Julius Evola
Baron Giulio Cesare Andrea Evola (Italia: [ˈɛːvola];[1] 19 Mei 1898 – 11 Juni 1974), lebih dikenal sebagai Julius Evola, adalah seorang filsuf, pelukis, dan esoteris Italia. Menurut ilmuwan Franco Ferraresi, "Pemikiran Evola dapat dianggap sebagai salah satu sistem pemikiran antiegalitarian, antiliberal, antidemokratis, dan antipopuker yang paling radikal dan konsisten di abad ke-20. Pemikirannya merupakan campuran yang tidak selalu orisinal dari berbagai ajaran dan tradisi, termasuk idealisme Jerman, doktrin Timur, tradisionalisme, dan Weltanschauung atas pergerakan revolusioner kaum konservatif yang ada di zaman antarperang. Dengan yang terakhir ini, Evola terlibat langsung secara mendalam."[2] Evola terkenal dalam komunitas-komunitas kecil. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh kepercayaan metafisika, sihir, dan supernaturalnya yang ekstrem (termasuk kepercayaan terhadap hantu, telepati, dan alkimia),[3]) serta tradisionalisme dan misogini yang ia anut. Ia mengistilahkan filsafatnya sebagai "idealisme magis". Tulisan serta teorinya banyak yang berpusat pada mistisisme dan okultisme yang aneh serta studi agama yang bersifat esoteris.[4][5][6] Aspek-aspek ini memengaruhi kaum okult serta esoteris. Evola juga menghimbau pemerkosaan (di antara sejumlah bentuk dominasi laki-laki di atas perempuan yang lain) karena ia memandang pemerkosaan sebagai "ekspresi alamiah hasrat laki-laki". Pandangan misoginis ini berakar dari pandangan kanan ekstremnya mengenai peran gender, yang memaksakan ketundukan penuh perempuan.[4][5][6][7] Sejarawan Aaron Gillette menggambarkan Evola sebagai "salah satu rasis fasis paling berpengaruh dalam sejarah Italia".[8] Evola mengagumi kepala SS, Heinrich Himmler, yang pernah bertemu dengannya satu kali.[8] Selama Perang Dunia II, Evola bekerja di Sicherheitsdienst.[6] Dalam pengadilannya pada tahun 1951, Evola menolak dipanggil sebagai seorang fasis dan menyatakan dirinya adalah seorang "superfasis". Tentang hal ini, sejarawan Elisabetta Cassina Wolff menulis bahwa, "Belum pasti apakah Evola menempatkan dirinya di atas atau melampaui fasisme."[9] Evola adalah "ideolog utama" dari teroris radikal sayap kanan setelah Perang Dunia II.[10] Hingga saat ini, ia masih memengaruhi gerakan-gerakan tradisionalis dan neofasis kontemporer.[10][11][12][13] KehidupanGiulio Cesare Andrea Evola lahir di Roma, di sebuah keluarga aristokrat minor yang berasal dari Sisilia. Ia adalah seorang baron. Tidak banyak yang diketahui mengenai masa kecilnya, dan ia sendiri menganggap masa kecilnya tidak penting. Evola belajar teknik di Roma, akan tetapi ia tidak menyelesaikannya karena ia "tidak ingin disamakan dengan cara apa pun, dengan pengakuan akademik borjuis dan gelar seperti doktor dan insinyur."[4][14] Masa remajanya dihabiskan dengan melukis dan sastra. Evola menganggap melukis sebagai salah satu bakat alamiahnya. Ia banyak membaca sastra, termasuk Oscar Wilde dan Gabriele D'Annunzio. Ia juga mengenal filsuf-filsuf seperti Friedrich Nietzsche dan Otto Weininger. Filsuf lain yang memengaruhi masa awal Evola termasuk Carlo Michelstaedter dan Max Stirner.[15] Evola turut berperang dalam Perang Dunia I sebagai tentara divisi artileri di puncak Asiago. Ia tertarik dengan gerakan seni avant-garde, dan setelah perang, ia juga sempat tertarik dengan gerakan Futurisme oleh Filippo Tommaso Marinetti. Ia kemudian menjadi dikenal orang bergerak dalam gerakan Dadaisme di Italia, melalui karya-karya lukisnya, puisinya, serta kontribusinya di dalam sebuah jurnal yang hanya bersiar sebentar, bernama Revue Bleu. Pada tahun 1922, Evola menyimpulkan bahwa seni avant-garde sudah menjadi komersial. Ia juga merasa konvensi akademis terlalu keras. Berdasarkan kedua alasan tersebut, Evola mengurangi fokusnya pada ekspresi artistik seperti lukisan dan puisi.[16]Templat:Primary inline Evola meninggal pada 11 Juni 1974 di Roma.[17] KaryaAgama KristenPada tahun 1928, Evola mengkritik agama Kristen dengan menuliskan "Pagan Imperialism" (bahasa Indonesia: Imperialisme Pagan). Di dalam tulisan itu, ia menggambarkan suatu cara untuk mengubah fasisme menjadi suatu sistem yang konsisten dengan nilai-nilai Romawi kuno dan tradisi misteri purba. Evola mengatakan bahwa fasisme sehatnya menjadi sebuah wahana untuk mengembangkan kembali sistem kasta dan aristokrasi yang dulu ada. Meskipun Evola menggunakan istilah "fasisme" di dalam tulisannya, serangannya terhadap Gereja Katolik kemudian dikritik oleh rezim fasis Italia dan Vatikan. A. James Gregor mengatakan bahwa tulisan tersebut, pada masanya, merupakan serangan terhadap fasisme; akan tetapi, Benito Mussolini menggunakan teks itu untuk mengancam Vatikan dengan "fasisme antigereja".[4][18] Mengenai serangan Evola ini, sebuah jurnal sayap kanan Katolik yang didanai oleh Vatikan, berjudul Revue Internationale de Sociétés Secretètes, mempublikasikan sebuah artikel berjudul "Un Sataniste Italien: Julius Evola" pada April 1928.