Kebebasan berserikat
Kebebasan berserikat mengacu kepada hak seseorang untuk bergabung dengan suatu kelompok dan juga keluar dari kelompok tersebut secara sukarela. Hak ini dijamin oleh instrumen-instrumen hak asasi manusia modern, seperti:
Adapun batas-batas dari masing-masing masyarakat dalam berserikat dan berkumpul dijelaskan melalui UU No 39 Tahun 1999 pasal 24 ayat (1) yang menyebutkan, "Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai". Dan juga secara teknis cara berkumpulnya disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) yang berbunyi, "Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan". Dari kedua aturan turunan dari Undang-Undang Dasar 1945 tersebut menyebutkan bahwa masyarakat diperbolehkan dalam berkumpul dan berserikat dengan tujuan damai, bentuknya dapat berupa Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi masyarakat sipil di luar pemerintah lainnya.[2] Sedangkan jika ada pelanggaran, telah dibuat UU tersendiri dalam hal pengadilan hak asasi manusia yaitu UU No 26 Tahun 2000.[3] SejarahSejarah lahirnya inisiasi kebebasan untuk berserikat muncul pada tahun 1799-1800 saat adanya pelarangan berkumpul dan berserikat para pekerja di Britania Raya, pelarangan tersebut untuk melakukan antisipasi pergerakan kaum buruh melalui serikat pekerja pada saat adanya revolusi industri. Karena adanya pelarangan tersebut maka terjadinya protes besar-besaran pada tahun 1855 untuk menuntut pemerintah memberikan hak berkumpul bagi kaum buruh.[4] Lantas pada tahun 1878 di Jerman terjadi pelarangan serupa yang ditujukan kepada kaum serikat melalui Sozialistengesetze. Hal ini terjadi hingga tahun 1890 dan hingga masa kepemimpinan Nazi pada tahun 1933. Serikat buruh digabung menjadi satu dan dikendalikan negara dengan nama Serikat Buruh Jerman. Hingga setelah perang dunia II mereka mulai mendapatkan kebebasan dan dijamin oleh Grundgesetz (undang-undang dasar Jerman)[5] Di Indonesia kebebasan dalam berkumpul dan berserikat justru digagas oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1847. Pemerintah kolonial mengeluarkan Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dalam melakukan perlindungan hak dalam berserikat. Selanjutnya pada tahun 1870 dikeluarkanlah Staatsblad 1870 Nomor 64 sebagai aturan teknis dalam berorganisasi. Di dalam peraturan ini sudah mulai muncul aturan teknis terkait badan hukum sebuah organisasi maupun organisasi yang tidak berbadan hukum.[1] Hal ini berjalan hingga kemerdekaan indonesia dicapai, awalnya Soekarno agak berhati-hati dalam memberikan hak berkumpul dan berserikat, hingga pada 1950-1959 muncullah ide demokrasi parlementer. Dalam hal pemenuhan hak untuk berkumpul secara politik, pada masa itu dapat dikatakan masa keemasan demokrasi. Banyak organisasi politik yang berkembang dan menjamur untuk mengarahkan arah kebijakan negara. Hingga pada akhirnya dibubarkanlah demokrasi parlementer dan menjadi demokrasi Terpimpin.[6] Pada Masa kepemimpinan orde baru kebebasan berserikat terkesan dibatasi, dengan munculnya UU No. 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan kebebasan berserikat seakan dikontrol dengan ketat. sebelum undang-undang ini ditandatangani orde baru juga sudah melakukan kontrol secara represif. Dengan dalih memelihara ideologi pemerintah ikut campur tangan dalam pembentukan organisasi masyarakat sipil.[7] Periode kebebasan berserikat di Indonesia1945-1950Periode pengaturan hukum hak asasi manusia pada masa ini masih dalam proses penyusunan, mengingat pada periode ini masih dalam masa kemerdekaan. Sehingga masih dalam penyusunan aturan dan pondasi secara hukum dan politik. Komitmen terhadap hak untuk berserikat dimulai pada tanggal 1 November 1945 ditandai dengan dibuatnya maklumat pemerintah.[8] Lalu pada tanggal 3 November 1945 dibuatlah maklumat pemerintah yang mengijinkan tiap masyarakat untuk membuat partai politik, atas maklumat tersebut munculah partai politik yang dibuat oleh berbagai kalangan.[9] 1950-1959Bagir Manan menyebut periode ini adalah periode "pasang" dan "bulan madu"nya hak asasi manusia. Ini dikarenakan ada lima aspek yang dapat dikatakan tercapai dalam hal pemenuhan kebebasan berserikat, kelima hal tersebut yaitu:
1959-1966Pada periode ini menjadi periode yang cukup suram untuk kebijakan pemerintah terkait kebebasan berserikat, karena pada periode ini sistem demokrasi pemerintah mulai diubah dari demokrasi parlementer menjadi sistem demokrasi terpimpin. Kemudian mulai menjalar ke hak asasi masyarakat, dua hak asasi yang dibatasi yaitu hak sipil dan hak politik. Dari sistem demokrasi terpimpin inilah mulai tercermin mulai ada bibit otoriter.[11] 1966-1998Pada awal periode ini ada semangat dari pemerintah untuk menegakkan hak asasi manusia, awal kepemimpinan Soeharto gencar menelurkan gagasan mengenai upaya pemenuhan HAM, contohnya melalui panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan tentang hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warganegara sebagai kelanjutan pelaksanaan TAP MPRS No XIV/1966. Namun mulai tahun 1970 hingga periode ini berakhir HAM seakan sudah tidak dihormati sama sekali. Pembredelan organisasi terjadi dimana-mana, tidak hanya organisasi masyarakat, serikat-serikat pekerja pun biasa dilebur dan dijadikan menjadi satu wadah organisasi di bawah pemerintah.[12] Meskipun periode resmi "keterbukaan" berakhir mendadak dengan pembreidelan majalah berita seperti Tempo, Editor, dan DeTik pada tahun 1994, berdampak pada tuntutan atas reformasi, karena adanya perubahan yang cukup drastis dari awalnya periode keterbukaan. Pada Juli 1996 terjadi tuntutan yang belum ada sebelumnya yaitu menuntut Megawati dikembalikan menjadi ketua PDI, karena sebelumnya dianggap menjadi ancaman bagi Soeharto dan dicopot dari puncak kepemimpinan PDI. Tepat pada 27 Juli 1996 terjadi mobilisasi masa ke markas PDI di Jakarta. Peristiwa tersebut berkahir dengan kekerasan, ratusan preman sewaan pemerintah menyerbu demonstran, sementara aparat keamanan hanya berdiri mengawasi, dan ini memicu kekacauan di seluruh Jakarta Timur.[13] 1998-SekarangReformasi 1998 rupanya memberikan dampak yang lebih baik bagi kebebasan berserikat, praktis setelah adanya perubahan kepemimpinan beberapa kali membawa angin segar untuk kebebasan berserikat dan berkumpul. Pada periode ini terjadi amandemen UUD yang menempatkan kebebasan berserikat bersandingan dengan kebebasan berpendapat. Kedua hal tersebut dianggap sebagai elemen yang esensial dalam membentuk masyarakat yang demokratis dan tergantung antara satu sama lain.[14] Referensi
Bacaan lanjut
|