Kanaanisme
Kanaanisme adalah sebuah gerakan kebudayaan dan ideologis yang bermula pada tahun 1939 dan mencapai puncaknya pada tahun 1940-an di antara orang-orang Yahudi Palestina. Gerakan ini berdampak secara signifikan pada arah perkembangan kesenian, kesusastraan, serta pemikiran spiritual dan politik Israel. Para pendukungnya mendapat sebutan Kanaanit (Ibrani: הכנענים). Nama asli gerakan ini sebenarnya adalah Dewan untuk Koalisi Pemuda Ibrani (Ibrani: הוועד לגיבוש הנוער העברי); dan istilah "Kanaanisme" sendiri pada awalnya berkonotasi merendahkan. Gerakan ini bertumbuh dari Zionisme Revisionis, dan menurut aktivis anti-Israel[1] Ron Kuzar "awalnya berakar pada gerakan-gerakan ekstrem sayap kanan Eropa, terutama fasisme Italia"[2] yang tidak terlalu anti Semit sebagaimana fasisme Jerman. Sebagian besar anggota gerakan ini adalah juga anggota Irgun atau Lehi,[3] dan jumlah anggota terdaftarnya tidak pernah lebih dari kira-kira dua lusin saja; namun karena sebagian besar adalah intelektual dan seniman yang berpengaruh, maka pengaruh mereka jauh melampaui jumlahnya.[4] Mereka meyakini bahwa pada zaman kuno, sebagian besar Timur Tengah merupakan bagian dari peradaban yang berbahasa Ibrani.[5] Para pendukung Kanaanisme ingin menghidupkan kembali peradaban lama tersebut, dengan cara menciptakan bangsa "Ibrani" baru, yang terpisah dari masa lalu Yahudi mereka, dan akan meliputi pula para penduduk Arab di Timur Tengah.[5] Menurut pandangan mereka, baik "dunia Yahudi" maupun "dunia Islam" kedua-duanya bersifat Abad Pertengahan dan terbelakang. Ron Kuzar juga menilai bahwa gerakan Kanaanisme "memperlihatkan kombinasi yang menarik antara penggunaan militerisme dan penekanan secara politik terhadap para penduduk Arab sebagai suatu komunitas terorganisir di satu sisi; dan penerimaan yang ramah kepada mereka secara perorangan untuk diselamatkan dari kegelapan Abad Pertengahan di sisi lainnya."[3] Kanaanisme dan YudaismePada tahun 1943, penyair Yahudi Palestina Yonatan Ratosh menerbitkan Sebuah Surat untuk Pemuda Ibrani, yaitu manifesto pertama para Kanaanit. Dalam risalah ini, Ratosh menghimbau para pemuda Ibrani untuk memisahkan diri dari Yudaisme, dan menyatakan bahwa tak ada ikatan berarti yang menghubungkan pemuda Ibrani yang tinggal di Palestina dengan Yudaisme. Ratosh berargumen bahwa Yudaisme bukanlah sebuah bangsa melainkan suatu agama, dengan demikian sifatnya universal dan tidak terkungkung klaim-klaim teritorial; seseorang dapat saja memeluk agama Yahudi di manapun ia berada. Agar suatu negara dapat benar-benar timbul di Palestina, ia menegaskan bahwa para pemuda harus melepaskan Yudaisme seraya membentuk suatu bangsa Ibrani dengan identitas uniknya sendiri (ini karena istilah Ibrani telah erat dikaitkan dengan aspirasi Zionisme, untuk menghasilkan suatu citra "Yahudi baru" yang kuat dan percaya diri, sejak akhir abad kesembilan belas).[6][7] Tempat kelahiran dan lingkup geografis yang diusulkan bagi bangsa ini ialah wilayah Bulan Sabit Subur.