[6] Buku The Mystery of the Grail (bahasa Indonesia: Misteri Cawan) yang ditulis Evola membantah interpretasi Kristen mengenai Cawan Suci. Evola menulis bahwa Cawan tersebut "menyimbolkan suatu prinsip kekuatan yang transenden dan membuat immortal, yang berhubungan dengan kondisi primordial ... misteri Cawan adalah misteri awal mula pejuang." Evola berpendapat bahwa kaum Ghibelline, yang melawan kaum Guelph untuk menaklukkan Italia Utara dan pusat di abad ke-13, memiliki pengaruh sisa tradisi orang Keltia dan Nordik prakristen di dalam diri mereka. Hal ini yang kemudian dijadikan perwakilan interpretasi Evola tentang mitos Cawan Suci. Ia juga mengatakan bahwa kemenangan kaum Guelph atas kaum Ghibelline menunjukkan kemunduran sistem kasta karena kasta pedagang kemudian mengambil alih kasta pejuang.[19] Dalam epilog teks tersebut, Evola mengatakan bahwa buku fiksi The Protocols of the Elders of Zion, tidak peduli otentik atau tidak, merupakan representasi modernitas yang baik.[20] Sejarawan Richard Barber mengatakan bahwa "Evola menggabungkan retorika, prasangka, keilmuan, dan politik, menjadi suatu versi masa kini dan masa depan yang aneh. Akan tetapi dalam prosesnya, ia juga menjadi orang pertama yang menggabungkan hal-hal esoteris dan teori konspirasi, yang kemudian akan menjadi karakteristik tulisan-tulisan berikutnya tentang Cawan Suci."[20] BuddhismeDalam "The Doctrine of Awakening" (bahasa Indonesia: Doktrin Pencerahan), Evola mengatakan bahwa Kanon Pāli dapat dianggap mewakili Buddhisme murni.[21] Tentang Buddhisme, Evola berpendapat bahwa agama itu bersifat antidemokratis. Evola percaya bahwa Buddhisme menggambarkan inti tradisi "Arya" yang kemudian telah rusak atau hilang di dunia Barat. Ia juga mengatakan bahwa Buddhisme dapat diinterpretasikan untuk menunjukkan superioritas kasta pejuang.[21] Harry Oldmeadow mengatakan bahwa pemikiran Evola tentang Buddhisme memiliki tanda-tanda pengaruh Nietzsche,[22] tetapi Evola mengkritik prasangka antiasketik Nietzsche.[21] Buku itu "diterima secara resmi oleh masyarakat [kitab] Pāli" dan diterbitkan oleh sebuah penerbit Orientalis yang memiliki reputasi baik.[21] Interpretasi Evola tentang Buddhisme sebagaimana dituliskan dalam artikelnya "Spiritual Virility in Buddhism" (bahasa Indonesia: Kekuatan Spiritual di dalam Buddhisme) berlawanan dengan pandangan seorang Orientalis pasca-Perang Dunia II, Giuseppe Tucci, yang membenarkan pendapat bahwa Buddhisme mengajarkan kebaikan universal.[23] Arthur Versluis mengatakan bahwa pemikiran Evola tentang Buddhisme hanyalah semacam wahana bagi teori-teorinya sendiri, tidak akurat mengenai Buddhisme itu sendiri, dan ini juga berlaku bagi pemikiran Evola tentang Hermetikisme.[24] Nanavira Thera terinspirasi menjadi bhikkhu setelah membaca "Doktrin Pencerahan" Evola, pada tahun 1945, ketika ia sedang dirawat di rumah sakit di Sorrento.[21] ModernitasBuku Evola berjudul "Revolt Against the Modern World" (bahasa Indonesia: Revolusi Melawan Dunia Modern) adalah sebuah karya yang mengedepankan mitologi Zaman Keemasan purba. Dalam buku ini, Evola menggambarkan bayangannya tentang masyarakat tradisional yang menurutnya ideal. Evola mengatakan bahwa modernitas adalah suatu gejala kemunduran yang serius dari masyarakat yang ideal. Ia mengatakan bahwa di dalam zaman keemasan tersebut, kekuasaan agama dan kekuasaan temporal bersatu. Ia menulis bahwa masyarakat tidak didirikan di atas pemerintahan para pendeta, melainkan diperintah kasta pejuang yang memiliki kekuatan spiritual. Dalam mitologi, Evola melihat bukti superioritas dunia Barat di atas dunia Timur. Ia juga mengklaim bahwa kaum elite tradisional mampu mengakses kekuasaan dan pengetahuan lewat semacam hierarki sihir yang berbeda dengan bentuk-bentuk sihir rendah yang "penuh takhayul dan kebohongan".[4] Evola menekankan bahwa "bentuk-bentuk, institusi, serta pengetahuan nonmodern" adalah hal yang diperlukan untuk menciptakan "pembaruan yang nyata ... bagi mereka yang masih mampu menerimanya."[24] Karya ini kemudian "segera diakui oleh Mircea Eliade dan intelektual lain yang dikatakan memajukan konsep-konsep yang berhubungan dengan Tradisi."[9] Eliade adalah salah seorang teman dekat Evola yang bersimpati terhadap fasisme; ia mendukung Garda Besi fasis di Rumania.[6] Evola menyadari pentingnya mitos sejak membaca Georges Sorel, salah satu tokoh intelektual penting dalam fasisme.[6] Hermann Hesse mengatakan bahwa "Revolt Against the Modern World" "amat berbahaya".[19] E. C. Wolff, dalam bukunya "Ride the Tiger", mengatakan bahwa "Evola berargumen bahwa pertempuran melawan modernitas sudah kalah. Kini yang dapat dilakukan 'lelaki sejati' hanyalah menunggangi macan modernitas dengan sabar." Evola menuliskan bahwa pertarungan itu memang sudah berakhir, akan tetapi ia tidak "mengabaikan potensi bahwa akan ada aksi di masa depan." Ia mengatakan bahwa seseorang harus siap mengintervensi ketika macan tersebut "sudah capek berlari".[9] Goodrick-Clarke menuliskan bahwa "Evola membuat konsep ideal akan seorang 'nihilis aktif' yang siap bertindak melawan dekadensi modern dengan kekerasan."