Kadirun YahyaProf. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya Muhammad Amin Al Khalidi (lahir di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara 1917 - meninggal di Arco, Depok, Jawa Barat 2001, pada usia 84 tahun) adalah seorang ulama tasawuf atau tokoh sufi kharismatik dari Indonesia. Ia adalah mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, salah satu tarekat terbesar di Indonesia, di mana tarekat yang dipimpinnya berkembang pesat di dalam maupun luar negeri. Lebih dari 700 tempat dzikir/surau/alkah telah didirikan, dan setiap tahunnya diselenggarakan kegiatan suluk (i'tikaf, ibadah dan dzikir intensif selama 10 hari) hingga 10 kali di berbagai tempat, di Indonesia dan Malaysia.[1] Syekh Kadirun Yahya adalah salah satu ulama tarekat yang dinilai berhasil memadukan antara ilmu dzikir serta ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[2] Ia banyak membuat tulisan-tulisan ilmiah, serta menjadi pemakalah dan pembicara dalam berbagai forum ilmiah, untuk menyampaikan gagasan dan pemikirannya mendeskripsikan tarekat dalam bahasan sains, yang disebutnya sebagai "Teknologi Metafisika Al-Qur'an". Pemikiran, sosok kepribadian, dan pola dakwah Syekh Kadirun Yahya yang unik dan berbeda dengan ulama-ulama pada umumnya ini, juga telah banyak diteliti dan ditulis para akademisi, peneliti, dan penulis, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Syekh Kadirun Yahya juga memiliki perhatian khusus terhadap dunia pendidikan. Ia mendirikan lembaga pendidikan dari Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, SMA, SMK, sampai dengan Perguruan Tinggi di Medan.[3] Pada tahun 1956, ia mendirikan Akademi Metafisika, yang pada tahun 1961 berubah nama menjadi Universitas Pembangunan Panca Budi. Di perguruan tinggi ini Syekh Kadirun Yahya telah mengembangkan Fakultas Ilmu Kerohanian dan Metafisika, untuk merumuskan ilmu kerohanian (agama) dan sains dalam kerangka berpikir ilmu pengetahuan. BiografiSyekh Kadirun Yahya dilahirkan di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, pada tanggal 20 Juni 1917 bertepatan dengan 30 Sya'ban 1335 H dari ibu yang bernama Siti Dour Aminah Siregar dan ayah yang bernama Sutan Sori Alam Abdullah Harahap. Ayah Syekh Kadirun Yahya adalah seorang pegawai perminyakan (BPM) Pangkalan Berandan yang berasal dari kampung Sikarang-karang, Padang Sidempuan. Keluarga besarnya adalah keluarga islamis religius yang ditandai dengan nenek dari pihak ayah dan ibunya adalah dua orang Syekh Tarekat, yaitu Syekh Yahya dari pihak ayah dan Syekh Abdul Manan dari pihak ibu.[2] Keluarga ini sering dikunjungi oleh para Syekh pada zaman dahulu. Riwayat PendidikanSecara kronologis pendidikan yang ditempuh oleh Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya adalah:
Riwayat PekerjaanAdapun riwayat pekerjaan Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya adalah:[2]
Riwayat BerorganisasiAdapun riwayat berorganisasi Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya adalah:
Piagam PenghargaanDari karya dan baktinya kepada negara, Syekh Kadirun Yahya mendapat piagam-piagam penghargaan,[4] antara lain:
Sejarah belajar Tarekat/ SufiProf. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya mengenal tarekat pada tahun 1943-1946 melalui seorang khalifah dari Syekh Syihabuddin Aek Libung (1892-1967) yang berasal dari Sayur Matinggi, Tapanuli Selatan.[5] Pada waktu itu masa pergolakan (penjajahan Jepang) dan ia belum terlalu mendalami tarekat. Pernikahan Syekh Kadirun Yahya muda dengan putri Syekh Haji Jalaluddin yang bermukim di Bukit Tinggi, yang kala itu merupakan tempat pertemuan para Syekh tarekat, memberinya peluang untuk memperdalam tarekat.[6] Melalui mertuanya inilah Syekh Kadirun Yahya muda akhirnya berkenalan dengan Syekh yang kelak menjadi guru utamanya, yaitu Saidi Syekh Muhammad Hasyim Buayan, di mana Syekh Muhammad Hasyim Buayan mendapatkan ijazah tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh ‘Ali al-Rida di Jabal Abu Qubays, Mekkah, yang dibantu oleh Syekh Husain. Keduanya adalah khalifah dari Syekh Sulaiman al-Zuhdi.[7] Pada tahun 1947, Syekh Kadirun Yahya muda hadir di rumah murid Saidi Syekh Muhammad Hasyim, di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ketika itulah ia pertama sekali mengikuti kegiatan tawajuh atau zikir berjamaah yang dipimpin oleh Saidi Syekh Muhammad Hasyim, seorang Syekh tarekat Naqsyabandiyah yang tinggal di nagari Buayan Lubuk Aluang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Saidi Syekh Muhammad Hasyim Buayan adalah orang yang disiplin dalam melaksanakan ketentuan tawajuh, dan biasanya siapa saja yang belum ikut tarekat belum diperbolehkan ikut dalam kegiatan ini. Tetapi pada waktu tawajuh hendak dilaksanakan, saat itu Saidi Syekh M. Hasyim Buayan melihat Kadirun Yahya muda, dan membolehkannya ikut tawajuh dengan diajarkan kaifiat (tata cara) singkat oleh khalifahnya pada saat itu juga. Ini merupakan peristiwa yang langka terjadi pada murid Tarekat Naqsyabandiyah seperti yang terjadi atas diri Syekh Kadirun Yahya, yaitu belum memasuki tarekat tetapi sudah mengikuti kegiatan tawajuh. Dalam situasi Agresi Militer Belanda II, pada tahun 1949 Syekh Kadirun Yahya mengungsi ke pedalaman Tanjung Alam, Batu Sangkar, Sumatera Barat. Di sini ia mencari sebuah masjid/surau, untuk shalat dan berdzikir, selama berjam-jam, berhari-hari. Pada suatu hari datanglah ke Masjid tersebut sekelompok orang dengan maksud melaksanakan khalwat/suluk, yang dipimpin oleh seorang khalifah dari Syekh Abdul Majid Tanjung Alam (1873-1958), seorang Syekh dari Guguk Salo (Tanjung Alam, Batusangkar) yang juga dikenal dengan sebutan Syekh Abdul Majid Guguk Salo. Khalifah dari Syekh Abdul Majid ini meminta agar Syekh Kadirun Yahya memimpin suluk tersebut, dan semula ditolaklah permintaan tersebut. Tetapi setelah berkonsultasi lebih lanjut, maka ia bersedia dengan syarat harus ada izin dari Syekh Muhammad Hasyim. Setelah mendapatkan izin barulah ia memimpin suluk. Ini merupakan sebuah peristiwa yang langka, di mana Syekh Kadirun Yahya belum pernah mengikuti suluk, tetapi diberi kepercayaan dan amanah untuk mensulukkan orang. Setelah kejadian tersebut, Syekh Kadirun Yahya menemui Syekh Abdul Majid untuk meminta suluk. Setelah suluk berakhir, ia mendapatkan satu ijazah dari Syekh Abdul Majid. Menurut menantu/wakil/penjaga suluk yaitu khalifah H. Imam Ramali, Syekh Abdul Majid Guguk Salo pernah berkata bahwa Syekh Kadirun Yahya, adalah orang yang benar-benar mampu melaksanakan suluk dan kelak akan dikenal di seluruh dunia sebagai pembawa tarekat Naqsyabandiyah. Selanjutnya Syekh Kadirun Yahya, kembali menjumpai Saidi Syekh M. Hasyim Buayan untuk mempertanggung jawabkan kegiatan beliau yang “di luar prosedur lazim” tersebut dan sekaligus meminta suluk. Hal ini diperkenankan oleh Saidi Syekh M. Hasyim Buayan dengan langsung membuka suluk. Selama gurunya masih hidup, setiap minggu Syekh Kadirun Yahya berziarah kepada Saidi Syekh M. Hasyim Buayan (tahun 1950–1954). Setelah gurunya wafat, ziarah tetap dilanjutkan antara 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) kali dalam setahun. Pada tahun 1950, Saidi Syekh M. Hasyim Buayan mengangkat Kadirun Yahya menjadi khalifah. Pemberian ijazah kepada Kadirun Yahya sekaligus menempatkannya dalam daftar silsilah ke-35 dalam urutan silsilah Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah. Dua tahun kemudian Syekh Kadirun Yahya mendapatkan predikat Syekh penuh dengan gelar Saidi Syekh.