi kaum libertarian kebebasan positif adalah kontradiktif karena apa yang disebut hak harus dipertukarkan satu sama lain, merendahkan hak-hak yang sah menurut definisi dengan mengalahkan pertimbangan moral lainnya. Setiap tuntutan hak atas hasil akhir (misalnya perumahan, pendidikan, layanan medis dan sebagainya) yang dibuat oleh orang-orang pada dasarnya merupakan hak untuk memperbudak orang lain yang diakui.[15] Filsuf politik Alasdair MacIntyre berteori kebebasan dalam hal saling ketergantungan sosial kita dengan orang lain.[16] Penerima Nobel Ekonomi Milton Friedman, dalam bukunya Capitalism and Freedom, berpendapat bahwa ada dua jenis kebebasan yaitu kebebasan politik dan kebebasan ekonomi; tanpa kebebasan ekonomi tidak mungkin ada kebebasan politik.[17] Robin Hahnel dalam artikelnya "Why the Market Subverts Democracy", mempermasalahkan konsep kebebasan ekonomi Friedman, dengan menyatakan bahwa akan ada pelanggaran terhadap kebebasan orang lain setiap kali seseorang menjalankan kebebasan ekonominya sendiri dan pelanggaran tersebut hanya dapat dihindari jika ada sistem hak milik yang didefinisikan dengan tepat.[18][19] Filsuf politik Nikolas Kompridis berpendapat bahwa motivasi mengejar kebebasan pada era modern secara garis besar dapat dibagi menjadi dua tujuan, yaitu kebebasan sebagai otonomi (kemerdekaan) dan kebebasan sebagai kemampuan untuk secara kooperatif memulai awal yang baru.[20] Michel Foucault dalam penentangannya terhadap Kebebasan politik dimana kondisi hubungan kekuasaan yang lebih kuat dan tinggi ialah yang mengendalikan aksi politik dibawahnya.[21] Teori ini juga didukung oleh oleh Cornelius Castoriadis, Antonio Gramsci, Herbert Marcuse, Jacques Rancière dan Theodor Adorno. John Dalberg-Acton menyatakan: "Cara menguji paling tepat yang digunakan untuk menilai apakah suatu negara benar-benar bebas adalah jumlah keamanan yang dinikmati oleh kaum minoritas".[22] Gerald C. MacCallum Jr. berbicara tentang kompromi antara kebebasan positif dan negatif, dengan mengatakan bahwa seseorang harus memiliki otonomi penuh atas diri mereka sendiri. Berhubungan satu sama lain karena menyangkut tiga hal, yaitu agen (personal maupun kelompok), batasan yang harus mereka bebaskan dan tujuan yang mereka cita-citakan.[23] Kebebasan yang diipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang makruf dan kebajikan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis. Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenarnya adalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta menjadi asas-asas utama bagi undang-undang perlembagaan negara Islam.[24] Wafi dan as-Saidi mengemukakan bahwa rakyat atau umat merupakan pemegang dan sumber segala kekuasaan. Umat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam menentukan kekuasan sesuai dengan kehendaknya yang harus dijalankan. Jika umat merupakan pemegang kekuasaan, maka pemerintah di bawah kekuasaannya dan bukan sebaliknya. Oleh karenanya umat mempunyai kebebasan politik penuh yang diberikan oleh Islam, bukan hak yang diberikan oleh penguasa. Sehinga ada dua hak yang paling dominan untuk seluruh umat, yakni hak memilih pemimpin dan hak mengawasi dan mengontrol setiap tindakan pemimpinnya, baik secara langsung atau dengan perwakilan.[25] Ada cendekiawan yang melihat kebebasan identik dengan demokrasi, ada pula yang menemukan kontradiksi antara kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, beberapa berpendapat bahwa Irak menjadi bebas setelah penggulingan Saddam Hussein, karena hak asasi manusia diberlakukan dengan negara dikendalikan Amerika Serikat dan Irak memulai membangun sistem politik yang rasional. Yang lain mengatakan negara Irak hidup dengan kebebasan yang lebih besar di bawah Hussein, karena tidak terjadi kolonisasi pada saat itu. Ada pandangan bahwa baik kediktatoran maupun keberadaan kolonial tidak dapat berarti kebebasan.