[11] Menurut seorang profesor Kajian Wilayah Eropa, Paul Furlong, Karya ini menggambarkan pandangan Evola bahwa kaum elite potensial harus melindungi diri mereka sendiri dari modernitas dan menggunakan "anarkisme sayap kanan" untuk melawannya.[4] Tulisan lainDalam kumpulan tulisan yang terbit setelah kematiannya berjudul "Metaphysics of War" (bahasa Indonesia: Metafisika Perang), Evola (bersesuaian dengan tokoh revolusioner konservatif, Ernst Jünger) mengeksplorasi pendapat bahwa perang dapat menjadi sebuah pengalaman yang memenuhi hasrat spiritual. Ia menyatakan bahwa seorang pejuang harus memiliki tujuan transendental.[25] Nicholas Goodrick-Clarke menulis bahwa esai 1945 Evola yang berjudul "American 'Civilization'" (bahasa Indonesia: 'Peradaban' Amerika) menggambarkan Amerika Serikat sebagai "tahap terakhir kemunduran Eropa menjadi 'ketiadaan interior' individualisme, konformitas, dan vulgaritas kosong, di bawah kedok universal untuk mencari uang." Menurut Goodrick-Clarke, Evola berargumen bahwa Amerika Serikat "menggabungkan filsafat kemajuan yang mekanistik dan rasional dengan cakrawala impian kekayaan yang tidak penting sehingga mengubah dunia menjadi sebuah mal perbelanjaan raksasa".[11] Okultisme and esoterismeDi sekitar tahun 1920, minat Evola berkembang pada studi-studi spiritualitas, transendensi, dan "supra-rasional". Ia mulai membaca berbagai teks-teks esoteris dan secara perlahan mulai mendalami hal-hal okult, alkimia, sihir, serta studi wilayah Timur (Oriental studies), terutama yoga Tantra Tibet. Evola rajin naik gunung dan mengatakan bahwa naik gunung adalah pengalaman yang penuh inspirasi spiritual. Setelah kembali dari perang, Evola juga mulai bereksperimen dengan zat halusinogen dan sihir. Saat umurnya 23 tahun, Evola mempertimbangkan bunuh diri. Ia kemudian mengatakan bahwa ia tidak jadi bunuh diri setelah mendapatkan wahyu ketika membaca sebuah teks Buddhis kuno yang membahas tentang melepaskan semua identitas kecuali transendensi absolut.[4] Evola kemudian menuliskan "The Doctrine of Awakening", yang ia jadikan sebagai pembayaran hutangnya kepada Buddhisme yang telah menyelamatkan dirinya dari kematian.[21] Evola rajin menulis tentang mistisisme Timur, Tantra, Hermetikisme, mitos Cawan Suci, serta esoterisme Barat.[4] Egyptologis Jerman serta peneliti esoteris Florian Ebeling menyatakan bahwa buku "The Hermetic Tradition" karya Evola merupakan "salah satu karya tentang Hermetikisme yang teramat penting" bagi kaum esoteris.[26] Evola secara khusus berfokus pada teks karya Cesare della Riviera, "Il Mondo Magico degli Heroi" yang kemudian ia publikasikan kembali dalam bahasa Italia modern. Ia berpendapat bahwa teks Riviera konsisten dengan tujuan "sihir tinggi", yaitu mengubah kembali manusia bumi menjadi "manusia dewa" yang transenden. Menurut Evola, sains Tradisional yang "tak kenal waktu" diekspresikan dengan baik dalam teks ini, meskipun ada beberapa hal yang sengaja "ditutupi" untuk menghindari tuduhan-tuduhan dari Gereja.[27] Meskipun Evola menolak interpretasi alkimia Carl Jung, Jung sendiri menggambarkan "The Hermetic Tradition" sebagai "penggambaran filsafat hermetik yang apik".[27] Dalam "Hegel and the Hermetic Tradition" (bahasa Indonesia: Hegel dan Tradisi Hermetik"), filsuf Glenn Alexander Magee lebih menyukai interpretasi Evola ketimbang interpretasi Jung.[28] Pada tahun 1988, sebuah jurnal yang secara khusus membahas tentang pemikiran hermetis mempublikasikan sebuah bagian dari buku Evola dan mengatakan bahwa buku tersebut bersifat "Luciferian".[6] Evola kemudian mengakui bahwa ia bukan seorang Buddhis dan tulisannya tentang Buddhisme bertujuan untuk menyeimbangkan karya awalnya tentang tantra Hindu.[21] Minat Evola tentang tantra diperkuat dengan korespondensi dengan John Woodroffe.[29] Evola tertarik dengan aspek aktif tantra dan klaimnya yang dapat memberikan jalur praktis menuju pengalaman spiritual, di samping pendekatan-pendekatan lain menuju spiritualitas Timur yang lebih "pasif".[30] Dalam Tantric Buddhism in East Asia (bahasa Indonesia: Buddhisme Tantrik di Asia Timur), Richard K. Payne, Dekan Institut Studi Buddhis, mengatakan bahwa Evola memanipulasi Tantra untuk menjustifikasi kekerasan sayap kanan dan menunjukkan hal ini dengan penekanan terhadap "kekuatan" dalam The Yoga of Power (bahasa Indonesia: Yoga Kekuatan).[31] Evola menyarankan agar para "individu berbeda" yang mengikuti Jalur Tangan Kiri menggunakan kekuatan seksual kasar untuk melawan dunia modern. Bagi Evola, "pahlawan-pahlawan kuat" ini, selain tega, juga memiliki kekuatan untuk memimpin dan melakukan aksi-aksi "Dionisian" yang secara konvensional dipandang immoral.[5] Menurut A. James Gregor, definisi Evola mengenai spiritualitas dapat ditemukan dalam "Meditations on the Peaks" (bahasa Indonesia: Meditasi di Puncak), yaitu "apa pun yang berhasil diaktualisasikan dan diterjemahkan menjadi semacam rasa superioritas yang dialami di dalam diri dan perilaku yang mulia yang dilakukan oleh tubuh."