Kampanye militer Kediri (1678)
Kampanye militer Kediri (juga, bagi Belanda, Ekspedisi Hurdt atau Ekspedisi Kediri[3]) berlangsung dari bulan September hingga November 1678 semasa Pemberontakan Trunajaya.[4] Pasukan Kesultanan Mataram yang dipimpin Amangkurat II dan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang dipimpin oleh Anthonio Hurdt berpawai menuju pedalaman Jawa bagian timur melawan pasukan Trunajaya.[5] Kampanye militer ini mencapai puncaknya dengan direbutnya ibu kota dan benteng Trunajaya di Kediri pada tanggal 25 November, diikuti dengan penjarahannya oleh pemenang Belanda dan Jawa.[4] Trunajaya sendiri melarikan diri dari Kediri dan melanjutkan pemberontakannya—yang kini sangat lemah—sampai penangkapannya pada akhir tahun 1679.[5] Selama perjalanan menuju Kediri, tentara Mataram-VOC dengan sengaja memecah pasukannya menjadi beberapa barisan, yang mengambil rute panjang yang berbeda-beda menuju Kediri. Strategi ini disarankan oleh Amangkurat agar pasukan ini bertemu dengan lebih banyak orang dan agar mereka yang masih bimbang berpihak kepada siapa jadi bergabung dengan Mataram dan VOC setelah melihat kekuatan pasukan ini. Tentara tersebut berpawai melalui daerah yang sebelumnya belum dieksplorasi oleh Belanda, dan laporan Belanda dicatat dalam sebuah jurnal oleh sekretaris Hurdt, Johan Jurgen Briel. Literatur sejarah Jawa (babad) juga mencatat mengenai kampanye militer ini. Latar belakangDalam Pertempuran Surabaya yang berlangsung pada Mei 1677, Perusahaan Hindia Timur Belanda (dikenal dengan akronim Belanda-nya, "VOC") mengusir Trunajaya dari keratonnya di Surabaya.[6] Dia kemudian mundur ke pedalaman untuk mendirikan ibu kota baru di Kediri, ibu kota Kerajaan Kediri kuno.[6][7] Satu bulan kemudian pasukan Trunajaya menyerbu keraton Mataram di Plered. Ibu kota dijarah, dan Raja Amangkurat I mangkat semasa penarikan mundur pasukan, menyebabkan pemerintahan Mataram berantakan.[8] Dia digantikan oleh anaknya, Amangkurat II, yang melarikan diri bersamanya.[9] Kurangnya tentara, harta kekayaan, dan pemerintahan yang berjalan,[10] Amangkurat II kemudian pergi ke Jepara, markas besar armada VOC di bawah Laksamana Cornelis Speelman, dan pada bulan Oktober menandatangani sebuah perjanjian yang memperbarui aliansi mereka.[11] Sebagai imbalan karena membantu Mataram melawan musuh-musuhnya, raja berjanji untuk membayar VOC 310.000 real Spanyol dan sekitar 5.000 metrik ton beras (ini mencakup semua kampanye militer VOC sebelumnya untuk kepentingan Mataram sampai dengan Oktober).[12] Dalam perjanjian lebih lanjut, dia setuju untuk menyerahkan kabupaten di sebelah timur Batavia, serta Semarang, Salatiga dan kabupaten sekitarnya, dan memberikan monopoli tekstil, opium, dan gula kepada kompeni.[12] Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, Speelman dan Amangkurat sangat ingin untuk segera bergerak melawan pemberontak, tetapi hal ini dicegah oleh kehati-hatian Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuycker, perselisihan internal di antara keraton Mataram, dan penentangan beberapa tokoh keraton terhadap keterlibatan Belanda.[12] Pada bulan November dan Desember, hanya ada operasi terbatas oleh pasukan Mataram dengan dukungan VOC di pantai utara, yang hanya berhasil sebagian.[13] Namun, pada bulan Januari 1678, Maetsuycker meninggal dan digantikan oleh Rijcklof van Goens dan pada pertengahan tahun 1678 beberapa penantang Raja atau aliansi VOC-Mataram meninggal, membuka jalan bagi kampanye militer yang lebih agresif.