Tumbuhan ini dapat mencapai tinggi 15–20 m dengan cara memanjat tanaman lainnya, walaupun ada beberapa spesies yang tidak memanjat. Pada ujung daun terdapat sulur yang dapat termodifikasi membentuk kantong, yaitu alat perangkap yang digunakan untuk memakan mangsanya (misalnya serangga, pacet, anak kodok) yang masuk ke dalam.[1] Kantong ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang tidak tersedia pada habitat tumbuh.[2]
Pada umumnya, Nepenthes memiliki tiga macam bentuk kantong, yaitu kantong atas, kantong bawah, dan kantong roset. Kantong atas adalah kantong dari tanaman dewasa, biasanya berbentuk corong atau silinder, tidak memiliki sayap, tidak mempunyai warna yang menarik, bagian sulur menghadap ke belakang dan dapat melilit ranting tanaman lain, kantong atas lebih sering menangkap hewan yang terbang seperti nyamuk atau lalat, kantong jenis ini jarang bahkan tidak ditemui pada beberapa spesies, contohnya N. ampullaria. Kantong bawah adalah kantong yang dihasilkan pada bagian tanaman muda yang biasanya tergelatak di atas tanah, memiliki dua sayap yang berfungsi sebagai alat bantu bagi serangga tanah seperti semut untuk memanjat mulut kantong dan akhirnya tercebur dalam cairan berenzim di dalamnya, adapun kantong roset, memiliki bentuk yang sama seperti kantong bawah, namun kantong roset tumbuh pada bagian daun berbentuk roset, contoh spesies yang memiliki kantong jenis ini adalah N. ampullaria dan N. gracilis. Beberapa tanaman terkadang mengeluarkan kantong tengah yang berbentuk seperti campuran kantong bawah dan kantong atas.
Sekitar 160 spesies of Nepenthes yang diakui secara resmi pada saat ini, merupakan peningkatan jumlah secara cepat, dengan beberapa spesies baru yang didefinisikan setiap tahun.[3]
Habitat
Tanaman ini memiliki penyebaran yang sangat luas dari pinggir pantai sampai dataran tinggi, karena inilah nepenthes dibagi dalam dua jenis yaitu jenis dataran tinggi dan jenis dataran rendah, walau kebanyakan spesies tumbuh di dataran tinggi. Spesies yang tercatat tumbuh di ketinggian paling tinggi adalah N. lamii yaitu di ketinggian 3,520 m.[1][4]
Kebanyakan spesies tumbuh di tempat dengan kelembaban tinggi dan cahaya dengan tingkat menengah hingga tinggi. Beberapa spesies seperti N. ampullaria tumbuh di tempat yang teduh dengan tidak terlalu banyak cahaya, sedangkan N. mirabilis tumbuh ditempat yang terbuka dengan cahaya yang berlimpah. Tanah tempat tumbuh nepenthes biasanya miskin hara dan asam. Beberapa spesies tumbuh di tempat yang sangat beracun bagi tanaman lain seperti N. rajah yang tumbuh pada tanah dengan kandungan logam berat dan N. albomarginata yang tumbuh pada pantai berpasir di zona yang terkena siraman air laut, beberapa spesies tumbuh epifit seperti N. inermis yang tumbuh tanpa bersentuhan dengan tanah.[1]
Tanaman ini tumbuh di tanah marginal miskin unsur hara, terutama nitrogen (Seperti tanah gambut, kerangas, tanah kapur, rawa).[2]
Simbiosis dengan kelelawar
Kelelawar berbulu wol (genus Kerivoula) diketahui bersimbiosis dengan kantong semar. kelelawar tersebut tidur di dalamnya sambil melindungi diri dari serangga yang akan tergelincir jatuh ke dalam kantong semar. Selain itu, kotoran kelelawar juga bernutrisi bagi kantong semar.[5]
^Fuchs, Hannah (2013). Legowo, Vidi, ed. "Simbiose Unik Kelelawar Borneo". DW.DE (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 22 September 2013.Parameter |first1= tanpa |last1= di Editors list (bantuan)
Bacaan lebih lanjut
Amagase, S., S. Nakayama & A. Tsugita 1969. Acid protease in Nepenthes. II. Study on the specificity of nepenthesin. The Journal of Biochemistry66(4): 431–439.
Beaver, R.A. 1979. Biological studies of the fauna of pitcher plants Nepenthes in west Malaysia. Annales de la Société Entomologique de France15: 3–17.
Beaver, R.A. 1983. The communities living in Nepenthes pitcher plants: fauna and food webs. In: J.H. Frank & L.P. Lounibos (eds.) Phytotelmata: Plants as Hosts for Aquatic Insect Communities. Plexus Publishing, New Jersey. pp. 129–159.
Beaver, R.A. 1985. Geographical variation in food web structure in Nepenthes pitcher plants. Ecological Entomology10: 241–248.
Beekman, E.M. 2004. A Note on the Priority of Rumphius' Observation of Decapod Crustacea Living In Nepenthes. Crustaceana77(8): 1019–1021. doi:10.1163/1568540042781748
Jennings, D.E. & JR. Rohr 2011. A review of the conservation threats to carnivorous plants. Biological Conservation, published online on April 3, 2011. doi:10.1016/j.biocon.2011.03.013
Meimberg, H., A. Wistuba, P. Dittrich & G. Heubl 2001. Molecular Phylogeny of Nepenthaceae Based on Cladistic Analysis of Plastid trnK Intron Sequence Data. Plant Biology (Stuttgart, Germany)3: 164–175. doi:10.1055/s-2001-12897
Mithöfer, A. 2010. Carnivorous pitcher plants: insights in an old topic. Phytochemistry, published online on December 22, 2010. doi:10.1016/j.phytochem.2010.11.024
Nosonovsky, M. 2011. Materials science: slippery when wetted. Nature477: 412–413. doi:10.1038/477412a
Osunkoya, O.O., S.D. Daud, B. Di-Giusto, F.L. Wimmer & T.M. Holige 2007. Construction Costs and Physico-chemical Properties of the Assimilatory Organs of Nepenthes Species in Northern Borneo. Annals of Botany99(5): 895–906. doi:10.1093/aob/mcm023
Pavlovič, A., E. Masarovičová & J. Hudák 2007. Carnivorous Syndrome in Asian Pitcher Plants of the Genus Nepenthes. Annals of Botany100(3): 527–536. doi:10.1093/aob/mcm145
Poppinga, S., K. Koch, H.F. Bohn & W. Barthlott 2010. Comparative and functional morphology of hierarchically structured anti-adhesive surfaces in carnivorous plants and kettle trap flowers. Functional Plant Biology37(10): 952–961. doi:10.1071/FP10061
Riedel, M., A. Eichner, H. Meimberg & R. Jetter 2007. Chemical composition of epicuticular wax crystals on the slippery zone in pitchers of five Nepenthes species and hybrids. Planta225(6): 1517–1534. doi:10.1007/s00425-006-0437-3