[18] Goodrick-Clarke menulis bahwa "spiritualitas kuat Zaman Baru Evola amat menarik bagi mereka yang menolak dunia demokrasi, kapitalisme, multirasialisme, dan teknologi yang menyamaratakan semua. Dunia ini ada pada awal abad ke-21. Perasaan mereka tentang kekacauan budaya dapat diobati oleh ide-ide Evola tentang pembaruan total."[11] Thomas Sheehan menulis bahwa "membaca Evola adalah seperti berjalan melalui hutan mitologi, pseudoetnologi, dan mistisisme tradisional yang menarik, yang dapat menyegarkan setiap orang California yang tertarik tentang "kesadaran"."[32] Idealisme magisThomas Sheehan menulis bahwa "karya filosofis pertama Evola dari tahun 20an berfokus pada membentuk kembali neoidealisme, dari filsafat Ruh dan pikiran Absolut menjadi filsafat "individu dan aksi absolut"."[33] Evola mengembangkan doktrin "idealisme magis", yaitu bahwa "Ego harus memahami bahwa semua hal yang tampaknya nyata di luar Ego itu sendiri, sebenarnya hanyalah ilusi yang disebabkan oleh kekurangannya."[33] Bagi Evola, kesatuan dengan "individu absolut" yang terus meningkat ini konsisten dengan kebebasan tak terbatas, dan dengan demikian dengan kekuatan tak terbatas.[4] Dalam karyanya tahun 1925, berjudul "Essays on Magical Idealism" (bahasa Indonesia: Esai tentang Idealisme Magis), Evola menyatakan bahwa "Tuhan tidak ada. Ego harus menciptakan tuhan dengan menyatakan diri sendiri memiliki sifat ketuhanan."[33] Menurut Sheehan, Evola menemukan kekuatan mitologi metafisik ketika si sedang mengembangkan teori-teorinya. Dengan demikian, Evola lebih menyukai penggunaan intuisi intelektual supra-rasional di atas pengetahuan diskursif. Dalam pandangan Evola, pengetahuan diskursif memisahkan manusia dari Being.[33] Sheehan mengatakan bahwa posisi ini dipegang juga dalam beberapa interpretasi filsuf Barat seperti Platon, Thomas Aquinas, dan Martin Heidegger, yang diperkuat oleh Evola.[33] Evola kemudian menulis:
Evola mengembangkan doktrin "dua alam": alam natural dan alam primordial, "dunia 'Being'". Ia percaya bahwa "dua alam" tersebut memberikan bentuk dan sifat bagi benda yang lebih rendah dan menciptakan "rantai Being" hierarkis.[33] Evola menggambarkan "kekuatan spiritual" sebagai orientasi penanda terhadap prinsip transenden yang ia postulasikan ini.[33] Kemudian, ia berpendapat bahwa Negara harus mencerminkan "pengaturan dari atas" ini dan melakukan pembedaan hierarkis atas individu tergantung dengan "preformasi organik" mereka. "Preformasi organik" dipahami sebagai hal yang "mengumpulkan, menjaga, dan merawat bakat-bakat dan kualifikasi seseorang sebagai fungsi-fungsi penentu."[33] Kelompok UrEvola diperkenalkan kepada esoterisme oleh Arturo Reghini, seorang pendukung awal fasisme. Reghini mencoba untuk menciptakan "sihir berbudaya" yang berlawanan dengan agama Kristen, dan mengenalkan Evola kepada seorang tradisionalis, René Guénon. Pada tahun 1927, Reghini dan Evola, bersama dengan esoteris Italia lainnya, mendirikan Gruppo di Ur (bahasa Indonesia: Kelompok Ur).[4] Tujuan kelompok ini adalah untuk mencoba membawa identitas individual masing-masing anggota ke dalam kondisi kekuatan dan kesadaran superhuman yang mampu mengeluarkan pengaruh magis ke dunia. Kelompok ini menggunakan berbagai teknik dari teks-teks Buddhis, Tantra, dan teks Hermetis langka.[34] Mereka berupaya untuk menciptakan "jiwa" bagi gerakan fasis yang waktu itu baru muncul melalui penghidupan kembali agama Romawi Kuna dan juga berusaha untuk memengaruhi rezim fasis melalui esoterisme.[4][35] Artikel tentang okultisme dari Kelompok Ur kemudian dipublikasikan dalam Introduction to Magic (bahasa Indonesia: Pengenalan Sihir).[18][29] Di sisi lain, dukungan Reghini terhadap Freemasonry kemudian dipermasalahkan oleh Evola dan mereka putus hubungan pada tahun 1928.[4] Reghini sendiri kemudian memutuskan hubungan dengan Evola dan menuduhnya telah melakukan plagiasi terhadap pemikiran Reghini dalam bukunya, "Pagan Imperialism".[6] Evola sendiri mempermasalahkan Reghini mengenai publikasi "Pagan Imperialism" yang terlalu cepat.[4] Karya-karya Evola selanjutnya banyak berhutang dari tulisan René Guénon berjudul "Crisis of the Modern World" (bahasa Indonesia: Krisis Dunia Modern),[24] meskipun ia banyak berselisih dengan Guénon mengenai masalah hubungan antara pejuang dan pendeta.[4] Misogini dan sihir seksualJulius Evola percaya bahwa kekuatan yang lebih tinggi, yang harusnya ada pada seorang lelaki dengan ras tertentu, tidak dimilki oleh perempuan dalam ras yang sama. Ia mengatakan bahwa "hubungan yang benar" antara kedua jenis kelamin harus disertai dengan pengakuan perempuan bahwa statusnya "tidak setara" dengan laki-laki.[4] Pada tahun 1925, Evola menulis artikel berjudul "La donna come cosa" (bahasa Indonesia: Perempuan sebagai Benda).[10] Evola kemudian mengutip dari Joseph de Maistre yang mengatakan bahwa "Perempuan tidak bisa menjadi superior, kecuali sebagai perempuan; ketika ia mencoba menjadi laki-laki, ia hanyalah seekor monyet."[36] Evola percaya bahwa pembebasan perempuan adalah semacam "pencabutan hak perempuan menjadi perempuan".