[14] Speelman sendiri menjadi Direktur Jenderal menggantikan van Goens.[14] Dia berangkat ke Batavia dan VOC menunjuk Anthonio Hurdt, mantan gubernur Ambon untuk menggantikannya sebagai komandan, memberinya gelar "Inspektur, Laksamana, Komandan Kampanye Militer dan Perang."[15] VOC juga membawa pasukan Arung Palakka, sekutu Bugis-nya dalam Perang Makassar (1666–1669).[15] Pasukan-pasukan yang terlibatSaat kampanye militer dimulai, pasukan Mataram berjumlah 3.000 tentara dan 1.000 kuli pengangkut barang.[16] Pasukan baru direkrut dalam perjalanan dan beberapa ningrat menyatakan bergabung dengan raja, sehingga tentara kerajaan membesar menjadi 13.000 orang.[16] Namun, desersi dan panen yang segera tiba mengurangi jumlah tentara ini lagi, dan selama penyerangan terhadap Kediri, pasukan Mataram hanya memiliki sekitar 1.000 orang bersenjata.[2][17] Tiga ribu tentara pertama dipersenjatai dengan tombak panjang, tetapi beberapa yang direkrut terakhir memiliki senjata api.[16] Sebelum kampanye militer mulai, VOC memiliki 900 tentara di pantai utara Jawa, dikerahkan sebagai garnisun di berbagai kota.[18] Pasukan ekspedisi tambahan sebanyak 1.400 orang tiba pada awal kampanye militer.[18] Dalam perjalanan menuju Kediri, garnisun VOC di kota-kota yang dilewati bergabung dengan mereka.[16] Orang Indonesia dari berbagai etnis membentuk mayoritas pasukan VOC; tentara, marinir, dan perwira Eropa membentuk kelompok minoritas.[19] Desersi dan penyakit menyusutkan jumlah pasukan.[1] Pada saat penyerangan terhadap Kediri, VOC memiliki 1.750 personel, 659 di antaranya adalah orang Eropa.[2] Banyak dari mereka menderita disenteri[2] dan hanya sekitar 1.200 yang bergabung dalam penyerangan tersebut.[20] Pasukan VOC-Mataram memiliki artileri, tetapi perbekalan amunisi yang terbatas membuat mereka berhemat hanya bisa menggunakan artileri untuk serangan terakhir.[2] Jumlah pasukan Trunajaya tidak jelas.[2] Laporan VOC-Mataram mempekirakan kekuatan sebesar 1.000, tetapi kemudian paman Trunajaya, Pangeran Sampang mengatakan bahwa pengikut Trunajaya berjumlah 14.500 sebelum serangan terhadap Kediri.[2] Pasukan ini termasuk "ratusan"[21] tentara berkuda yang dilengkapi zirah.[22] Trunajaya juga membangun bangunan-bangunan pertahanan di sepanjang Brantas (Kediri berada di tepi timur sungai ini), dan dilengkapi dengan meriam yang lebih banyak dibanding pasukan Mataram—VOC.[2] Kampanye militerPerencanaanHurdt ingin menyerang benteng Kediri Trunajaya dari Surabaya di pesisir Jawa Timur, yang merupakan terpendek menuju Kediri.[24] Namun, Amangkurat II mengusulkan agar pasukan dipecah menjadi beberapa lajur dan berpawai melalui rute darat yang panjang.[23] Dia ingin pasukan VOC-Mataram perlahan menyusuri lebih banyak wilayah, untuk mempengaruhi kelompok masyarakat yang masih bimbang untuk memihak kelompok mana dalam Perang Trunajaya.[23] Argumen ini meyakinkan Hurdt, dan mereka memutuskan untuk memecah tentara menjadi tiga lajur yang melakukan perjalanan melalui rute darat yang terpisah dari pesisir Jawa Tengah menuju Kediri di pedalaman Jawa Timur.[19] Selain itu, rombongan yang dipimpin pedagang VOC Willem Bastinck pergi ke Surabaya untuk mencari Karaeng Galesong dan para pengikutnya.[16] Galesong adalah mantan sekutu Trunajaya yang kesetiaannya goyah dan Mataram dan VOC berharap memperoleh bantuan darinya.