Jurnalisme wargaJurnalisme warga (bahasa Inggris: citizen journalism) adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita.[1] Dalam jurnalisme warga, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen media tapi juga bisa terlibat dalam proses pengelolaan informasi itu sendiri. Pelibatan itu meliputi membuat, mengawasi, mengoreksi, menanggapi, atau sekadar memilih informasi yang ingin dibaca. Karena itu, dikatakan bahwa jurnalisme warga tidak hanya memberi tempat tapi juga menyarankan dan mendorong pembaca untuk terlibat di dalamnya. Meskipun terlihat egaliter dan partisipatif, jurnalisme warga adalah praktik yang timpang dan diskriminatif karena hanya bisa diakses oleh warga yang memiliki modal atau syarat-syarat yang tidak semua orang memilikinya. Ketika seseorang tak mampu secara ekonomi berlangganan internet, maka akan sulit baginya terlibat dalam praktik jurnalisme warga berbasis internet. Mungkin saja ada strategi-strategi alternatif yang dilakukan agar bisa mengakses internet dan terlibat dalam praktik jurnalisme warga. Namun, mereka yang punya modal kuat berpeluang tetap diuntungkan. Mereka yang terlibat harus paham pula bagaimana mengelola informasi dengan baik, tetapi sementara tidak semua warga mampu melakukannya.[2][3] SejarahJurnalisme warga muncul saat Mrak Drudge menuliskan berita terkait perselingkuhan Bill Clinton dengan stafnya pada 19 Januari 1998 di internet. Konsep jurnalisme warga berkaitan dengan civic journalism atau public journalism di Amerika Serikat setelah pemilihan presiden 1998. Gerakan tersebut muncul karena masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap media-media mainstream dan kecewa terhadap kondisi politik pada masa itu. Inti dari jurnalisme warga ialah masyarakat berperan sebagai objek sekaligus subjek berita.[4] Perkembangannya di Indonesia, salah satunya dipicu pada tahun 2004 saat terjadi tragedi Tsunami di Aceh yang diliput sendiri oleh korban tsunami. Terbukti berita langsung dari korban dapat mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis profesional.[5] Namun, jika ingin melacaknya lebih jauh, praktik jurnalisme warga sudah sejak lama ada, setua jurnalisme itu sendiri. Gillmor bahkan menyebut benih jurnalisme warga telah ada sejak 1700-an di mana warga menulis dan menyebarluaskan pandangannya melalui selebaran. Kalaulah ingin melacak lebih jauh lagi, praktik di mana warga (sebelum profesi jurnalis muncul) menyampaikan informasi bisa dilihat pada masa 100 SM di mana Acta Diurna, surat kabar pada masa kekaisaran Roma berupa kayu pipih yang ditempel di dinding setelah senat melakukan pertemuan, muncul.[6] Prinsip dasarSebagai suatu bentuk kegiatan jurnalistik, jurnalisme warga atau yang biasa diartikan sebagai jurnalisme publik, jurnalisme warga memiliki beberapa prinsip dasar:[5]
BentukJurnalisme warga dibagi dalam beberapa bentuk yakni:[4]
EtikaKegiatan jurnalisme warga dilakukan secara bebas oleh setiap individu, maka etika sebagai seorang individu dan jurnalis warga harus selalu dijunjung. Artinya segala hal yang ditulis atau diunggah di platform media apapun, itu akan menjadi bersifat publik. Maka sebagai seorang jurnalis warga harus dapat membedakan mana tulisan pribadi atau hanya menyangkut kepentingan penulis, dengan tulisan yang dapat dibaca atau dikonsumsi oleh khalayak atau masyarakat umum.[5] Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) merupakan salah satu batasan atau aturan bagi jurnalis termasuk jurnalis warga, karena memang belum ada satu undang-undang yang mengatur jurnalis warga ini. Undang-undang ini berisi tentang aturan akan perbuatan yang dilarang dalam internet, yaitu tentang pencemaran nama baik, pornografi, konten SARA, dan lainnya. Kategori mediaAda beberapa kategori media yang digunakan para jurnalis warga. Mulai dari media massa, seperti televisi, radio, surat kabar. Dewasa ini, para jurnalis warga dapat menyampaikan atau memberitakan berita melalui situs atau portal-portal media daring. Situs berbagi video dan gambar juga bisa menjadi media bagi jurnalis warga yang sedang naik daun.[7] KeunggulanJurnalisme warga mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya:[8]
jurnalis warga dapat menggantikan jurnalis profesional dengan menangkap peristiwa-peristiwa khusus, atau yang terjadi ditempat tertentu yang tidak memungkinkan bagi jurnalis profesional untuk meliput. Adapun beberapa keunggulan lain jurnalisme warga diantaranya yakni:[9]
KekuranganSelain memiliki keunggulan, jurnalisme warga juga memiliki beberapa kekurangan, yakni: [8]