[37] Ia meyakini bahwa perempuan "dapat berpartisipasi secara tradisional dalam ordo hierarkis yang suci hanya dalam bentuk yang diperantarakan oleh hubungannya dengan laki-laki."[6] Evola meyakini praktik sati, yang masuk dalam idealisasinya mengenai relasi gender, adalah sebentuk pengorbanan yang menggambarkan penghormatan perempuan terhadap tradisi patriarki.[38] Ia mengatakan bahwa bagi perempuan yang "murni dan feminin", "laki-laki tidak dianggap hanya sebagai suami atau pecinta, tetapi juga sebagai penguasanya."[7] Evola meyakini bahwa perempuan akan menemukan "kehebatan nyata" mereka apabila mereka berlaku "sepenuhnya tunduk kepada laki-laki."[6] Evola menganggap matriarki dan agama-agama dewi adalah gejala kemunduran. Ia sendiri lebih menyukai etos pejuang yang hipermaskulin.[39] Evola amat terpengaruh oleh Hans Blüher. Blüher adalah seorang pemrakarsa konsep Männerbund sebagai model "Ordo" ultrafasisnya.[6] Goodrick-Clarke mencatat juga pengaruh buku misoginis karya Otto Weininger yang berjudul "Sex and Character" pada dualisme spiritualitas laki-perempuan Evola. Menurut Goodrich-Clarke, "Penghargaan Evola pada spiritualitas kuat berakar pada karya Weininger yang banyak diterjemahkan pada akhir Perang Dunia I."[11] Tidak seperti Weininger, Evola percaya bahwa perempuan harus ditaklukkan dan tidak diabaikan.[6] Evola menyatakan homoseksualitas tidak berguna bagi tujuannya. Ia tidak mengabaikan sadomasokisme, selama sadisme dan masokisme "menjadi penguat elemen yang mungkin hadir dalam esensi terdalam eros.[6] Hal ini kemudian memungkinkan "pembesaran, dalam cara yang transenden dan mungkin estatik, kemungkinan berhubungan seksual."[6] Evola meyakini bahwa perempuan "bermain-main" dengan laki-laki; perempuan mengancam maskulinitas mereka dan mengajak mereka ke dalam semacam "pegangan" dengan seksualitas mereka.[8] Ia menulis, "Seharusnya perempuan tidak diharapkan kembali menjadi perempuan ... ketika laki-laki sendiri hanya memiliki sedikit kekuatan sejati."[7] Ia juga bersedih bahwa "laki-laki, alih-alih mengendalikan seks, malah terkendalikan oleh seks dan mencari-cari ke sana sini seperti orang mabuk."[5] Ia percaya bahwa dalam Tantra, dan dalam sihir seks (yang dianggapnya sebagai sebentuk strategi kekerasan), terdapat semacam cara untuk melawan dunia Barat yang "tidak maskulin".[5] Menurut Annalisa Merelli, Evola "bahkan membenarkan pemerkosaan" karena ia memandang perkosaan "sebagai semacam ekspresi alamiah dari hasrat laki-laki."[7] Evola juga mengatakan bahwa "pemerkosaan para perawan" dan "pencambukan perempuan" adalah semacam jalan menuju "peningkatan kesadaran",[6] asalkan praktik-praktik tersebut mencapai intensitas yang diperlukan untuk menghasilkan "iklim psikis liminal".[6] Ia menulis: "Secara garis besar, tidak ada hal yang lebih menyentuh bagi laki-laki daripada perasaan lelah seorang perempuan di bawah taklukannya."[7] Evola menerjemahkan tulisan "Sex and Character" oleh Weininger ke dalam bahasa Italia. Ia tidak puas hanya menerjemahkan, dan kemudian menulis pula tulisan "Eros and the Mysteries of Love: The Metaphysics of Sex" (bahasa Indonesia: Eros dan Misteri Cinta: Metafisika Seks). Di dalam tulisan tersebut, ia menjabarkan panjang lebar pandangannya mengenai seksualitas.[4][6] Arthur Versluis mengatakan bahwa karya ini adalah karya Evola yang paling menarik, di samping "Revolt Against the Modern World".[24] Buku ini masih populer di antara penganut Zaman Baru.[40] Rasisme dan Aryanisme mistisKetidaksetujuan Evola tentang konsep standar biologi mengenai ras berakar pada elitisme aristokratiknya. Ia menganggap bahwa ideologi Völkisch Nazi kurang cukup membedakan kaum aristokrat dengan "orang biasa".[6] Menurut Furlong, Evola mengembangkan "hukum regresi kasta" di dalam "Revolt Against the Modern World" dan tulisan-tulisan lain tentang rasisme sejak periode tahun 1930an dan Perang Dunia II. Dalam pandangan Evola, "kekuasaan dan peradaban bergerak dari satu kasta ke kasta lainnya: pemimpin suci, bangsawan pejuang, kaum borjuis (ekonomi, pedagang), dan budak."[4] Furlong menjelaskan: "bagi Evola, inti superioritas rasial terletak pada kualitas spiritual kasta yang lebih tinggi, yang muncul dalam hal-hal fisik maupun budaya. Akan tetapi, hal-hal ini tidak ditentukan oleh mereka. Hukum regresi kasta menempatkan rasisme pada inti filsafat Evola. Ia berpendapat bahwa predominansi ras yang lebih rendah ada dalam demokrasi massal modern."[4] Sebelum akhir Perang, Evola sering menggunakan istilah "Arya" untuk mewakili kaum bangsawan, yang baginya merupakan kaum yang penuh dengan spiritualitas tradisional.[4] Wolff mencatat bahwa Evola tampaknya berhenti menulis tentang ras pada tahun 1945, dan ia menambahkan bahwa tema-tema intelektual berbagai tulisan Evola secara umum tidak berubah. Evola terus menulis tentang elitisme dan kebenciannya atas orang lemah. Menurut Wolff: "Doktrinnya tentang ras super Arya-Romawi hanya disampaikan kembali sebagai doktrin "pemimpin manusia" ... tidak lagi mereferensikan SS, akan tetapi mereferensikan para ksatria Teutonik dari Ksatria Templar. Hal ini sudah disebut dalam Rivolta.