Kamora, Mimika Tengah, Mimika
EtimologiAsal nama Miyoko berasal dari miskomunikasi antara pemerintah kolonial Belanda dengan masyarakat Kamora (suku Kamoro), ketika menanyakan nama dari kampung tersebut dan dijawab dalam bahasa daerah: “Kali ini bernama Kamora, airnya bagus sekali (Mbiyoko)”. Mbioko berasal dari kata Mbi berarti air, dan Yako berarti bagus sekali. Mbiyako kemudian berubah menjadi Mbiko lalu Mioko (atau dengan ejaan Miyoko).[1] SejarahLeluhur masyarakat Kamoro yang menempati Kampung Miyoko/Mioko atau yang sekarang disebut Kampung Kamora sebelumnya hidup secara nomaden. Mereka telah berpindah sebanyak 9 kali. Pertama mereka tinggal di Tinaruma di sekitar sungai Kamora. Dua pemuda asal Tinaruma mencari wana (minyak rambut) ke sungai Pekarau.[1] Setelah kedua pemuda ini pergi, terjadi insiden dengan mahluk gaib We Kimikiyu di Kokotiri, dimana Weyako Kimikiyu membantai masyarakat Tinaruma. Masyarakat ini dihidupkan kembali oleh mahluk gaib dengan syarat mereka harus hidup di rumah adat Ema Kame. Karena peraturan ini dilanggar, mereka dikutuk menjadi hewan.[1] Ketika kedua pemuda kembali, mereka menemukan kampung sepi, kecuali dua kekasihnya yang menceritakan peristiwa yang terjadi sebelum mereka juga berubah menjadi hewan. Setelah kedua pemuda tersebut beristirahat dibawah pohon kelapa putih, mereka merubah menjadi mahluk gaib dan melakukan perjalanan menuju Ampouta, kampung kedua.[1] Dalam perjalanan mereka menetap di rumah bapak Wakuru (titisan lau-lau), karena mereka tidak memberikan sagu, bapak Wakuru menyebabkan mereka tersesat hingga kembali ke rumah, sebelum melepaskan mereka setelah diberikan sagu. Setibanya di Ampouta, mereka menemukan masyarakat yang berinteraksi dengan mahluk gaib asal Tinaruma. Peristiwa ini mengakibatkan peperangan, sehingga masyarakat harus pindah ke kampung ketiga, bernama Mbakarepeyau.[1] Di Mbakarepeyau, masyarakat kamora mulai mengenal adat tusuk hidung, mbirimu walaupun tidak terlaksana karena perselingkuhan Dakara Wauta (adik lelaki) dengan istri Dakara (kakaknya). Peristiwa ini menyebabkan pembunuhan di rumah adat ema kame, dan kutukan dari mertua (ibu dari istri) Dakara yang menyebabkan masyarakat harus berpindah ke kampung keempat.[1] Di kampung keempat, Ndaweya terjadi perpisahan antara kamora gunung dan kamora pantai. Masyarakat Kamora pantai tinggal sementara di kampung kelima kampung Iputarimane sebelum berpindah ke Kamokowau yang sekarang disebut Kuala Kencana. Mereka kemudian berpindah ke kampung keenam, Pekarau. Di kampung ini, mereka mulai mengenal kapal dan anak panah untuk persiapan perang Hongi.[1] Setelah itu mereka berpindah lagi ke Paupare, sebelum ke Mbioko yang merupakan kampung kedelapan. Saat itu masyarakat kamora masih terbagi berdasarkan taparu di Tambrumako dan Mbakripare. Untuk pertama kalinya diadakan pesta adat Karapau yang menyatukan taparu-taparu di satu tempat kampung Mbioko. Setelah gereja dan pembangunan datang pemukiman dikembangkan di Mbakripare, lokasi kampung saat ini.[1] Referensi
|