Julius Tahija
Julius Tahija (13 Juli 1916 – 30 Juli 2002) dulu adalah seorang tentara, politisi, dan pebisnis asal Indonesia. Ia mendapat Orde Militer Willem atas aksinya pada kampanye Hindia Belanda saat bertugas di KNIL dan merupakan satu-satunya orang Indonesia pada masa perang yang menerima penghormatan militer tertinggi dari sebuah negara sekutu selama Perang Dunia II.[1] Ia juga pernah menduduki sejumlah posisi menteri di Negara Indonesia Timur selama Revolusi Nasional Indonesia pada tahun 1947, lalu bekerja dan mendirikan konglomerat Indrapura Group, yang kemudian menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia.[2] Awal mula dan pendidikanTahija lahir di Surabaya, yang saat itu masih merupakan bagian dari Hindia Belanda, pada tanggal 13 Juli 1916.[3] Tahija merupakan keturunan suku Ambon.[4] Berkat upaya ayahnya, Tahija kemudian dapat bersekolah di Handels School (sekolah dagang), karena awalnya ia memang ingin berkarir di bidang bisnis.[5][6] Karir militer dan politikPada tahun 1937, Tahija bergabung ke KNIL. Ia awalnya mendapat pelatihan sebagai pilot, tetapi kemudian dipindah ke pelatihan infanteri. Ia percaya bahwa pemindahan tersebut disebabkan oleh pamannya yang pro-kemerdekaan. Ia pun sempat bertugas di Aceh sebelum Perang Dunia II.[5] Perang Dunia IISetelah Perang Pasifik pecah, ia ditugaskan ke Australia untuk mengawal sekelompok warga sipil Jepang yang ditawan di sana. Setelah kampanye Hindia Belanda dimulai, Tahija (saat itu berpangkat sersan) secara sukarela memimpin sekelompok tentara Indonesia yang sedang menjalankan misi pengumpulan intelijen ke Saumlaki di Kepulauan Tanimbar. Menurut pengakuannya, ia menahan sejumlah mata-mata Jepang dan menemukan bahwa pasukan Jepang akan melakukan pendaratan di Saumlaki. Setelah membuat sejumlah parit dengan bantuan dari pejabat lokal, kelompok tersebut pun menyergap tentara Jepang yang mendarat sebelum matahari terbenam, sehingga sekitar 80 orang tentara Jepang berhasil dibunuh sebelum Tahija dan kelompoknya kembali ke hutan. Kelompok tersebut, yang anggotanya berkurang dari tiga belas orang menjadi tujuh orang, lalu berhasil mengamankan sebuah sekunar dan berlayar kembali ke Pulau Bathurst di Australia dengan 27 orang di atas sekunar, termasuk pejabat lokal dan warga sipil. Ia kemudian mendapat Orde Militer Willem pada bulan Agustus 1942 atas aksinya di Saumlaki,[7] sehingga menjadi satu-satunya orang Indonesia yang menerima penghormatan militer tertinggi dari sebuah negara sekutu selama Perang Dunia II.[1] Enam orang rekannya yang berhasil selamat juga menerima penghargaan lain.[8][9] Kemudian ia dipromosikan menjadi letnan dan bertugas di unit Charles A. Willoughby, beroperasi di belakang garis Jepang sebagai bagian dari Pasukan Khusus Z[10] – seperti Operasi Firetree pada bulan Februari 1945[11] – dan terlibat dalam sejumlah operasi intelijen ke kepulauan Indonesia, selain melatih sukarelawan baru.[12] Selama berada di Australia, ia bertemu dan mulai berkencan dengan dokter gigi kelahiran Victoria, Jean Walters. Keduanya lalu menikah[5][13] pada tahun 1946.[14] Revolusi IndonesiaSelama Revolusi Nasional Indonesia, Tahija merupakan ajudan Simon Spoor.[4] Walaupun begitu, ia tetap berhubungan baik dengan pemimpin nasionalis, terutama Sutan Sjahrir.[15] Antara tahun 1946 hingga 1949, ia juga terlibat dalam pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). Ia kemudian menjadi salah satu kandidat pemimpin pertama badan legislatif sementara NIT, namun akhirnya dikalahkan oleh Tadjuddin Noor pada pemungutan suara.[16] Ia juga pernah menjadi bagian dari Kabinet Negara Indonesia Timur, di mana ia awalnya menjabat sebagai Menteri Sosial pada kabinet pertama Nadjamuddin Daeng Malewa, dan kemudian menjabat sebagai Menteri Informasi pada kabinet kedua Malewa mulai tanggal 2 Juni hingga 11 Oktober 1947.