[26] SejarahIstilah paling awal tentang kebebasan politik dapat kita temukan dalam "Politik" Aristoteles, di mana ia membahas kontradiksi antara kategori "kebebasan" dan bentuk pemerintahan yang demokratis. Penggunaan Undang-undang kebebasan politik ditemukan dalam Magna Carta Inggris tahun 1215. Kemudian tonggak penting Hak Asasi dalam merumuskan konsep Kebebasan politik seperti pada Bill of Rights Inggris yang diadopsi pada tahun 1689, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Prancis pada tahun 1789 dan Deklarasi Hak-Hak (Bill of Rights) Amerika pada tahun 1791.[27] Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, situasi kebebasan politik di berbagai negara mengalami perkembangan dengan cara yang berbeda. Ideologi liberal yang menuntut hak sipil dan politik (kebebasan dan kesetaraan, hak pilih, dll.) masih dalam pengertian sangat terbatas seperti kualifikasi pemilihan properti, larangan politik, ketidaksetaraan antara pria dan wanita, pembatasan ras, dll.[28] Setelah Perang Dunia II ada lompatan kualitatif dalam pengembangan institusi hak asasi manusia dan sipil, yang menjadi topik utama dalam perkembangan hukum internasional. Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi "Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia". Pada tahun 1950, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia ditandatangani di Eropa, menciptakan mekanisme yang benar-benar beroperasi untuk memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang dinyatakan oleh Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa. Pada tahun 1966, di bawah naungan PBB, "Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik" dan "Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”. Dokumen-dokumen ini dan dokumen-dokumen selanjutnya menyetujui standar internasional mengenai hak asasi manusia dan hak-hak sipil serta jaminan untuk memastikan hak-hak ini untuk dimasukkan dalam Undang-undang ataupun bentuk konstitusional Negara-negara yang berpartisipasi.[29][30] Hannah Arendt menelusuri asal-usul konseptual kebebasan ke politik Yunani kuno. Menurut studinya, konsep kebebasan secara historis tidak dapat dipisahkan dari tindakan politik. Politik hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah membebaskan diri dari kebutuhan hidup sehingga dapat berpartisipasi dalam ranah politik. Menurut Arendt, konsep kebebasan menjadi terkait dengan gagasan Kristen tentang kebebasan berkehendak atau kebebasan batin pada sekitar abad ke-5 M dan sejak itu kebebasan sebagai bentuk tindakan politik telah diabaikan meskipun menurutnya kebebasan adalah "the raison d'être of politics (alasan untuk menjadi politik)".[3] Arendt mengatakan bahwa kebebasan politik secara historis bertentangan dengan kedaulatan atau kekuatan kehendak karena di Yunani kuno dan Romawi kuno konsep kebebasan tidak dapat dipisahkan dari hasil kinerja dan tidak muncul sebagai konflik antara kehendak dan diri sendiri. Demikian pula, gagasan kebebasan sebagai kebebasan politik ialah gagasan yang berkembang di zaman modern. Ini bertentangan dengan gagasan kebebasan sebagai kapasitas untuk "memulai yang baru", dimana Arendt melihat ini sebagai akibat wajar dari kondisi fitrah bawaan manusia atau sifat manusia sebagai "awal yang baru dan seorang pemula".[31] Republikanisme modern menggambarkan kebebasan politik sebagai peraturan di mana "aturan hukum, yang bertumpu pada kedaulatan rakyat, akan mengakhiri kekuasaan manusia atas manusia".