[8] Penilaian Saidi Syekh M. Hasyim Buayan tentang Syekh Kadirun Yahya adalah: Saidi Syekh Kadirun Yahya, mendapatkan apresiasi tinggi, antara lain dari segi ketakwaan, kualitas pribadi dan kemampuan melaksanakan suluk sesuai dengan ketentuan akidah dan syariat Islam. Syekh Kadirun Yahya, menjadi satu-satunya murid Saidi Syekh M. Hasyim Buayan yang diangkat menjadi Saidi Syekh di makam gurunya, yaitu Saidi Syekh Sulaiman al-Khalidi Hutapungkut (1841-1917) di Hutapungkut, Kota Nopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara, dan diumumkan ke seluruh Negeri. Dalam Ijazah Syekh Kadirun Yahya dicantumkan kata-kata, “Guru dari orang-orang cerdik pandai, Ahli mengobat", yang baru beberapa puluh tahun kemudian terbukti kebenarannya. Syekh Kadirun Yahya diberi izin untuk melaksanakan dan menyesuaikan segala ketentuan Tarekat Naqsyabandiyah dengan kondisi zaman, sebab semua hakikat ilmu telah dilimpahkan gurunya padanya.[9] Pada suatu saat yang lain, Syekh Syihabuddin Aek Libung Sayur Matinggi juga memberikan ijazah dan pengakuan sebagai Syekh Tarekat kepada Syekh Kadirun Yahya.[10] Syekh Syihabuddinn Aek Libung Sayur Matinggi pernah berkata kepada anak kandungnya yang menjaga suluk, yaitu Syekh Husein, bahwa muridnya yang benar-benar dapat menegakkan Suluk adalah Syekh Kadirun Yahya.[11] Pada tahun 1969, Syekh Kadirun Yahya berziarah dan bertemu dengan Syekh Muhammad Said Bonjol. Syekh Muhammad Said Bonjol memutuskan untuk memberikan kepada Syekh Kadirun sebuah benda berwujud semacam mahkota yang konon telah berusia lebih dari 300 tahun, yang dititipkan oleh guru Syekh Muhammad Said Bonjol, yaitu Syekh Ibrahim Kumpulan, di mana Syekh Ibrahim Kumpulan juga mendapatkannya dari gurunya, yaitu Saidi Syekh Sulaiman Al Qarimi (Jabal Abu Qubaisy, Mekkah), dengan pesan agar kelak diberikan kepada "seseorang yang pantas, yang memiliki tanda-tanda tertentu". Puluhan tahun berlalu, barulah “orang yang pantas” tersebut ditemukan oleh Syekh Muhammad Said Bonjol, yaitu Syekh Kadirun Yahya. Genealogi Kemuttashilan Sanad/Silsilah Tarekat Naqsyabandiah Al-KhalidiahProf. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya sebagai Mursyid Tarekat Naqsyabandiah Al-Khalidiah dengan silsilah keguruan[12] sebagai berikut:
Guru Para Cerdik PandaiSurau adalah tempat pembinaan murid-murid Tarekat Naqsyabandiah yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya. Pada tahun 1950, Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya mulai merintis sebuah surau di Bukit Tinggi. Di tempat ini juga pertama sekali beliau mengadakan suluk secara resmi atas izin dari gurunya, Syekh Muhammad Hasyim Buayan. Pada tahun 1955, Syekh Kadirun Yahya pindah ke Kampus SPMA Negeri Medan, sehingga aktivitas kesurauan juga ikut dipindahkannya ke tempat tersebut. Di tempat ini pula kelak berdiri Universitas Pembangunan Panca Budi sedangkan SPMA Negeri pindah ke Jln. Gatot Subroto Km. 12, Medan. Latar belakang Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya, yang ilmuwan Fisika – Kimia, menguasai Bahasa Inggris, Jerman dan Belanda, serta menekuni Ilmu Filsafat Kerohanian dan Metafisika Islam khususnya Tasawuf dan Tarekat, telah mewarnai syiar perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah di masanya.