KRI Teluk Banten (516)
KRI Teluk Banten (516) adalah kapal kelima dari landing ship tank kelas Teluk Semangka milik TNI Angkatan Laut.[1] DesainKapal ini memiliki panjang 100 m (330 ft), lebar 144 m (472 ft), dengan draft 42 m (138 ft) dan bobot perpindahan 3.750 ton panjang (3.810 t) pada muatan penuh. Kapal ini ditenagai oleh dua mesin diesel, dengan total keluaran tenaga berkelanjutan sebesar 12.800 tenaga kuda metrik (0,009414 MW) yang didistribusikan dalam dua poros. Teluk Banten memiliki kecepatan 15 knot (28 km/jam), dengan jangkauan 7.500 mil laut (13.890 km) saat berlayar dengan kecepatan 13 knot (24 km/jam).[1] Teluk Banten mempunyai kapasitas 200 tentara, kargo 1.800 ton panjang (1.800 t) (termasuk 17 tank tempur utama), dan 4 LCVP di davits. Kapal tersebut memiliki personel 90 orang, termasuk 13 perwira. Teluk Banten merupakan varian kapal komando dari kelas tersebut dan memiliki ciri-ciri yang membedakan seperti davit LCVP yang terletak di depan jembatan dan ventilasi pembuangan di atas garis air, bukan corong yang ditemukan di kapal lain.[1] Dia dipersenjatai dengan dua senjata Bofors 40 mm L/70 tunggal, dua autocannon Rheinmetall 20 mm tunggal, dan dua senapan mesin berat DShK 12,7 mm tunggal.[1][2] Kapal memiliki fasilitas hanggar dan dek helikopter di buritan dengan kapasitas hingga 3 helikopter Eurocopter AS332 Super Puma.[3][1] Konstruksi dan penugasanTeluk Banten dibangun oleh Korea Tacoma Shipyard di Masan, dipesan pada Juni 1981.[1] Dia mulai ditugaskan pada Mei 1982.[1] Pada KTT ASEAN tahun 1987 yang diselenggarakan di Filipina pada tanggal 14 hingga 16 Desember. Saat itu di Filipina baru saja terjadi pergantian Presiden Marcos dan situasi di sana sangat genting, karena ledakan bom dan ancaman dari militer pembangkang menghantui presiden tersebut. Banyak pihak yang meminta untuk memindahkan KTT dari Filipina, namun pemerintah Indonesia dengan tegas menolak usulan tersebut dan memastikan aman untuk berangkat ke Filipina. Memastikan Mabes TNI melakukan persiapan pengiriman armada TNI Angkatan Laut ke Filipina. TNI Angkatan Laut mengirimkan 5 kapal perang membentuk Satgas Keamanan Presiden dengan 2 kapal berlabuh di Manila dan 3 kapal bersiap di lepas pantai. Dua kapal yang berada di Manila adalah KRI Teluk Banten dengan Helikopter Puma di deknya dan fregat KRI Wihelmus Zakaria Yohannes sebagai pengawalnya.[4] Pada tahun 1992, KRI Teluk Banten bersama KRI Yos Sudarso dan KRI Ki Hajar Dewantara mencegat kapal Portugis Lusitania Expresso di Timor Timur. Kolonel Widodo, Wakil Asisten Armada Timur Angkatan Laut Indonesia, mengatakan kepada Radio Republik Indonesia dari atas kapal perang Indonesia KRI Yos Sudarso bahwa kapal feri tersebut memasuki perairan Indonesia pada pukul 5:28 pagi tanggal 11 Maret 1992. Pukul 6:07, Lusitania Expresso telah menempuh perjalanan dua hingga tiga mil laut (3,7 hingga 5,6 km; 2,3 hingga 3,5 mil) ke wilayah Indonesia dan Kapten Luis Dos Santos (kapten Lusitania Expresso) diperintahkan untuk segera berangkat. Kolonel Widodo mengatakan kapten kapal Portugis itu menuruti perintah tersebut dan memutar kapalnya lalu kembali ke laut.[5] Pada tanggal 9 Januari 2005, ia bersama KRI Teluk Langsa diberangkatkan bersama helikopter Seahawk Angkatan Laut AS untuk mengantarkan perbekalan bantuan dan mengevakuasi penduduk di Calang, Kabupaten Aceh Jaya pasca bencana tsunami. Pelaut dari USS Abraham Lincoln juga membantu situasi tersebut.[6] Ia terlibat dalam Operasi Benteng Paus tahun 2014 untuk melakukan pengamanan perbatasan yang meliputi pencegahan dan penangkalan serta penindakan terhadap pelanggaran wilayah sekitar perbatasan Indonesia-Australia-Timor Timur.[4] Referensi
|