[32] Dalam pandangan Arendt, aksi politik merupakan interupsi dari proses otomatis baik secara alamiah maupun historis. Kebebasan untuk memulai yang baru, dengan demikian merupakan perpanjangan dari "kebebasan untuk memanggil sesuatu menjadi ada (nyata) yang sebelumnya tidak ada, tidak diberikan, bahkan suatu objek pengetahuan atau imajinasi yang secara jelas tidak dapat diketahui".[3] Kebebasan politik di IndonesiaIndonesia telah mencapai kemajuan demokrasi yang mengesankan sejak jatuhnya rezim otoriter pada tahun 1998, membangun pluralisme yang signifikan dalam politik dan media dan mengalami banyak transfer kekuasaan secara damai antar partai. Namun, negara ini terus berjuang dengan tantangan termasuk korupsi sistemik, diskriminasi dan kekerasan terhadap beberapa kelompok minoritas, ketegangan separatis di wilayah Papua dan penggunaan undang-undang pencemaran nama baik dan penistaan yang dipolitisir.[33] Di masa orde baru, dimana iklim politik di Indonesia serasa dikendalikan oleh pemerintah, partai-partai politik dipaksa untuk bergabung (fusi partai politik 1973), menjadi dua partai politik yang dibedakan berdasarkan partai islam dan non-islam, sedangkan pemerintah sendiri memiliki satu partai yang dapat dipastikan selalu memenangkan pemilihan umum. Berbeda sekali ketika saat ini kita melihat beragam partai politik menjamur di kalangan masyarakat.[34] Di era Reformasi, kebebasan politik di Indonesia mengalami pasang surut. Dimasa pemerintahan B.J. Habibie kebebasan politik mendapat angin segar, pers yang sebelumnya dibungkam dan dipaksa mengikuti opini dari pemerintahan diberi kebebasan pers. Habibie juga membentuk undang-undang yang mengatur kebebasan masyarakat Indonesia dalam melaksanakan pemilu, sehingga lahirlah 48 partai politik baru yang ikut berpartisipasi secara aktif dalam pemilu Indonesia di tahun 1999. Diberlakukannya Otonomi Daerah sehingga tidak terjadi Sentralisasi oleh Pemerintah, sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur urusan daerahnya.[35] Kemudian puncaknya pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dipilh langsung oleh rakyat. Kebebasan politik dan sipil di Indonesia dinilai mengalami penurunan selama era pemerintahan Joko Widodo. Dalam indeks kebebasan yang disusun Freedom House, lembaga nirlaba yang berbasis di Washington, peringkat Indonesia tercatat turun dari “bebas” selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi “setengah bebas”.[36] Dimana ketika itu pemerintah dianggap tidak melakukan tekanan dan menerima kritikan masyarakat. Kendati muncul beragam demonstrasi yang bahkan masuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik.[37] Kendati demikian, kebebasan politik saat ini semakin terlihat jelas lebih baik dari pada masa Orde baru. Perkembangan teknologi dan informasi turut membantu dalam menyampaikan pendapat pada khalayak umum bagi setiap orang.[38] Selain untuk rakyat, kebebasan ini juga digunakan oleh media pers. Hal ini diperkuat dalam UU no 40 tahun 1999 tentang pers. Pers Indonesia semakin banyak dalam variasi dan jumlah. Rakyat Indonesia pun menjadi tahu apa aja yang sedang terjadi di negeri ini.[39] Kebebasan politik di negara lainAmerika SerikatPemerintah republik federal yang memberikan rakyatnya manfaat dari sistem politik yang dinamis, tradisi aturan hukum yang kuat, kebebasan berekspresi dan keyakinan agama yang kuat serta beragam kebebasan sipil lainnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir lembaga-lembaga demokrasinya telah mengalami erosi, sebagaimana tercermin dalam tekanan partisan pada proses pemilihan, bias dan disfungsi dalam sistem peradilan pidana, kebijakan yang merugikan terhadap imigrasi dan pencari suaka jua meningkatnya kesenjangan dalam kekayaan, peluang ekonomi dan pengaruh politik.