[16] Perjalanan menuju KediriPasukan VOC dan Mataram (atau pasukan loyalis) berangkat dari pesisir dalam tiga barisan. Satu barisan yang dipimpin oleh Kapten François Tack berangkat dari Jepara menuju Semarang pada 21 Agustus, dan dari Semarang ia mulai melakukan perjalanan darat.[16] Barisan lainnya yang dipimpin oleh Kapten Abraham Daniel van Renesse dan Frederik Hendrik Mulder berangkat dari Rembang pada tanggal 26 Agustus.[16] Sementara itu, barisan utama dimobilisasi di Jepara, dipimpin oleh Hurdt dan Amangkurat. Pasukan ini mengirim garda depan ke arah selatan pada tanggal 27 Agustus dan 2 September, sementara Hurdt dan Amangkurat berangkat pada tanggal 5 September.[16] Barisan Tack diperkuat oleh garnisun Semarang dan berpawai ke arah selatan menuju distrik Pajang, di mana ia melawan para pengikut sekutu Trunajaya, Raden Kajoran.[18] Barisan Hurdt dan Amangkurat bergabung di Godong di tepi Sungai Serang dan tinggal di sana selama enam hari.[16] Artileri dan perbekalan mereka dibawa ke sana melalui sungai, tetapi kini harus bergabung via darat melewati wilayah musuh. Kemudian barisan Hurdt–Amangkurat bergabung dengan barisan Tack di lembah Bengawan Solo (yang ketika itu disebut Sungai Semanggi).[18] Sementara itu, barisan van Renesse dan Mulder melewati Pati, bergabung dengan pasukan VOC di sana, dan berangkat melalui rute yang berbeda menuju Kediri.[2] Sepanjang perjalanan, pasukan loyalis menghadapi masalah seperti desersi, kurangnya disiplin, sakit, kekurangan pangan, dan kesulitan navigasi.[16][19] Perjalanan tersebut mencakup beberapa penyeberangan sungai, yang menjadi sulit karena kurangnya jembatan, meluapnya sungai akibat hujan, serta gerobak dan meriam yang macet.[16][19] Perjalanan ini sangat sulit khususnya bagi pasukan VOC, yang tidak terbiasa dengan medan pedalaman Jawa. Hurdt ingin bertahan di lembah Bengawan Solo dan melanjutkan kampanye pada tahun depan. Amangkurat lebih memilih untuk terus berjalan, dan pendapatnya menang.[19] Ketika pasukan loyalis berpawai ke arah timur, pasukan pemberontak menghindari pertempuran besar namun terlibat dalam bentrokan dan terus membahayakan pasukan para loyalis yang mencari makanan di pedesaan dan yang ketinggalan barisan.[16] Pasukan loyalis menjelajahi pedesaan untuk mengumpulkan makanan, menimbulkan kepanikan di antara penduduknya.[19] Selama perjalanan berpawai, Amangkurat I mencoba untuk mendapatkan kesetiaan para ningrat di wilayah yang dilewati.[19] Banyak yang sebelumnya setia pada Kajoran, yang berpihak pada Trunajaya, atau ragu-ragu di antara kedua belah pihak.[19] Kehadiran raja dan pasukannya, serta kemungkinan meraih rampasan perang, memotivasi mereka untuk mengkikuti Amangkurat dan bergabung dengan pasukan.[19][16] Hal ini memperbesar pasukan Amangkurat hingga suatu saat mencapai 13.000.[16] Menyeberangi BrantasTentara Hurdt-Amangkurat tiba di Singkal, di tepi barat Sungai Brantas utara Kediri, pada tanggal 13 Oktober. Mereka mengalami kesulitan menemukan cara untuk menyeberangi sungai Brantas. Sungai ini banjir karena musim hujan, dan tentara tidak memiliki perahu yang diperlukan untuk menyeberanginya. Hujan, desersi, dan kekurangan perbekalan terus mengganggu mereka. Uang, makanan, dan wanita yang tersedia di kubu Trunajaya menggoda banyak orang Indonesia dan Eropa bersama-sama untuk membelot.[25] Desersi di kalangan tentara Jawa juga dipercepat karena banyak yang pulang karena musim panen.