[13] Syekh Kadirun Yahya pernah mengatakan, “Sewaktu manusia masih sederhana pemikirannya, agama tak mungkin diterangkan secara ilmiah yang sempurna. Walaupun sebenarnya Islam sebagai agama yang ilmiah dan amaliah. Oleh karena itu, sebagian besar agama diajarkan secara dogmatis dan kepercayaan semata-mata. Hanya sebagian kecil saja agama diajarkan secara ilmiah popular. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan, semakin nyata bahwa Islam adalah agama yang sangat ilmiah.”[14] Dalam berbagai kajiannya, ia menyampaikan bahwa kekuatan agama sebagai sesuatu yang nyata, fakta dan realita. Kekuatan ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah ilmu yang riil yang bisa dibuktikan seperti hukum-hukum fisika, kimia dan sebagainya. Hanya martabat dan dimensinya jauh lebih tinggi, mutlak dan sempurna.[15] Untuk itu, pada tanggal 27 November 1956, Syekh Kadirun Yahya mendirikan Akademi Metafisika di bawah ‘Yayasan Akademi Metafisika’, di Medan. Kemudian pada tahun 1980 ‘Yayasan Akademi Metafisika’ diubah namanya menjadi ‘Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya’, sementara Akademi Metafisika berubah menjadi Universitas Pembangunan Panca Budi pada tahun 1961. Tujuan Syekh Kadirun Yahya mendirikan Yayasan ini adalah:
Salah satu kegiatan utama dari Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya adalah mendirikan rumah ibadah (surau-surau) untuk mengamalkan dzikrullah/ melaksanakan latihan mental spiritual (i’tikaf/suluk).[19] Sampai tahun 2000-an sudah berdiri 700-an surau/tempat wirid di seluruh Indonesia, 15 (lima belas) di Malaysia, dan 1 (satu) di Amerika Serikat.[2] Untuk membentuk hubungan antar surau di tingkat pusat dibentuk Badan Koordinasi Kesurauan (BKK), sedang tingkat propinsi dibentuk Badan Kerjasama Surau (BKS). Selanjutnya Badan Koordinasi Kesurauan (BKK) membentuk suatu badan yang disebut Pusat Kajian Tasawuf, untuk mengangkat Ilmu Metafisika ke permukaan, khususnya Tasawuf dan Tarekat dengan mengadakan seminar, ceramah, dialog dan sebagainya. Semasa hidupnya, Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya sering tampil sebagai pemakalah seminar-seminar nasional dan internasional yang mengedepankan tema seputar Teknologi Al -Qur’an dalam Tasawuf Islam. Tercatat ada 15 kali seminar nasional dan 2 kali seminar internasional yang melibatkan Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya sebagai narasumber. Semua karya-karyanya menegaskan apa yang telah dituliskan oleh guru-gurunya dalam ijazah kemursyidan, bahwa Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya adalah ‘Guru para cerdik pandai’. Tulisan IlmiahAdapun tulisan-tulisan ilmiah karya Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya dalam format buku dan paper:[20]
Pembicara dalam Forum IlmiahPada periode tahun 1986-1996 Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya sering kali mengadakan forum ilmiah maupun diundang sebagai pemakalah sekaligus pembicara dalam berbagai forum ilmiah seminar skala nasional dan internasional,[4] antara lain:
Prinsip dan Motto KerjaPandangan hidup Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya dan motto-nya dalam bekerja, dirumuskan dalam Piagam Panca Budi,[21] yaitu:
Motto kerja yang diajarkan oleh Syekh Kadirun Yahya kepada murid-muridnya[22] yaitu :
