Kebangkitan nasionalisme di Kesultanan UtsmaniyahBangkitnya gagasan Barat tentang nasionalisme dalam Kesultanan Utsmaniyah[1] akhirnya menyebabkan kehancuran sistem millet Utsmaniyah. Konsep kebangsaan, yang berbeda dengan konsep komunitas religius pada sistem millet, merupakan faktor kunci dalam kemunduran Kesultanan Utsmaniyah. Latar belakangDalam Kesultanan Utsmaniyah, Keyakinan Islam adalah agama resmi, dengan pemeluknya memegang semua hak, sementara golongan non-Muslim cenderung dibatasi.[2] Kelompok non-Muslim (dhimmi) etno-religius[3] diidentifikasi sebagai millet yang berbeda, artinya "bangsa".[2] Gagasan tentang nasionalisme muncul di Eropa pada abad ke-19 pada saat sebagian besar wilayah Balkan masih berada di bawah kekuasaan Utsmaniyah. Orang-orang Kristen di Kesultanan Utsmaniyah—dimulai dengan Serbia dan Orang Yunani, tetapi kemudian menyebar ke bangsa Montenegro dan Bulgaria—mulai menuntut otonomi dalam serangkaian pemberontakan bersenjata yang dimulai dengan Revolusi Serbia (1804-17) dan Perang Kemerdekaan Yunani (1821–29),[4] yang menetapkan Kepangeranan Serbia dan Republik Yunani.[5] Pemberontakan pertama di Kesultanan Utsmaniyah yang terjadi di bawah ideologi nasionalis adalah Revolusi Serbia.[6] Kemudian Kepangeranan Montenegro didirikan melalui sekularisasi bangsa Montenegro dan Pertempuran Grahovac. Kepangeranan Bulgaria didirikan melalui proses Kebangkitan Nasional Bulgaria, pendirian Eksarkat Bulgaria, Pemberontakan April tahun 1876, dan Perang Rusia-Turki (1877-1878). Unsur-unsur radikal dari Gerakan Turki Muda pada awal abad ke-20 menjadi kecewa dengan apa yang mereka anggap sebagai kegagalan Utsmaniyah abad ke-19 reformis,[7] yang tidak berhasil menghentikan kemajuan Ekspansionisme Eropa atau penyebaran gerakan nasionalis di Balkan. Sentimen ini disebarkan oleh Kemalis. Kelompok-kelompok ini memutuskan untuk meninggalkan gagasan Ittihad-i anası ("Kesatuan Unsur-unsur Etnis") yang telah menjadi prinsip dasar generasi reformasi, dan sebagai gantinya mengambil mantel Nasionalisme Turki.[8] Michael Hechter berpendapat bahwa kebangkitan nasionalisme di Kesultanan Utsmaniyah adalah hasil dari reaksi keras terhadap upaya Utsmaniyah untuk melembagakan bentuk pemerintahan yang lebih langsung dan sentral atas penduduk yang sebelumnya memiliki otonomi lebih besar.[9] AlbaniaPerang Rusia-Turki tahun 1877-78 memberikan pukulan telak bagi kekuasaan Utsmaniyah di Semenanjung Balkan, menyebabkan kesultanan tersebut hanya memiliki penguasaan wilayah yang rawan di Makedonia dan tanah berpenduduk Albania. Ketakutan orang Albania bahwa tanah yang mereka huni akan dibagikan untuk orang-orang Montenegro, Serbia, Bulgaria, dan Yunani memicu kebangkitan Nasionalisme Albania. Orang Albania ingin menegaskan kewarganegaraan Albania mereka. Perjanjian pascaperang pertama, Perjanjian San Stefano ditandatangani pada 3 Maret 1878, menetapkan tanah berpenduduk Albania kepada Serbia, Montenegro, dan Bulgaria. Sikap gerakan Albania yang berkembang utamanya menentang pajak dan kebijakan pusat.[10] Namun, dengan Perjanjian San Stefano gerakan tersebut menjadi gerakan nasionalis. Austria-Hungaria dan Inggris memblokir pengaturan tersebut karena hal itu memberi Rusia posisi dominan di Balkan dan dengan demikian mengganggu keseimbangan kekuatan Eropa. Sebuah konferensi perdamaian untuk menyelesaikan perselisihan diadakan akhir tahun itu di Berlin, dikenal sebagai Kongres Berlin.[10] Sebuah memorandum atas nama semua orang Albania ditujukan kepada Lord Beaconsfield dari Inggris Raya bahkan belum sampai seminggu setelah pembukaan Kongres Berlin.[10] Alasan mengapa memorandum ini ditujukan kepada Inggris Raya adalah Albania tidak dapat mewakili diri mereka sendiri karena mereka masih di bawah kekuasaan Utsmaniyah.[10] Alasan lain mengapa Inggris Raya berada pada posisi terbaik untuk mewakili Albania, karena Inggris Raya tidak ingin menggantikan Kesultanan Utsmaniyah.[10] Memorandum ini harus menetapkan tanah milik orang Albania dan menciptakan negara merdeka Albania.[10] Referensi
|