[17] Jumlah pasukan Amangkurat anjlok menjadi sekitar 1.000, sementara VOC tersisa 1.750 tentara, 659 di antara mereka orang Eropa.[17][2] Sementara itu, pasukan Trunajaya mengintimidasi tentara loyalis. Mereka telah membentengi pos di sepanjang sungai, terutama di tepi timur.[2] Pos-pos itu dilengkapi dengan meriam dengan berbagai ukuran hingga dua belas pon.[2] Artileri Trunajaya terus menggempur para loyalis, bahkan peluru meriam mereka mencapai pemondokan Hurdt dan Amangkurat sendiri, serta rumah sakit darurat tentara.[2] Tentara loyalis juga memiliki meriam, tetapi mereka tidak menembak balik; amunisi mereka yang terbatas berarti mereka harus menghematnya hanya untuk serangan terakhir terhadap Kediri.[2] Selain itu, pasukan berkuda Trunajaya juga terlibat dalam bentrokan dengan para loyalis, menyebabkan korban jiwa dan menjatuhkan moral mereka.[2] Pada tanggal 21 Oktober, serangan malam yang dipimpin oleh Raden Suradipa membakar tempat tinggal pasukan Melayu VOC.[2] Namun, serangan tersebut dipukul mundur dan Suradipa—saudara laki-laki Trunajaya—terluka parah.[26] Pada malam tanggal 2-3 November, para penskirmis Trunajaya mengintimidasi para penjaga VOC dengan musik gamelan dan suara mengejek.[27] Pada tanggal 3 November, Hurdt dan Amangkurat bergabung dengan sebuah lajur yang dipimpin oleh Willem Bastinck dari Surabaya, disertai oleh 800 gerobak sapi berisi perbekalan.[27][19] Konvoi ini dikirim dengan bantuan dari Adipati Tumapel, sekutu Jawa VOC, dan Karaeng Galesong, mantan sekutu Trunajaya yang kesetiaannya meragukan.[19] Pada tanggal 6 November, pasukan pemberontak menyerang gerobak-gerobak ini, membakar sekitar sepuluh gerobak dan membunuh beberapa orang.[27] VOC kemudian memindahkan perbekalan ini ke dalam benteng palisade yang dibangun setelah serangan Suradipa.[27] Dengan datangnya perbekalan segar, Hurdt dan Amangkurat bersemangat menemukan cara untuk menyeberangi sungai.[27] Pasukan yang dipimpin oleh komandan Belanda Isaac de Saint Martin mengusir pasukan Trunajaya dari Manukan, di tepi barat arah selatan dari Singkal.[27] Mereka kemudian mencoba menyeberangi sungai di sana, tetapi ternyata tidak berhasil karena gempuran berat dari musuh dan dalamnya sungai.[27] Mereka mencoba lagi pada malam 6-7 November, tetapi perahu mereka tenggelam dan gagal juga.[27] Hurdt merasa frustrasi karena tidak adanya kemajuan, dan mengultimatum Amangkurat bahwa VOC akan menarik diri kecuali jika raja menyediakan ponton untuk penyeberangan dan korek api untuk senapan matchlock (senapan kunci-korek) tentaranya.[27] Sungai itu surut pada malam tanggal 16-17 November.[20] Babad Keraton Jawa menghubungkan hal ini dengan kekuatan supranatural Amangkurat, dan mengatakan bahwa hal ini terjadi saat Amangkurat naik kuda menyeberangi sungai memimpin pasukannya.[20] Bagaimanapun, sungai Brantas surut, sehingga tentara dapat menyeberang di Curing, tepat di sebelah selatan Singkal.[20] Mereka yang berkuda tidak membutuhkan perahu, sementara tentara infanteri menyeberang dengan perahu. [20] Ketika diseberangi, sungai itu lebarnya sekitar 115 meter.[20] Pasukan Trunajaya sempat membombardir mereka dengan artileri saat mereka menyeberang, tetapi pasukan ini berhasil diusir dan terpaksa meninggalkan sebelas pucuk meriam.