Kebebasan beragama di TurkiTurki merupakan negara sekular sesuai dengan pasal 24 pada konstitusinya. Sekularisme di Turki berasal dari Enam Panah Mustafa Kemal Atatürk yakni: republikanisme, populisme, laïcité, reformisme, nasionalisme, dan etatisme. Pemerintah Turki menentukan beberapa pembatasan pada Muslim dan kelompok agama lainnya, serta ekspresi agama Islam di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga yang dikelola negara, termasuk universitas.[1] Demografi agamaMenurut Pemerintah Turki, 90% populasi adalah Muslim (mayoritas Sunni Islam).[2] Namun menurt World Factbook populasi Muslim Turki 98.2%.[3] Pemerintah mengakui tiga komunitas agama minoritas: Kristen Ortodoks Yunani, Kristen Apostolik Armenia, dan Yahudi (meskipun komunitas non-Muslim lainnya juga ada).[1] Laporan 2006 dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyebutkan beberapa agama minoritas di Turki:
Data statistik ini sebagian besar diulang atau diperbaruhi dalam laporan Departemen Luar Negeri A.S.[4] dengan perbedaan hingga 3.000 Kristen Ortodoks Yunani dengan tambahan 3.000 Kristen Chaldean. Populasi Kristen Suriah dan Yazidi di tenggara sempat tinggi; namun, karena tekanan pemerintah dan perang dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), banyak masyarakat Kristen Suriah bermigrasi ke Istanbul, Eropa Barat dan Amerika Utara dan Selatan.[1] Menurut sosiolog Turki Ahmet Taşğın, Yazidi di Turki berjumlah 22.632 pada tahun 1985; pada tahun 2000, populasi telah turun menjadi 423.[5] Taşğın mengatakan bahwa 23.546 orang Kristen Suriah tinggal di Turki pada tahun 1985 dan populasi pada tahun 2001 berjumlah 2.010.[6] Sebagai penandatanganan Perjanjian Lausanne pada tahun 1923, Turki mengakui hak-hak sipil, politik dan budaya minoritas non-Muslim. Dalam prakteknya, negara mengakui minoritas agama Yunani, Armenia, dan Yahudi tetapi tidak memberikan mereka semua hak yang ditetapkan dalam perjanjian.[7] Muslim Alevi-Bektashi dan Ja'far (sekte Islam di Turki) dan juga Katolik dan Protesten (sekte agama non-Islam di Turki) tidak secara resmi diakui.[8] Status kebebasan beragama
Konstitusi tahun 1982 menetapkan negara sebagai negara sekular dan menyediakan kebebasan beragama dan beribadah serta penyebaran gagasan-gagasan keagamaan secara pribadi. Namun, ketentuan konstitusi lain untuk integritas negara sekular membatasi hak-hak ini. Konstitusi melarang diskriminasi atas dasar agama.[4] Kebijakan dan praktik pemerintah berkontribusi pada praktik agama yang umumnya bebas; namun, kebijakan negara memberlakukan beberapa pembatasan pada kelompok agama dan ekspresi keagamaan (simbo-simbol yang menyangkut keagamaan baik Muslim maupun non-Muslim) di kantor-kantor pemerintahan dan institusi yang dikelola negara, termasuk universitas.[1] Pelanggaran kebebasan beragamaSetelah 18 April 2007 pembunuhan tiga orang Kristen di Malatya,[9] Korban berkebangsaan Turki Ugur Yuksel ditolok dengan penguburan Kristen dan menerima penguburan Islam Alevi. Korban berkebangsaan Turki lainya Necati Aydin dimakamkan di sebuah halaman gereja Protestan di Izmir. Gubernur Malatya pada awalnya ragu-ragu untuk mengizninkan penguburan korban berkebangsaan Jerman di Malatya, mengatakan pada istrinya bahwa tidak ada orang Kristen yang harus dikuburkan di tanah Turki. Namun, setelah negosiasi antara pejabat pemerintah Jerman dan Turkim korban dimakamkan di pemakaman pribadi Armenia di Malatya.