Pemikiran Syekh Kadirun YahyaTeknologi Metafisika Al-Qur'anSalah satu fenomena islam Indonesia sejak tahun 1990-an adalah perdebatan pendapat di antara ilmuwan muslim terkait hubungan agama dan sains, yang memunculkan istilah-istilah seperti islamisasi ilmu pengetahuan, ilmuisasi islam, obyektifikasi islam, keserasian, ayatisasi, integrasi, integrasi – interkoneksi, dan lainnya. Sejak 1970-1980-an mulai dikenal nama-nama seperti Rasjidi, Moenawar Chalil, Buya Hamka, Hidajat Nataatmaja, Kuntowijoyo, Mulyadhi Kartanegara, Amin Abdullah, hingga Kadirun Yahya, yang mempelopori gerakan agama dan sains ini dalam tiga agenda, yaitu politik penguatan identitas keislaman, semangat melawan sekulerisasi barat, dan sikap defensif yang merupakan bagian dari dakwah.[23] Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menggagas pemikiran melalui ilmu metafisika akan mampu menjelaskan apa sebenarnya agama itu. Misteri tentang agama yang misterius, mistis, tak terlihat, dll, bisa didekati dengan menggabungkan ilmu-ilmu eksakta (matematika, fisika, kimia, mekanika, biologi, dll), agar agama lebih bisa diterima oleh pikiran manusia. Umumnya, ajaran agama sulit dipahami karena tidak ada penjelasan yang logis, sehingga iman umat manusia rentan untuk bergeser ke atheisme atau sekulerisme. Syekh Kadirun Yahya menggunakan teori metafisika dari perspektif sains,[24] untuk menunjukkan ilmiahnya ayat-ayat Al-Qur'an, dan bukan hanya sekedar dogmatis. . Menurutnya ilmu metafisika eksakta sangat efektif untuk dipakai dalam menerangkan teori-teori ilmiah dari pelaksanaan teknis ilmu agama, termasuk di dalamnya bidang ilmu tasawuf dan sufi. Bagi Syekh Kadirun Yahya, metafisika adalah fisika di alam meta, merupakan suatu kenyataan tentang keberadaan (realitas) sesuatu secara eksak di alam meta (gaib, transenden, abstrak), maka pendekatan ilmiah dalam pembahasan yang bersifat pasti dan memiliki batasan tertentu, akan lebih mudah mendapat pengertian dan pemahaman, di samping bahwa problem metafisika yang sesungguhnya dapat diterapkan dan dibuktikan eksistensinya, sehingga ilmu eksakta dapat dijadikan sebagai media pendukung dalam lingkungan metafisika dan ilmu pengetahuan.[20] Dengan latar belakangnya sebagai ilmuwan Fisika – Kimia, menguasai Bahasa Inggris, Jerman dan Belanda, serta menekuni ilmu tasawuf dan tarekat, selain menggunakan dasar Al-Qur’an, al-Hadist dan ijma’ ulama’, Syekh Kadirun Yahya juga berdakwah menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.[25] Sehingga pemikiran Syekh Kadirun Yahya dinilai sesuai dengan perkembangan umat dan zaman di abad teknologi dan informasi. Inilah yang membedakan pola penyampaian dakwah antara Syekh Kadirun Yahya dengan ulama-ulama lainnya. Menurutnya, teknologi jangan selalu diartikan dengan hal-hal yang berhubungan dengan mesin atau komputer. Secara sederhana teknologi adalah serangkaian metode yang mencakup pengertian yang lebih luas. Misalnya dalam mencangkul, diperlukan suatu metode atau cara. Tanpa menguasai bagaimana metode mencangkul, maka tidak dapat diperoleh hasil cangkulan yang baik, bahkan bisa membuat orang terluka. Dalam hal contoh sederhana yang lain, memasak misalnya, meskipun telah tersedia alat dan bahan yang diperlukan untuk memasak suatu masakan, tapi jika tidak mengetahui metode atau cara dalam memasak, maka masakan yang dimaksud tentu tidak akan jadi.[20] Contoh yang lain, tentang air. Apabila diterapkan teknologi elektrolisa, air akan mengeluarkan tenaga dahsyat, air akan terurai menjadi oksigen dan atom hidrogen, yang jika disatukan kembali dan disulut dengan menggunakan api, maka akan meledak dan menyemburkan api yang dapat melebur besi. Jika air dialirkan melalui turbin yang dirangkai dengan dinamo, akan mengeluarkan energi listrik yang mencapai kekuatan hingga 170.000 KVA. Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an dan kalimah Allah (dzikir) juga tidak akan mampu mengeluarkan tenaga dahsyat, selama tidak dikuasai metodologinya, yang mana teknologi itu disebut oleh Syekh Kadirun Yahya dengan istilah “Teknologi Metafisika Al-Qur’an”. Dengan teknologi ini, kalimah Allah dan ayat-ayat al-Qur’an akan dapat mengeluarkan energi-energi metafisis ke-Tuhan-an yang maha dahsyat.[26] Unsur Tak Terhingga (Infinity)Tuhan menurunkan energi tak terhingga (infinity) dalam bentuk firman-Nya. Kekuatan tak terhingga di dalam kalîmah Allâh, atau ayat-ayat khusus Al-Qur'an, dapat menghancurkan segala sesuatu yang negatif antara surga dan bumi. Tujuan akhir dari setiap manusia adalah untuk mendapatkan akses ke faktor Tak Terhingga ini, yang hanya mungkin dilakukan dengan cara berhubungan (secara kerohanian) dengan Nabi. Sama seperti energi listrik harus dibawa oleh kabel dari sumbernya ke lampu, energi ilahi yang tak terhingga ini hanya bisa didapatkan dengan menghubungkan (rohani) melalui Nabi dan rantai orang-orang suci,[9] yaitu para ulama pewaris ilmu Nabi. Energi tak terbatas kalîmah Allâh ini dijelaskan Syekh Kadirun Yahya dalam rumus tak terhingga pada konsep matematika: 1 / ~ = 0 [angka berapa pun] / ~ = 0 [iblis, setan, hantu, kanker, narkotika, atom, nuklir, apapun yang fisik maupun metafisika] / ~ = 0 unsur tak terhingga (~) di sini menurut Syekh Kadirun Yahya adalah kalimah Allah atau ayat-ayat Al-Qur'an Unsur tak terhingga (~) dalam konsep matematika ini yang dipergunakan Syekh Kadirun Yahya untuk mendefinisikan kebenaran hakiki tentang Tuhan dan tasawuf (tarekat). Unsur tak terhingga (~) ini mencerminkan keunikan Tuhan, di mana Tuhan duduk di takhta-Nya (Arsy), yang berada pada jarak tak terbatas/ tak terhingga dengan kita. Karena jarak sama dengan kecepatan dikalikan dengan waktu s = v x t di mana s = spazium = distance = jarak v = velocitas = speed = kecepatan t = tempo = time = waktu maka komunikasi dengan Tuhan membutuhkan kecepatan yang tak terhingga (~), atau akan mengambil waktu yang tak terhingga (~) s = ~, dan oleh karena itu v atau t harus = ~ Para nabi, yang secara teratur berkomunikasi dengan Tuhan, dapat melakukannya karena rohani mereka (diri spiritual mereka) memiliki "radiasi frekuensi" yang tak terhingga untuk mencapai Tuhan. Menurut Syekh Kadirun Yahya, ini adalah "cahaya di atas cahaya" yang disebutkan dalam Al-Qur'an 24:35. Ini adalah cahaya dengan frekuensi dan energi tak terhingga, yang muncul dari Tuhan dan tersambung dengan diri rohani Rasulullah, yang kemudian diteruskan kepada para ulama pewaris ilmu Rasulullah (silsilah keguruan mursyid-mursyid tarekat) Inilah yang dikatakan sebagai "Tali Tuhan" (habl min Allâh), yang melaluinya individu dapat terhubung dengan unsur tak terhingga tersebut.[9] Syekh Kadirun Yahya mendefinisikan metafisika eksakta sebagai kajian yang membahas masalah-masalah metafisika, yaitu yang bersifat abstrak, transenden dan gaib melalui pendekatan pada ilmu eksakta (matematika, fisika, kimia, mekanika, biologi, dll).[20] Syekh Kadirun menjelaskan sintesis sains, teknologi, dan tasawuf modern, dengan menggunakan rumus eksakta fisika dan matematika sebagai metafora untuk menjelaskan hubungan antara manusia dan Tuhan, dan sebagai wujud atau simbol bahwa segala sesuatu dapat diperhitungkan secara ilmiah. Ia menjelaskan tentang teknologi metafisika berupa penyaluran kekuatan tak terhingga di dalam kalîmah Allah, yaitu dzikir dengan metode tarekat, memusatkannya, dan mengarahkannya untuk berbagai tujuan di dunia ini.