[9] Evola juga menulis tentang "ras non-Eropa yang inferior".[6] Peter Merkl mengatakan bahwa "Evola tidak pernah melepaskan betapa bernilainya keturunan." Evola menulis bahwa "harus ada semacam kesadaran seimbang dan kemuliaan ras" dalam zaman yang "menempatkan pengagungan orang negro dan ras lain, psikosis antikolonial, dan fanatisme integrationis menjadi fenomena yang berjalan beriringan dengan kemunduran Eropa dan dunia Barat."[41] Meskipun ia tidak sepenuhnya menolak percampuran ras, akan tetapi Evola pada tahun 1957 menuliskan sebuah artikel yang menggambarkan kemunduran Amerika Serikat yang dianggapnya lebih cepat, akibat pengaruh orang "negro" dan perlawanan terhadap segregasi. Furlong mencatat bahwa artikel ini adalah salah satu artikel yang "ditulis secara paling ekstrem dan menggambarkan intoleransi terhadap ras lain yang membuat kita tidak ragu lagi akan prasangka mendalamnya terhadap orang kulit hitam."[4] Mistisisme nasionalEvola amat menghargai karya teoris ras Jerman, Ludwig Ferdinand Clauss, untuk interpretasi spiritualnya mengenai berbagai psikologi ras. Seperti Evola, Clauss juga percaya bahwa ras fisik dan ras spiritual akan berpisah sebagai hasil dari percampuran ras.[8] Rasisme Evola juga termasuk rasisme tubuh, pikiran, dan jiwa; meskipun ia lebih memberikan tekanan pada faktor yang terakhir, menulis bahwa "ras hanya mundur ketika jiwanya gagal."[11] Seperti René Guénon, Evola percaya bahwa kemanusiaan sedang hidup dalam Kali Yuga dalam tradisi Hindu. Kali Yuga adalah Zaman Gelap yang berisi kerakusan materialistik yang tidak terbatas. Ia berargumen bahwa fasisme Italia dan Nazisme mewakili harapan bahwa ras Arya "dari luar bumi" akan tercipta kembali.[42] Ia menggunakan mitologi ras super dan kemunduran ras tersebut, terutama orang-orang Hyperborea, dan mengatakan bahwa jejak-jejak pengaruh Hyperborea dapat dirasakan dalam manusia Indo-Eropa. Ia merasakan bahwa lelaki Indo-Eropa berevolusi dari ras-ras mitologis yang lebih tinggi tersebut.[4] Gregor kemudian mencatat bahwa ada beberapa kritik kontemporer yang menentang teori Evola: "Dalam salah satu jurnal teori fasisme yang paling penting, kritikus Evola menunjukkan bahwa banyak orang Nordik-Arya, belum lagi orang Arya Mediterania, yang tidak berhasil menunjukkan sifat-sifat Hyperborea mereka. Mereka malah banyak yang terang-terangan menunjukkan materialisme mereka, sensualitas mereka, ketidakpedulian mereka terhadap kesetiaan dan pengorbanan, juga kerakusan mereka yang tiada akhir. Bagaimana mereka berbeda dari ras-ras yang "inferior", dan mengapa seseorang harus menyukai mereka?"[18] Mengenai hubungan antara "rasisme spiritual" dan rasisme biologis, Evola memberikan sudut pandang berikut ini, yang dikatakan pseudosains oleh Furlong:
AntisemitismeEvola mendukung pandangan Otto Weininger tentang orang Yahudi. Meskipun Evola memandang orang Yahudi sebagai elemen perusak masyarakat dan antitradisional, ia juga menggambarkan antisemitisme Adolf Hitler, yang lebih fanatis, sebagai semacam idée fixe yang merusak reputasi Reich Ketiga.[11] Pandangan Evola mengenai orang Yahudi tidak seperti Nazisme yang menekankan konsepsi rasial orang Yahudi sebagai "perwakilan ras biologis", akan tetapi Evola lebih memandang orang Yahudi sebagai "pembawa semacam pandangan dunia ... jiwa [yang] mewakili bagian-bagian paling 'parah' dan 'paling mundur' dari modernitas: demokrasi, egalitarianisme, dan materialisme."[9] Evola berargumen bahwa The Protocols of the Elders of Zion, terlepas dari buku itu benar ada atau tidak, mencerminkan kondisi modernitas secara tepat.[11][20] Ia percaya bahwa buku itu "mengandung rencana untuk perang okult, yang bertujuan untuk menghancurkan secara total orang-orang non-Yahudi dalam tradisi, aristokrasi, dan hierarki apa pun; serta penghancuran seluruh nilai-nilai spiritual, moral, dan agama."[43] Ia memberikan kata pengantar pada edisi kedua berbahasa Italia buku itu, yang diterbitkan oleh fasis Giovanni Preziosi pada tahun 1938.[43][44] Setelah temannya, Corneliu Zelea Codreanu (pimpinan Garda Besi fasis Rumania) dibunuh, Evola menyampaikan ketakutannya akan sebuah "tirani Israeli yang talmudik."[11] Akan tetapi, Evola meyakini bahwa orang Yahudi hanya memiliki "kekuatan" ini sebagai akibat dari "kemunduran" orang Eropa dalam menghadapi modernitas.[6] Ia juga mengakui bahwa seseorang bisa menjadi orang "Arya", namun memiliki jiwa "Yahudi"; dan orang "Yahudi" juga bisa memiliki jiwa "Arya".[45] Dalam pandangan Evola, Otto Weininger dan Carlo Michelstaedter adalah orang Yahudi yang "cukup herois, asketis, dan sakral" untuk masuk ke kategori orang "Yahudi" yang berjiwa "Arya".[18] FasismeEvola pernah dinyatakan sebagai "salah satu rasis fasis paling berpengaruh dalam sejarah Italia." Evola mengembangkan argumen kompleks yang berhubungan erat tentang orientasi spiritual penulis Tradisional seperti René Guénon dan masalah-masalah politik sayap kanan Otoriter di Eropa.