[40] Arab SaudiSistem monarki absolut membatasi hampir semua hak politik dan kebebasan sipil. Tidak ada pejabat di tingkat nasional yang dipilih secara demokratis, pejabat tinggi biasanya merupakan anggota keluarga kerajaan. Pemerintah memberikan pengawasan luas dan ketat, perbedaan pendapat bisa dianggap kriminal, sektarianisme dan beban pengeluaran rakyat yang sebagaian besar ditanggung dari hasil eksplorasi minyak untuk menjalankan roda pemerintahan. Perempuan dan minoritas agama sering kali menghadapi diskriminasi hukum, meskipun beberapa tahun belakangan pemerintah melonggarkan hak atas perempuan di sana.[41] BrasilSebagai negara demokrasi yang mengadakan pemilihan umum yang kompetitif dan arena politik ditandai dengan debat publik yang meriah. Namun, jurnalis independen dan aktivis sipil berisiko mengalami pelecehan dan serangan kekerasan, pemerintah telah berjuang untuk mengatasi tingginya tingkat kejahatan, kekerasan yang tidak seimbang dan ekonomi minoritas yang tidak mendapat perhatian. Korupsi mewabah di tingkat atas, berkontribusi pada kekecewaan yang meluas terhadap partai politik tradisional.[42] IndiaSebagai negara demokrasi multipartai, pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi dan partai nasionalis Hindu Bharatiya Janata Party (BJP) telah memimpin kebijakan diskriminatif dan meningkatnya kekerasan yang mempengaruhi populasi Muslim. Konstitusi menjamin kebebasan sipil termasuk kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama, tetapi pelecehan terhadap jurnalis, organisasi non-pemerintah (LSM) dan kritikus pemerintah lainnya telah meningkat secara signifikan di bawah Modi. Muslim, kasta terbuang (Dalit), dan suku terbuang (Adivasi) tetap terpinggirkan secara ekonomi dan sosial.[43] RusiaKekuasaan dalam sistem politik otoriter Rusia terkonsentrasi di tangan Presiden Vladimir Putin. Dengan pasukan keamanan yang loyal, peradilan yang patuh, lingkungan media yang terkendali dan legislatif yang terdiri dari partai yang berkuasa dan faksi-faksi oposisi yang lunak, Senat Kremlin mampu mengontrol pemilihan umum dan menekan selisih beda pendapat. Adanya indikasi korupsi yang memiliki hubungan antara birokrat dan kelompok kejahatan terorganisir pun disoroti media.[44] TiongkokPemerintah Tiongkok menjadi semakin represif dalam beberapa tahun terakhir. Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang berkuasa memperketat kendalinya atas birokrasi negara, media, pidato online, kelompok agama, universitas, bisnis, dan asosiasi masyarakat sipil dan telah merusak reformasi aturan hukumnya sendiri yang sudah sederhana. Pemimpin Partai Komunis Tiongkok dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, telah mengkonsolidasikan kekuatan pribadi ke tingkat yang tidak terbayangkan di Tiongkok selama beberapa dekade, tetapi tindakannya juga telah memicu meningkatnya ketidakpuasan di antara para elit di dalam dan di luar partai. Gerakan hak asasi manusia yang sedang berkembang di negara itu terus mencari jalan untuk melindungi hak-hak dasar meskipun ada tindakan keras selama bertahun-tahun. Partai Komunis Tiongkok berusaha untuk memonopoli semua bentuk organisasi politik dan tidak mengizinkan persaingan politik. Delapan partai kecil nonkomunis diizinkan memainkan peran kecil dalam sistem politik Tiongkok dan diwakili di Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat Tiongkok, sebuah badan penasihat resmi. Namun, aktivitas mereka dibatasi secara ketat dan mereka harus menerima kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok sebagai syarat keberadaan mereka.[45] Kutipan terkenal
Lihat pula
Referensi
Pranala luar
|