Kardono
Marsekal Madya TNI (Purn.) Kardono (21 Mei 1927 – 11 Mei 2003[1]) adalah seorang tentara dan administrator sepak bola Indonesia. Ia merupakan mantan Ketua PSSI periode 1983 - 1991. Ia pernah membawa Indonesia merebut medali emas SEA Games 1987 dan 1991. Dia juga merupakan Ketua AFF pertama yang menjabat pada periode 1984 - 1989[2] Selain itu, ia adalah mertua dari penyanyi keroncong terkenal Sundari Soekotjo.[3] Riwayat HidupIa adalah salah satu perintis dan pendiri penerbangan Indonesia. Sederet jabatan pernah disandang suami Rochyatun yang terkahir menyandang pangkat jenderal bintang tiga di TNI AU. Selain pernah menjadi Inspektur Jenderal Pembangunan, pria lulusan SMA Bagian B Padmanaba, Yogyakarta tahun 1948 ini juga pernah menjadi Sekretaris Militer Presiden di era Presiden Soeharto.[3] Ayahnya cuma petani kecil di Desa Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan Kardono kecil menghabiskan sekolahnya di Yogyakarta sampai tamat SMA. Kemudian, Ia melanjutkan di Sekolah Tinggi Teknik Bagian Geodesi di Bandung, 1951.[4] Dibajak Tentara Merah JepangKetika menumpang Japan Airlines DC-8 dari Paris menuju Tokyo pada 28 September 1977, pesawat dengan nomor penerbangan 472 itu singgah di Bombay (sekarang Mumbai). Setelah lepas landas, pesawat dibajak dan dipaksa mendarat di Dacca (sekarang Dhaka), ibukota Bangladesh. Selama disandera penuh ketakutan itu, Kardono diam-diam mengerok istrinya yang mungkin saja masuk angin, karena stress keringatan juga terlalu lama dalam pesawat dalam keadaan mencekam. Para pembajak yang tak tahu apa itu kerokan, ketakutan melihat tengkuk istri Kardono yang merah-merah mendekati kehitaman. “Turun!”, perintah pembajak. Jadilah sang istri ikut diturunkan bersama 117 penumpang lainnya. Kebetulan juga saat itu permintaan pembajak berupa tebusan milyaran rupiah dan pembebasan rekan-rekan mereka dari berbagai penjara, dikabulkan. Uang tebusan pun diantarkan ke Dacca oleh Pemerintah Jepang. Kemana Kardono? Dia tetap disandera dan dibawa ke Kuwait, lalu Damaskus (Siria) sambil teroris bernegosiasi berbagai pihak dan akhirnya terbang ke Aljir sekaligus mengakhiri drama pembajakan. Di ibukota Aljazair itu, Kardono dibebaskan bersama sisa sandera setelah disekap lebih dari 132 jam.[5] Ketua Umum PSSIIa dilantik menjadi Ketua Umum PSSI pada bulan November 1983.[4] Ia mengalahkan banyak saingan, di antaranya pengusaha tenar Probosutedjo yang punya klub Mertju Buana. Naiknya Kardono—dari klub sepak bola Angkasa—sudah diatur oleh panitia kongres. Sebelum utusan perserikatan di daerah-daerah datang ke kongres, Pengurus Harian PSSI, Suparjo Pontjowinoto, mengirim telegram yang isinya, hanya Kardono yang direstui oleh pimpinan nasional untuk jabatan Ketua Umum PSSI. Kongres pun berjalan cukup tegang bahkan Solihin G.P. beserta sejumlah peserta dari Komda PSSI Jawa Barat meninggalkan sidang ketika berlangsung pemilihan ketua umum. Ganjalan kongres itu tidak berlarut-larut. Penggemar bola menaruh harapan besar kepada Kardono karena tokoh ini dekat dengan "pimpinan nasional". Sehari-hari, Kardono adalah Sekretaris Militer Presiden.[4] Namun, harapan itu tinggal harapan, setidak-tidaknya sampai akhir 1985. PSSI gagal meraih tiket ke Piala Dunia FIFA1986 di Meksiko. Indonesia hanya menjadi juara subgrup 3-B Asia. Pada penentuan juara grup, PSSI dikalahkan Korea Selatan. Pelatih PSSI Pra-Piala Dunia, Sinyo Aliandoe, menjadi bulan- bulanan kecaman, tetapi Kardono justru memuji Aliandoe. "Aliandoe punya prinsip dan pendirian yang tegas. Saya menghargai sikap itu," katanya. Kegagalan ini, menurut Kardono, bukan kesalahan pelatih. Selain persepakbolaan nasional tetap saja tidak bangkit, sudah separuh masa jabatan Kardono disibukkan oleh masalah suap. Terus terang ia mengakui sulit membawa kasus suap ke pengadilan. "Belum ada bukti yang kuat untuk bisa membawa kasus itu ke pengadilan. Harus ada saksi kapan uang suap itu diserahkan dan di mana diserahkan," katanya dalam dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Mei 1985.[4] Pasca Ketua Umum PSSIIa memberi dukungan penuh kepada tim asal kampung halamannya, PSS Sleman, ketika berhasil menembus babak final Divisi Utama Liga Indonesia pada tahun 1999 yang berlangsung di Stadion Benteng, Tangerang.[6] Dalam pertandingan tersebut, ia banyak memberi wejangan kepada anak asuhnya di tim PSS Sleman terutama dalam hal sportivitas permainan.[6] Meninggal DuniaMarsekal Madya TNI (Purn.) Kardono, meninggal dunia. pada Minggu 11 Mei 2003 pukul 03.30 WIB dini di RS Pondok Indah, Jakarta. Beliau meninggal karena penyakit kanker getah bening yang dideritanya, Sebelumnya Kardono di rawat di National University Hospital, Singapura. Jenazah Kardono akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[7] Riwayat Jabatan
Penghargaan
Rujukan
|