Kanaanisme dan bahasaRatosh dan saudaranya Uzi Ornan juga mendorong upaya romanisasi penulisan bahasa Ibrani, agar terjadi pemisahan yang lebih jauh lagi antara bahasa tersebut dengan abjad Ibrani yang berusia lebih tua. Dalam artikel-artikel yang dimuat di media berbahasa Ibrani pada tahun 1960 dan 1970-an, mereka mengkritik abjad Ibrani dari segi kelemahan grafisnya dan karena hubungannya dengan Yudaisme, dan mengusulkan adanya romanisasi resmi bahasa Ibrani agar lebih membebaskan lagi warga sekuler Israel dari kungkungan agama dan mengintegrasikan mereka ke wilayah Levant yang lebih luas.[9][10] Usulan mereka untuk romanisasi besar-besaran tersebut mendapatkan kecaman dari berbagai tokoh masyarakat, karena persepsi yang timbul bahwa romanisasi adalah sarana untuk asimilasi dan Levantisasi.[11] Peneliti İlker Aytürk pada masa sesudahnya membandingkan usulan romanisasi yang diajukan para Kanaanit dengan upaya romanisasi yang lebih sukses, yang dilaksanakan oleh Mustafa Kemal Atatürk di Turki. Reformasi ejaan bahasa Turki, yang sebelumnya ditulis dalam abjad Turki Utsmani yang berbasis abjad Arab, yang telah digunakan selama lebih dari 1.000 tahun sampai dengan pembubaran Kesultanan Utsmaniyah, didorong oleh upaya serupa oleh Atatürk untuk mendorong sekularisasi dan modernisasi masyarakat Turki pasca-Utsmaniyah.[12] Lingkup dan pengaruhMeskipun pengaruh politik para Kanaanit terbatas, pengaruh mereka terhadap kehidupan sastra dan intelektual di Israel cukup besar. Di antara para Kanaanit yang diakui ketokohannya adalah penyair Yonatan Ratosh, serta para pemikir seperti Edya Horon. Serangkaian artikel diterbitkan oleh Horon dalam jurnal Keshet pada tahun 1965, dan kemudian setelah kematiannya disusun dalam sebuah buku dan diterbitkan pada tahun 2000. Artikel-artikel tersebut berisikan manifesto politik dan budaya, yang bertujuan untuk menemukan hubungan langsung antara budaya Semitik dari milenium kedua SM dengan budaya kontemporer Israel, dengan mengandalkan berbagai penemuan di bidang arkeologi dan riset bahasa-bahasa Semitik dalam bidang linguistik. Seniman-seniman yang turut mendukung gerakan ini antara lain adalah pematung Yitzhak Danziger (karyanya Nimrod menjadi lambang visual dari ide Kanaanisme), novelis Benjamin Tammuz, penulis Amos Kenan, novelis dan penerjemah Aharon Amir, pemikir dan ahli bahasa Uzi Ornan, dan banyak seniman lainnya. Wartawan Uri Avnery memuji jurnal Horon Shem yang terbit pada tahun 1942, tetapi ia tidak menyukai ortodoksi Ratosh; pada tahun 1947 Avnery mencemooh para Kanaanit sebagai orang-orang yang romantis, ketinggalan zaman, dan terpisah dari realitas.[13] Namun, pengaruh Kanaanisme tetap terlihat dalam beberapa pemikiran politiknya, misalnya dalam usulan persatuan pan-Semitik dengan negara-negara Timur Tengah yang dilontarkannya tahun 1947.[14] Avnery, bersama dengan beberapa mantan Kanaanit (terutama Kenan dan Boaz Evron), kemudian mengubah pandangan politiknya secara drastis, yaitu menjadi pendukung berdirinya negara Palestina.[15] Golongan kiri dan sekuler Israel, oleh lawan-lawan mereka, kadang-kadang dituduh sebagai pengusung Kanaanisme atau terpengaruh para Kanaanit.[16][17][18][19][20][21][22] Ide untuk mewujudkan suatu masyarakat baru di Palestina, yang berbeda dengan kehidupan Yahudi diaspora yang mendahuluinya, tidak pernah terwujud secara murni sesuai konsep Kanaanisme. Namun demikian, ia menghasilkan efek yang permanen pada pemahaman diri masyarakat umum Israel terhadap berbagai aspek kehidupan mereka. KritikGerakan Kanaanisme, segera sejak awal berdirinya, telah memperoleh kritikan keras. Pada tahun 1945, Nathan Alterman menerbitkan puisinya Merivat Kayitz (di kemudian hari dimasukkan dalam koleksi Yr HaYona, yang terbit pada tahun 1958), yang mempertanyakan prinsip-prinsip utama gerakan Kanaanisme. Alterman dan lain-lainnya menyatakan bahwa keberadaan selama bertahun-tahun dalam diaspora tidaklah dapat dihapuskan begitu saja. Alterman berpendapat bahwa tak boleh ada pemaksaan atas pemukiman Yahudi untuk mengadopsi suatu identitas; identitas tersebut akan ditetapkan melewati pengalaman seiring perjalanan waktu. Ratosh menanggapinya dalam sebuah artikel pada tahun 1950, di mana ia menyatakan bahwa Alterman sedang berkelit dari pertanyaan penting mengenai identitas Israel. Ia berpendapat bahwa kembali ke tradisi-tradisi Ibrani kuno tidak hanya dimungkinkan, melainkan diperlukan. Alterman bukan satu-satunya yang menyuarakan penentangan terhadap para Kanaanit. Salah satu di antara kritikus penting atas gerakan itu ialah Baruch Kurzweil, yang menerbitkan The Roots and Quintessence of the 'Young Hebrews' Movement pada tahun 1953, yang menganalisis dan mengkritik dengan tajam ide-ide Kanaanisme. Kurzweil berpendapat bahwa ambisi Kanaanit untuk memotivasi beraneka ragam etnis di wilayah tersebut menuju ke satu arah tidaklah semudah yang mereka bayangkan. Kurzweil percaya bahwa para Kanaanit telah mengganti logos dengan mitos, hingga menghasilkan delusi religius:
Dalam artikel yang sama, Kurzweil juga menyatakan bahwa seandainya tidak ada alternatif lain, maka gerakan Kanaanisme mungkin saja menjadi ideologi politik terdepan di Israel. Catatan kaki
Referensi
Pranala luar
|