TantanganKemunculan jurnalisme warga menjadi bukti bahwa akses media semakin terbuka bagi khalayak. Setiap orang bisa terlibat dalam kegiatan mencari, menulis, dan melaporkan informasi dalam bentuk berita, artikel, foto, video, dll. Meskipun terlihat mudah dilakukan, jurnalisme warga juga tetap memiliki tantangan:[9]
Dalam studi yang dilakukan Eddyono terhadap Kompasiana, Indonesiana, dan Ritizen, jurnalisme warga diarahkan mengikuti selera pasar. Prinsip jurnalisme warga adalah, yang utama, menyediakan ruang bagi warga yang memiliki akses dalam menyampaikan informasi apapun yang terjadi di sekitarnya dengan gaya dan sudut pandangnya yang khas, apa adanya. Tapi ketika konten-konten diarahkan sedemikian rupa sesuai selesar pasar, maka akan berdampak pada tersisihnya konten-konten yang dianggap biasa-biasa saja. Masalahnya, jika ini terus terjadi maka keragaman di ranah informasi terancam rusak. Meskipun tersedia ruang menyampaikan beragam konten, tetapi tidak semua konten akan mendapat perlakuan yang sama.[10] Persoalan lainnya adalah meskipun jurnalisme warga mengandung "jurnalisme" dalam istilahnya, tapi pelaku atau kontributornya tidak bisa disamakan dengan jurnalis profesional yang dilindungi oleh UU Pers No. 40/1999. Kontributor warga berpeluang mendapatkan hukuman yang berat jika terjadi sengketa informasi. Padahal, konten-konten dari warga dianggap penting dan mendukung bagi keberadaan jurnalisme itu sendiri. Jadi, jurnalisme warga tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang “baik-baik” saja. Selain persoalan perebutan untung di tengah rezim Search Engine Optimization (SEO) dan viral media sosial - termasuk juga persoalan hoaks, ada juga persoalan perebutan eksistensi antara jurnalis profesional dengan kontributor warga. Ada upaya membuat patuh jurnalisme warga agar mengikuti kaidah-kaidah jurnalisme profesional yang berdampak pada pergeseran nilai-nilai subjektif (terserah maunya si kontributor warga bagaimana membuat konten) menjadi sesuai dengan nilai-nilai jurnalisme profesional dan maunya pasar. Belum lagi, ada indikasi perlakuan yang diberikan oleh media yang mengelola konten warga terhadap warga yang berkontribusi dalam bentuk pendisiplinan (patuh terhadap aturan main) agar kualitas konten terpelihara dan tidak menimbulkan anarki. Dampak dari itu semua, yang mengkhawatirkan, adalah rusaknya keragaman informasi yang digadang-gadang bisa muncul dari praktik jurnalisme warga.[11] Perbedaan Jurnalisme Warga dan Jurnalisme ProfesionalDahulu, jurnalis menyebarkan informasi melalui surat kabar (koran), majalah, radio, televisi, maupun film. Kini, jurnalistik berlaku juga di internet atau media online sehingga menghadirkan hal yang baru yaitu jurnalistik online (online journalism). Mobile journalism yaitu aktivitas jurnalistik terbaru melalui mobile device atau melalui smartphone, tablet komputer, dan lain-lain. Hadirnya mobile journalism dapat mempercepat proses penulisan dan penyebarluasan informasi di media online. Jurnalis dapat menulis berita di mana saja dan kapan saja hanya melalui smartphone atau telepon genggam.[12] Selain itu, terdapat pula jurnalisme warga (citizen journalism) yang memanfaatkan blog atau media sosial untuk menyebarkan informasi sebuah peristiwa yang sedang berlangsung. Hadirnya jurnalisme warga ini dapat menjadi salah satu gambaran dari perkembangan jurnalisme yang akan datang. Masyarakat dapat dengan mudah menemukan informasi yang sedang terjadi dan membagikannya melalui media sosial.[12] Hanya dengan menggunakan smartphone, masyarakat dapat memberikan informasi melalui foto, video, ataupun audio. Meskipun demikian, citizen journalism tidak bisa disamakan dengan jurnalis profesional. Proses peliputan yang dilakukan oleh jurnalis terkadang membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menerbitkan suatu berita dan informasi, sedangkan citizen journalism tidak membutuhkan waktu lama untuk menyebarkan berita terkini. Citizen journalism hanya memberikan sedikit informasi terkait apa yang diberitakan dan informasinya pun hanya bersifat umum. Sedangkan, jurnalis mampu memberikan informasi yang lengkap karena memiliki bekal dalam pengalaman, kode etik dan identitas resmi yang mereka miliki.[12] Sehingga, dapat dikatakan bahwa jurnalis harus bisa bertahan dari banyaknya kemungkinan yang akan mematikan pekerjaan mereka. Wartawan tidak perlu bersaing dalam segi waktu dengan citizen journalism karena hal tersebut tidak memungkinkan. Wartawan dapat melakukan liputan mendalam atau deep reporting.[12] Referensi
|