[6] Tarekat sebagai MetodologiDitegaskan oleh Syekh Kadirun Yahya, bahwa kebenaran agama jangan hanya dipertahankan dengan hujjah akal, tetapi harus mampu dibuktikan kebenarannnya secara ‘real’, yang itu bisa didapatkan melalui metode tarekat. Dan metode tarekat itu sendiri harus bisa dibuktikan kebenarannya melalui sains matematika, fisika, dan kimia yang terukur. Ia berpandangan, bahwa menunjukkan ‘kekeramatan‘ (karamah) diperlukan untuk membuktikan kebenaran (Islam atau amalan tarekat) dan menangkis pendapat bahwa agama adalah khayalan.[27] Pada dasarnya ilmu tarekat di dalam al Qur’an merupakan metode pelaksanaan teknis dari suatu amalan yang sangat tinggi, yaitu dzikir. Di sinilah yang dimaksudkan oleh Syekh Kadirun Yahya bahwa tarekat merupakan sebuah metodologi di dalam ilmu tasawuf, yaitu melalui pengamalan dzikir, pengamalan kalimah Allah. Menurut Syekh Kadirun Yahya, kekuatan potensi kalimah Allah adalah maha dahsyat, sehingga mampu mempertahankan eksistensi dunia dari kehancuran total oleh tenaga apa pun.[28] Maka ilmu tersebut perlu diriset, di mana letak ilmiahnya, the how to do-nya, dari amalan-amalan tarekat yang kelihatannya mubazir dan seolah-olah hanya membuang waktu. Namun sebenarnya semuanya itu akan terbukti, kalau dilaksanakan dengan metode dzikir yang tepat, akan memperoleh manfaat yang besar dari kekuatan yang terkandung dalam al-Qur’an.[15] Di dalam Al-Qur'an dan Hadist, Tuhan telah menunjukkan banyak contoh mengenai energi tak terhingga tersebut, seperti pada kejadian banjir Nabi Nuh, bencana yang dialami kaum Nabi Luth, mu’jizat Nabi Sulaiman, Nabi Daud melawan Goliath, Nabi Isa menghidupkan orang mati, krikil batu sijjil untuk memusnahkan tentara Abrahah, Nabi Ibrahim melawan Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, dan lain-lainnya. Begitu juga dengan sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara Indonesia. Saat Islam mulai mendarat di tanah Jawa, dengan para ulama yang dikenal dengan sebutan “Wali Songo” mulai mendakwahkan Islam. Semula rakyat merasa keberatan, bahkan menolaknya, dengan alasan mereka telah mempunyai agama kebatinan Jawa. Di sinilah kemudian diterjunkan ke garda depan kekuatan-kekuatan metafisika berupa tasawuf dan ilmu sufinya, dengan berbagai fenomena keajaiban dan karamahnya. Barulah kebatinan di tanah Jawa tersebut mundur dan tunduk menerima Islam. Kemudian dilanjutkanlah dakwah Islam itu dengan pengajaran ilmu fiqh sebagai pengatur dalam tatakrama kehidupan umat Islam.[20] Demikian pula tidak sedikit kisah-kisah karamah Syekh Kadirun Yahya dalam mempraktekkan teknologi metafisika ini, seperti memadamkan letusan gunung Galunggung di Jawa Barat atas permintaan Pemda Tk I Jawa Barat dengan menggunakan helikopter dan melempar batu serta menyiramkan air dzikir kalimah Allah, memberantas pemberontakan gerombolan komunis di Hutan Pahang Malaysia atas permintaan perwira angkatan bersenjata Malaysia dengan menggunakan helikopter dan melemparkan batu-batu bermuatan dzikir kalimah Allah, menyembuhkan berbagai penyakit berat dan penyakit ganjil, penyembuhan kecanduan narkoba, mengusir gangguan jin, dll. Semua itu merupakan praktek menyalurkan energi tak terhingga kalimah Allah, melalui berbagai media seperti batu, air, dan tongkat, yang telah didoakan dan diberi muatan dzikir kalimah Allah.