[4] Karya Evola yang paling pertama terbit adalah sebuah tulisan antifasis pada tahun 1925. Dalam karya ini, Evola mengatakan bahwa gerakan fasis Italia adalah "revolusi yang pantas ditertawakan", berbasis pada sentimen kosong dan permasalahan materialistik. Ia setuju dengan orientasi antiborjuis Mussolini, dan sasarannya untuk membangun orang Italia menjadi pejuang keras, akan tetapi mengkritik populisme fasis, politik partai, dan elemen-elemen kiri yang ia pandang ada di dalam rezim fasis. Evola menganggap Partai Fasis Mussolini tidak memiliki fondasi budaya atau spiritual. Ia sangat ingin mengisi kekosongan itu, agar lebih cocok dengan konsepsi idealnya mengenai budaya Übermensch yang menurutnya menjadi karakteristik kemuliaan Eropa prakristen.[5] Ia menyampaikan pula sentimen antinasionalis dengan mengatakan bahwa untuk menjadi "manusia sejati", seseorang harus "melepaskan kontaminasi persaudaraan" dan "membebaskan diri" dari perasaan bahwa seseorang bersatu dengan orang lain "karena darah, rasa sayang, negara, atau takdir manusia." Ia juga tidak setuju dengan gerakan futurisme yang didekati oleh fasisme Italia.[18] Evola kemudian meluncurkan jurnal La Torre (bahasa Indonesia: Menara), yang menyampaikan ide-idenya dan mengadvokasikan fasisme yang lebih elitis.[8] Pada masanya, ide-ide Evola tidak diterima dengan baik oleh arus utama fasisme.[19] Ia pernah disebut sebagai "intelektual fasis",[46] "tradisionalis radikal",[47] "antiegalitarian, antiliberal, antidemokratis, dan antipopuler",[48] serta sebagai "filsuf utama dalam gerakan neofasis Eropa."[48] MussoliniPara sejarawan berselisih mengenai alasan utama Benito Mussolini mendukung ideologi rasis pada tahun 1938. Ada sejarawan yang menulis bahwa Mussolini lebih memerhatikan masalah politik ketimbang ideologi ketika dia mencanangkan legislasi antisemitis di Italia.[49] Sejarawan lain menolak argumen bahwa ideologi ras fasisme Italia hanya dapat diatribusikan dengan pengaruh Nazi.[50] Interpretasi yang lebih baru menyatakan bahwa Mussolini merasa frustrasi karena lambatnya pergerakan transformasi fasis dan pada tahun 1938 dia mencanangkan rencana-rencana yang semakin radikal, termasuk ideologi ras. Aaron Gillette menulis bahwa "rasisme akan menjadi kekuatan kunci yang mendorong penciptaan manusia fasis baru, uomo fascista."[51] Mussolini membaca "Synthesis of the Doctrine of Race" di bulan Agustus 1941. Ia bertemu dengan Evola untuk memujinya. Evola kemudian mengingat bahwa Mussolini menemukan sebentuk rasisme fasis yang hanya dimiliki orang Romawi di dalam karyanya. Bentuk rasisme fasis ini berbeda dengan bentuk rasisme fasis di Jerman Nazi. Evola kemudian meluncurkan jurnal minor berjudul Sangue e Spirito (Darah dan Jiwa), dengan dukungan Mussolini. Meskipun ia tidak selalu setuju dengan para teoris ras Jerman, ia pergi ke Jerman pada Februari 1942 dan mendapatkan dukungan untuk kolaborasi Jerman dalam Sangue e Spirito, dari "figur-figur kunci hierarki ras Jerman".[8] Kaum fasis menyukai nilai palingenetis dari "pembuktian" Evola bahwa "perwakilan negara dan budaya Romawi Kuna yang nyata adalah orang-orang ras Nordik."[8] Evola kemudian menjadi filsuf ras terdepan di Italia.[10] Evola mencampurkan Sorelianisme dengan agenda eugenika Mussolini. Ia menulis bahwa "Teori ras Arya-Romawi serta mitosnya dapat berintegrasi dengan konsep Romawi yang ada dalam fasisme, serta memberikan fondasi bagi rencana Mussolini untuk menggunakan negaranya sebagai jalan menuju peningkatan orang Italia biasa dan membuatnya sebagai manusia baru."[52] Pada bulan Mei 1951, Evola ditangkap dan dituduh mempromosikan penghidupan kembali Partai Fasis dan mengglorifikasi fasisme. Dalam pembelaannya di pengadilan, Evola menyatakan bahwa karya-karyanya masuk ke dalam tradisi panjang penulis antidemokratis yang memang dapat dihubungkan dengan fasisme (atau setidaknya, fasisme yang diinterpretasikan menurut kriteria Evolian), akan tetapi jelas tidak dapat dihubungkan dengan rezim fasis Mussolini. Evola kemudian menyatakan bahwa ia bukan seorang fasis, melainkan seorang 'superfasis'. Ia dibebaskan.[9] Reich KetigaEvola menganggap fasisme Italia terlalu banyak memberi kompromi dan mulai mencari pengakuan di Jerman Nazi. Ia menghabiskan banyak waktu di Jerman pada tahun 1937 dan 1938, dan sempat memberikan kuliah kepada Komunitas Jerman-Italia pada tahun 1938.[8] Evola berselisih dengan populisme dan materialisme biologis para Nazi. Otoritas SS pada awalnya menolak ide-ide Evola, mencapnya sebagai ide yang supranasional dan aristokratik; namun demikian, para anggota gerakan revolusioner konservatif menerima dengan baik ide-idenya.[11] Ahnenerbe Nazi menganggap ide-idenya "fantasi" murni yang mengabaikan "kebenaran historis".[8] Evola sangat mengagumi Heinrich Himmler, yang ia kenal pribadi,[8] tetapi ia tidak terlalu menyukai Adolf Hitler karena ketergantungan Hitler pada nasionalisme Völkisch.