[20] Penaklukan KediriKarena pangkalan depan berhasil didirikan di Curing, tentara loyalis berpawai ke selatan menuju Kediri. Pada saat ini pasukan VOC berjumlah 1.200 dan tentara Amangkurat sekitar 1.000 orang. Mereka dipecah menjadi dua barisan masing-masing di bawah komando Hurdt dan de Saint Martin. Amangkurat sendiri kembali ke Singkal yang relatif aman. Pasukan Trunajaya tidak berhasil menghentikan majunya barisan musuh. Pada tanggal 25 November pasukan VOC dan Mataram menyerang Kediri sendiri. Kota ini kelilingnya sekitar 85 kilometer (53 mi), dipertahankan oleh 43 baterai artileri dan tembok setinggi 6 meter dan tebal 2 meter. Barisan Hurdt memasuki kota dari timur, sementara de Saint Martin masuk dari barat laut. De Saint Martin tiba pertama di alun-alun kota Kediri, dekat kediaman Trunajaya. Pasukan Trunajaya memberikan perlawanan sengit. Empat kompi VOC, di bawah komando Kapten Tack terlibat dalam pertempuran "halaman demi halaman" untuk menaklukkan kompleks kediaman Trunajaya di pusat kota. Pasukan VOC memanfaatkan granat tangan yang terbukti sangat berguna dalam pertempuran kota. Pasukan loyalis menang. Trunjaya melarikan diri ke selatan menuju pedesaan, dan pihaknya menderita kerugian besar.[20] VOC menderita korban ringan dengan 7 orang tewas dan 27 lainnya luka-luka.[20] Di antara pasukan Mataram, dua bangsawan senior tewas dalam pertempuran tersebut; yang pertama adalah Tumenggung Mangkuyuda, dan beberapa sumber tidak setuju dengan yang kedua, dengan nama bervariasi antara Tumenggung Melayu, Demang Mangunjaya, atau Tumenggung Mataram.[28] Tentara yang menang kemudian menjarah istana Trunajaya yang ditinggalkan.[20] Harta kekayaan Mataram, yang dibawa ke Kediri oleh para pemberontak setelah penjarahan mereka atas ibu kota Mataram pada tahun 1677, merupakan salah satu sasaran penjarahan.[20] Amangkurat dan VOC berharap untuk mendapatkan kembali harta kekayaan ini dan menggunakannya untuk membayar bantuan VOC dalam perang, tetapi malah dijarah oleh tentara seluruhnya.[20] VOC mendapati sepuluh orang Eropa yang membelot ke pihak Trunajaya, dan mereka dijatuhi hukuman mati.[29] Para pemenang juga menemukan perempuan Mataram yang diculik, kuda, dan tanda kebesaran keraton keramat (pusaka).[20] Sebuah meriam terkenal, bernama "Nyai Setomi" dan disebut mriyem berkat ("meriam yang diberkati") dan wasiyat Mataram ("pusaka Mataram") ditemukan di antara tanda kebesaran keraton yang diselamatkan.[30] Mahkota emasPasukan yang menang juga menemukan mahkota emas di antara barang rampasan tersebut.[20] Mahkota tersebut dianggap sebagai mahkota dari zaman kekaisaran Majapahit abad ke-15, di mana ada laporan penggunaan mahkota emas.[20] Mahkota tersebut diserahkan kepada Kapten Tack (VOC), yang bersikeras meminta 1.000 rijksdaalder sebelum memberikannya kepada raja.[20] Tindakan ini tampaknya menyinggung perasaan raja dan insiden ini mungkin berpengaruh pada kematiannya di keraton Mataram pada tahun 1686.[31] Pada tanggal 27 November, Hurdt mempersembahkan mahkota kepada raja, yang kemudian memakainya.[32] Pada saat raja memakainya, pasukan VOC memberi hormat dengan tembakan senapan dan meriam membayangkan acara tersebut sebagai pemahkotaan atau penobatan dalam pemahaman Eropa.[32] Ini adalah kesalahpahaman budaya karena mahkota tidak memiliki kepentingan seremonial dalam protokol keraton Jawa.[32][19] Episode ini menarik banyak perhatian di kalangan sejarawan kemudian.[32] Sejarawan Belanda H. J. de Graaf berpendapat bahwa raja kemudian akan menganggap acara ini sebagai simbol sikap merendahkan dari orang Eropa dan kesombongan mereka yang merasa penting bagi legitimasi raja.