[15] Kisah-kisah menarik tentang sosok pribadi dan perjalanan spiritual Syekh Kadirun Yahya, peran aktifnya dalam dunia pendidikan, dunia sosial kemasyarakatan, dunia militer dan ketatanegaraan, serta cerita-cerita karamahnya dengan berbagai penjelasan ilmiah mengenai teknologi Al-Qur'an ini, membuat tarekat yang dipimpinnya mendapatkan banyak pengikut. Murid-muridnya berasal dari beragam kalangan, mulai masyarakat kelas bawah, menengah, sampai kelas atas,[29] dari usahawan, profesional, artis, seniman, akademisi (guru, mahasiswa, dosen, doktor, sampai profesor), kalangan militer (polisi dan tentara, dari pangkat rendah sampai perwira tinggi), kalangan pejabat (dari kepala daerah, menteri, sampai keluarga Diraja Malaysia), baik di Indonesia maupun di Malaysia.[30] Paradigma dan Kontroversi Tarekat dan SainsSebagai seorang profesor yang menekuni ilmu-ilmu fisika, kimia dan matematika, serta menulis risalah-risalah tentang metafisika, Syekh Kadirun Yahya dianggap telah berhasil merekonsiliasi pengalaman mistis dalam tarekat dengan ilmu sains. Kombinasi antara pengetahuan ilmiah dengan reputasi pencapaian spiritual yang tinggi ini, menjadi daya tarik khusus bagi kalangan mahasiswa dan kaum intelektual untuk mempelajari tarekat yang dibawanya.[31] Bagi sebagian dari para pengikutnya, dzikir dengan metode tarekat dianggap sebagai salah satu solusi penting untuk menjawab masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, bahkan berbagai permasalahan yang lain.[32] Apalagi kemudian Syekh Kadirun Yahya juga mendirikan sebuah perguruan tinggi, Universitas Pembangunan Panca Budi di Medan, untuk mendorong program pendidikan metafisika yang ia kembangkan.[33] Dari situlah pemikiran sufistik ditafsirkan kembali sebagai sumber inspirasi untuk praktek keagamaan kontemporer yang sesuai dengan perkembangan jaman. Namun selain mendapatkan banyak pengikut, ada pula sebagian kalangan yang menolak pemikiran Syekh Kadirun Yahya maupun tarekat yang dibawanya.[34] Pemikirannya tentang teknologi metafisika Al-Qur'an untuk menjelaskan tarekat, cerita-cerita karamahnya, perjalanan hidupnya, dan praktek-praktek teknis tarekat yang dilakukan jamaah tarekatnya, dianggap kontroversial oleh para penentangnya, bahkan terjadi intimidasi terhadap jamaah tarekat ini di beberapa daerah.[5] Penolakan-penolakan dan intimidasi ini pun disanggah dengan cara damai oleh para pengikut Syekh Kadirun Yahya melalui berbagai tulisan ilmiah dan forum-forum ilmiah. Walaupun terdapat kontroversi di sebagian kalangan, namun karya-karya ilmiah pemikiran Syekh Kadirun Yahya telah banyak menginspirasi para penulis, akademisi, dan peneliti di Indonesia, Malaysia, maupun beberapa negara lainnya. Tercatat lebih dari 30 tulisan ilmiah dalam bahasa Indonesia, bahasa Melayu, maupun bahasa Inggris, berupa skripsi, thesis, disertasi, makalah forum ilmiah, jurnal, sampai buku, yang telah mengulas pemikiran Syekh Kadirun Yahya, sosok pribadi dan perjalanan spiritualnya, maupun pergerakannya dalam dakwah tarekat. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap metode maupun materi dakwah tarekat yang dibawanya, hal ini menunjukkan bahwa Syekh Kadirun Yahya telah dianggap banyak memberi pengaruh dalam berkembangnya Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah. Pemikiran dan pergerakannya telah membuat banyak orang mengikuti ajaran tarekat tersebut, atau sekedar menjadikannya sebagai ilmu pengetahuan secara ilmiah saja. Kini Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah yang dibawa Syekh Kadirun Yahya telah berkembang luas menjadi salah satu tarekat terbesar di Indonesia maupun di Malaysia,[4] dan telah tersebar sampai ke Thailand, Brunei, Jepang, Australia, Amerika dan Inggris. WafatProf. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya wafat pada 9 Mei 2001 atau 15 Safar 1422 H, dalam usia 84 tahun, dan dimakamkan di Surau Qutubul Amin Arco, Depok, Jawa Barat.[35] Referensi
Pranala luar |