[1] Pada bulan Oktober 2006 seorang jaksa menekan tuntutan kriminal terhadap Hakan Taştan dan Turan Topal (Muslim yang berpindah ke Kristen) karena melanggar Pasal 301 ("Menghina Ke-Turki-an"(Turki)), menghasut kebencian terhadap Islam dan mengumpulkan data pada warga sipil untuk kursus korespondensi Alkitab. Jika terbukti bersalah, mereka dapat dijatuhi hukuman enam bulan hingga tiga tahun penjara. Berdasarkan laporan bahwa terdakwa mendekati siswa dan sekolah di Silivri dan mencoba untuk mengubahnya menjadi penganut Kristen, polisi menggeleda rumah seorang tersangka, pergi ke kantornya dan menyita dua komputer, buku dan kertas. Ketiga penggugat mengatakan bahwa orang-orang Kristen menyebut Islam sebagai "agama primitif dan palsu" dan orang-orang Turki adalah "orang-orang yang terkutuk". Namun, terdakwa menyangkal semua tuduhan.[1] Pada tanggal 28 Mei 2009, proses pengadilan berlanjut dalam kasus 2006 terhadap dua Muslim yang pindah ke agama Kristen yang dituduh "menghina Ke-Turki-an/Turki" yang melanggar Pasal 301 dari hukum pidana, menghasut kebencian terhadap Islam dan secara diam-diam mengumpulkan data mengenai warga negara untuk kursus korespondesi Alkitab. Pengadilan memanggil lima saksi untuk muncul pada sidang berikutnya pada 15 Oktober 2009.[4] Selama persidangan, beberapa saksi bersaksi bahwa mereka tidak mengetahui terdakwa. Pengadilan di Silvri menunda sidang hingga 28 Januari 2010 untuk mendengar tiga saksi lagi.[10] Pelecahan sosial dan diskriminasiPelecahan sosial atau diskriminasi berdasarkan keyakinan agama atau praktik dilaprokan, dengan pluralisme agama secara luas dipandang sebagai ancaman terhadap Islam dan "persatuan nasional". Beberapa Muslim non-Sunni, Kristen, Baha'i dan anggota komunitas agama lainnya menghadapi kecurigaan dan ketidakpercayaan.[1] Retorika anti-misionaris dan anti-Kristen oleh pejabat pemerintah dan media nasional, seperti Hürriyet dan Milliyet, tampaknya terus berlanjut. Menteri-menteri pemerintah seperti Mehmud Aydin, Menteri Negara yang bertanggungjawab atas urusan agama, yang disebut misionaris "separatis dan merusak".[1] Serangan bermotif agama pada orang dilaporkan. Laporan paling dikenal adalah pembunuhan wartawan Armenia Hrant Dink di Istanbu pada 19 Januari dan pembunuhan tiga orang Kristen di Malatya pada 18 April. Detail tentang serangan yang bermotif agama pada masyarakat dapat ditemukan dalam laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS pada tahun 2007–2009.[1][4][11] 2016: Kegagalan kudeta dan gerakan GülenPemerintah dianggap bertanggung jawab atas upaya kudeta 15 Juli bagi ulama Muslim yang mengasingkan diri yakni Fethullah Gülen dan gerakannya, yang dianggap pemerintah sebagai organisasi teroris. Setelah upaya kudeta, pemerintah menahan lebih dari 75.000 pejabat pemerintah dan menghentikan 3.600 staf dari Diyanet karena diduga terkait dengan Gulen dan upaya kudeta.[12] 2017: Pasca kegagalan kudeta dan keadaan darurat negaraKeadaan darurat negara disebabkan sebagai tanggapan atas upaya kudeta pada Juli 2016 dan tetap berlaku selama tahun 2017. Pemerintah Turki mengatakan upaya kudeta tersebut didalangi oleh ulama Muslim Fethullah Gülen dan gerakannya, yang dianggap sebagai organisasi terorois. Selama tahun 2017 pemerintah menangguhkan atau memecat ribuat pejabat publik dari lembaga-lembaga negara, termasuk lebih dari 1000 karyawan Diyanet. Pemerintah terus mengadili individu karena "secara terbuka tidak menghormati keyakinan agama dari suatu kelompok" dan terus membatasi hak-hak minoritas non-Muslim", terutama yang tidak diakui menurut Perjanjian Lausanne pada tahun 1923. Sekte non-Sunni seperti Alevi diperlakukan secara tidak adil dan mengatakan bahwa Alevi sebagi "sekte" Muslim yang heterdoks, dan tidak mengakui rumah ibadah Alevi. Selain Alevi, pemerintah juga menutup dua stasiun televisi Syiah Jaferidan menuduh menyebarkan "propoganda teroris". Minoritas agama mengatakan mereka terus mengalami kesulitan memperoleh pengecualian dari kelas agama wajib di sekolah umum, operasi atau membuka rumah ibadah dan dalam menangani sengketa tanah dan properti. Pemerintahpun membatasi upaya kelompok agama minoritas untuk melatih ulama mereka.[13] Lihat jugaReferensi
Pranala luar |