[32] EvakuasiKarena Trunajaya terusir dan penjarahan selesai, tentara loyalis meninggalkan Kediri menuju Surabaya, kota utama dan pelabuhan di Jawa Timur.[32] Benteng Kediri dirobohkan dan seorang gubernur dilantik untuk memerintah kota.[33] Sebuah konvoi sungai berangkat pada tanggal 15 Desember, yang termasuk Hurdt, Tack, van Renesse, 288 VOC yang sakit dan terluka, meriam lapangan dan amunisi mereka.[32] Sisanya, termasuk Amangkurat dan de Saint Martin berangkat melalui darat pada tanggal 18 Desember.[32] Arus deras dan musim hujan membuat perjalanan ini sulit.[32] Konvoi sungai tiba di Surabaya pada tanggal 17 Desember setelah kehilangan beberapa kapal dan orang.[32] Yang melalui darat bahkan lebih sulit.[32] Banyak jalan yang banjir dan tidak dapat dilewati. Banyak yang meninggal karena kelelahan hebat, "lapar, lelah, dan menghabiskan waktu seperti binatang di sepanjang jalan dan bahkan di dalam air," menurut catatan harian.[32][33] Tentara mencapai Perning pada tanggal 24 Desember, di arah hulu dari Surabaya, dan terputus oleh banjir.[32] Beberapa orang berhasil mencapai Surabaya dengan perahu, dan sisanya hanya sampai pada 5 Januari melalui darat.[32] Amangkurat dan pengikutnya mendirikan keraton kerajaan di Surabaya.[33] Dia akrab dengan kota tersebut; dia merupakan keturunan dari bekas dinasti Surabaya melalui ibunya, dan dulunya adalah seorang wakil raja di Jawa Timur selama masa pemerintahan ayahnya.[33] Selanjutnya, Hurdt dan pejabat VOC lainnya berangkat ke Batavia.[33] Christiaan Poleman mengambil alih komando pasukan VOC di Jawa Timur.[33] KesudahanKemenangan Belanda-Mataram di Kediri melemahkan pemberontakan Trunajaya. Namun, perang belum berakhir. Trunajaya dan pengikutnya masih bebas di dataran tinggi Malang sekitar Jawa timur; dia baru ditangkap Desember 1679. Sekutunya Raden Kajoran membangun pangkalan baru di Mlambang, Jawa Tengah dan terlibat dalam operasi sukses di sana hingga kematiannya pada September 1679.[34][35] Kakak Amangkurat, Pangeran Puger, masih menguasai keraton Mataram di Plered di mana dia mempertahankan klaimnya atas takhta hingga tahun 1681.[32] Amangkurat juga menghadapi kesulitan dalam membangun kekuasaannya di Cirebon dan Madura.[32] Karena kampanye militer ini, VOC kini sepenuhnya terikat dengan Amangkurat.[36] Namun, raja tidak bisa membayar VOC seperti yang dijanjikan karena harta kekayaannya—yang dia harapkan bisa diselamatkan di Kediri—dijarah oleh VOC dan tentaranya sendiri.[32] VOC juga merasakan ketidakmampuan raja dan kurangnya kesetiaan di kalangan rakyatnya. Meskipun begitu, VOC terus bertempur di pihaknya sampai berakhirnya perang.[37] PeninggalanJohan Jurgen Briel, sekretaris dari komandan Belanda Hurdt, menulis sebuah jurnal sebanyak 240 halaman mengenai kampanye militer ini.[38] Pada 1971, jurnal tersebut disunting oleh sejarawan H. J. de Graaf dan diterbitkan dalam Linschoten-Vereeniging .[39] Sebelumnya, pada 1890 J. Hendrik van Balen dan Willem Steelink Jr. menerbitkan sebuah buku anak-anak De Kroon van Mataram ("Mahkota Mataram"), yang menggambarkan kampanye militer tersebut berdasarkan laporan Briel.[40] Buku Belanda tersebut menekankan peranan para tentara Eropa, dan menggambarkan orang Jawa memiliki arti minimal dalam kemenangan VOC.[40] Kampanye militer ini juga muncul dalam sejarah Jawa (babad), mencakup Babad Kraton yang ditulis oleh Raden Tumenggung Jayengrat di Yogyakarta selama tahun 1777–1778.[41] ReferensiCatatan kaki
Bibliografi
|