[17] Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Ekonomi mulai tanggal 11 Oktober hingga 15 Desember 1947 pada kabinet S.J. Warrouw.[18][19] Ia lalu menjabat sebagai kepala kantor perwakilan NIT di Jakarta. Jurnalis Rosihan Anwar menulis bahwa Tahija menyetujui serangan Belanda pada tahun 1947 untuk melawan pasukan nasionalis Indonesia, namun menolak serangan Belanda pada tahun 1948.[6] Ia kemudian menghadiri Konferensi Meja Bundar sebagai perwakilan dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Setelah konferensi tersebut selesai dan kedaulatan Indonesia diakui, Tahija dipindah ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dengan pangkat letnan kolonel.[4] Selama bertugas di APRIS, yang kemudian menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, ia memberi nasehat untuk pemerintah Indonesia selama operasi militer melawan Republik Maluku Selatan dan ditugaskan di bawah Ahmad Yani dalam sebuah misi untuk membeli senjata. Ia kemudian mengundurkan diri dari tugas militer pada tahun 1951.[6] Karir bisnisSetelah keluar dari tugas militer, Tahija diperkenalkan ke Caltex oleh seorang kenalannya di Angkatan Darat Amerika Serikat. Tahija pun mengaku bahwa ia "belajar menjadi seorang manajer" di perusahaan tersebut. Hubungan Tahija dengan Sukarno kemudian memungkinkan bisnis Caltex di Indonesia tidak ikut dinasionalisasi.[20] Ia lalu ditunjuk menjadi direktur utama dari cabang Caltex di Indonesia pada tahun 1971. Pada kontrak kerjanya untuk Caltex, ia juga meminta agar diperbolehkan untuk melakukan aktivitas bisnis di luar Caltex.[21] Bisnis milik Tahija beroperasi di bawah sebuah konglomerat yang dikenal dengan nama Indrapura Group. Grup tersebut dipusatkan di sekitar Asuransi Indrapura, yang merupakan salah satu perusahaan asuransi terbesar di Indonesia pada dekade 1950-an.[22] Pada tahun 1955, Tahija mendirikan Bank Niaga melalui kemitraan dengan Soedarpo Sastrosatomo.[23][24] Pada tahun 1972, grup milik Tahija telah menjadi pemegang saham utama dari bank tersebut, hingga grup tersebut menjual 40% saham bank tersebut ke Hashim Djojohadikusumo pada tahun 1997 dengan harga Rp 605 milyar (US$232,3 juta pada saat itu).[25] Setelah Suharto menjabat sebagai presiden, Tahija tetap menjadi tokoh yang berpengaruh, dan mendapat sejumlah saham dari tambang Grasberg yang baru didirikan, karena ia lah yang mendekati Freeport-McMoRan agar mau bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia pada tahun 1965.[20] Kemudian ia memegang 10% saham Puncak Jaya Power, sebuah joint venture yang didirikan untuk menyediakan listrik bagi tambang tersebut.[26] Pada tahun 1994, Indrapura Group merupakan konglomerat dengan aset terbesar kesembilan dan pendapatan terbesar ke-25 di Indonesia. Indrapura Group juga merupakan konglomerat terbesar yang dimiliki oleh "orang Indonesia asli" dalam hal aset,[27] yakni sekitar US$2,9 milyar pada tahun 1994.[24] Selain memimpin konglomeratnya, Tahija juga pernah menjadi chairman Universitas Trisakti, menjadi wali untuk World Wildlife Fund, dan menjadi anggota dewan penasehat bisnis dari International Finance Corporation.[28] Tahija kemudian mendapat Bintang Mahaputra Nararya dari Presiden Suharto pada tahun 1994.[29] Masa tua dan kematianPada tahun 1990, Tahija dan istrinya mendirikan Yayasan Tahija, yang fokus pada kesehatan, pendidikan, kebudayaan, lingkungan, dan sosial.[30] Ia juga menjadi anggota kehormatan dari Order of Australia pada bulan Februari 2002 atas "jasanya untuk hubungan bisnis Australia-Indonesia".[31] Pada pertemuan terakhirnya dengan Anwar, Tahija menyatakan:
Tahija meninggal di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2002 di usia 86 tahun. Pada saat meninggal, ia telah memiliki dua orang anak. Ia dimakamkan di samping istrinya di Puncak, Jawa Barat.[6][32] PenghargaanDalam Negeri
Luar Negeri
Referensi
Bibliografi
|