[6] Schutzstaffel (SS) menyimpan berkas tentang Evola; dokumen AR-126 menggambarkan rencananya untuk mendirikan "Imperium Romawi-Jerman" terlalu "utopis" dan ia digambarkan sebagai seorang "Romawi reaksioner" yang bertujuan untuk "menghidupkan aristokrasi lama di dunia modern." Dokumen yang sama memberi rekomendasi bahwa SS "harus menghentikan efektivitasnya di Jerman" dan tidak memberikan dukungan kepadanya, terutama karena keinginannya untuk menciptakan sebuah "ordo internasional rahasia."[6][53][54] Meskipun ide-idenya tidak diterima, Evola masih dapat mendirikan koneksi politik dengan elemen-elemen pan-Eropa di dalam Kantor Keamanan Reich.[6] Seiring dengan meningkatnya pengaruh pan-Eropa daripada pengaruh kaum Völkisch akibat peristiwa-peristiwa militer, Evola kemudian naik ke lingkaran inti Nazisme.[6] Evola kemudian menulis artikel berjudul "Reich and Imperium as Elements in the New European Order" (bahasa Indonesia: Reich dan Imperium sebagai Elemen dalam Ordo Eropa Baru) bagi jurnal Nazi, "European Review."[6] Selama Perang Dunia II, Evola bekerja di Sicherheitsdienst.[6] Dinas Amt VII Sicherheitsdienst, perpustakaan riset Kantor Keamanan Reich, membantu Evola mencari teks-teks okult dan Masonik kuno.[6][21][55] Fasisme Italia mengalami kemunduran pada tahun 1943 karena Mussolini diturunkan dari jabatannya dan dijebloskan ke penjara. Evola kemudian lari ke Jerman dengan bantuan Sicherheitsdienst.[6] Meskipun ia bukan anggota Partai Fasis Nasional dan bermasalah dengan rezim fasis, Evola adalah salah satu orang pertama yang menyalami Mussolini ketika ia keluar dari penjara oleh Otto Skorzeny pada tahun 1943.[56] Evola kemudian mengenalkan Sarang Serigala Adolf Hitler kepada Mussolini.[6] Setelah itu, Evola menjadi terlibat dalam Republik Sosial Italia Mussolini.[11] Evola memiliki kebiasaan berjalan kaki keliling kota saat ada serangan udara; ia mengatakan hal itu dilakukan untuk "memikirkan nasib" dengan lebih baik. Pada salah satu serangan udara pada tahun 1945, sebuah fragmen misil merusak tulang punggungnya dan Evola mengalami paralisis dari pinggul ke bawah. Ia tetap demikian sampai akhir hidupnya.[57] PascaperangSetelah Perang Dunia II, Evola melanjutkan kerjanya dalam bidang esoterisme. Ia menulis beberapa buku dan artikel mengenai sihir seks dan berbagai studi esoteris lain, termasuk "The Yoga of Power: Tantra, Shakti, and the Secret Way" (1949), "Eros and the Mysteries of Love: The Metaphysics of Sex" (1958), dan "Meditations on the Peaks: Mountain Climbing as Metaphor for the Spiritual Quest" (1974). Ia juga menulis dua buku politik yang eksplisit, berjudul "Men Among the Ruins: Post-war Reflections of a Radical Traditionalist" (1953), "Ride the TIger: A Survival Manual for the Aristocrats of the Soul" (1961), serta autobiografinya[6] "The Path of Cinnabar" (1963). Ia juga menciptakan kritik terhadap peradaban dan materialisme Amerika, serta pengaruh Amerika yang semakin besar di Eropa, yang masuk dalam antologi pascakematiannya, berjudul "Civiltà Americana".[58] Pengaruh ontologi okult Evola berlanjut hingga neofasisme pascaperang.[8] Dalam periode pascaperang, tulisan Evola menarik kelompok-kelompok sayap kanan neofasis.[9] Setelah 1945, Evola dianggap sebagai teoris Italia yang paling penting bagi gerakan revolusioner konservatif[9] dan merupakan "ideolog utama" bagi radikal sayap kanan Italia.[10] Menurut Egil Asprem dan Kennet Granholm, karya politik pascaperang terpenting Evola adalah "Orientamenti" dan "Men Among the Ruins".[59] "Orientamenti" adalah karya yang melawan "fasisme nasional". Karya itu menyatakan bahwa harus ada Komunitas Eropa yang bermodelkan pada prinsip-prinsip Waffen-SS.[6] Kelompok neofasis Italia, Ordine Nuovo, mengadopsi "Orientamenti" sebagai petunjuk mereka bertindak di Italia pascaperang.[60] Front Pembebasan Eropa, yang berafiliasi dengan Francis Parker Yockey, mengatakan bahwa Evola adalah "filsuf otoriter terhebat di Italia" di isu April 1951 majalah mereka, "Frontfighter".[6] Dalam periode pascaperang, Evola mencoba melepaskan diri dari totalitarianisme dan lebih meyukai konsep negara "organik", yang ia tuliskan dalam karyanya "Men Among the Ruins".[4] Evola hendak mengembangkan strategi implementasi "revolusi konservatif" di Eropa pasca-Perang Dunia II.[4] Ia menolak nasionalisme dan lebih menyukai konsep "Imperium" Eropa, yang bentuknya dapat berbeda-beda, tergantung dengan kondisi daerah setempat, akan tetapi harus tetap "organis, hierarkis, antidemokratis, dan antiindividual."[4] Evola amat mendukung manifesto neofasis Francis Parker Yockey yang berjudul "Imperium", akan tetapi tidak menyetujuinya karena ia menganggap Yockey hanya memiliki pemahaman yang "dangkal" mengenai apa yang dapat segera dilakukan.[6] Evola meyakini bahwa konsepsinya mengenai Eropa neofasis dapat diimplementasikan hanya oleh manusia "superior" yang beroperasi di luar politik normal.[6] Giuliano Salierni adalah seorang aktivis dalam Gerakan Sosial Italia yang neofasis di awal tahun 1950an. Ia kemudian mengingat bagaimana Evola menghimbau kekerasan.[11] Roberto Fiore dan kolega-koleganya di awal tahun 1980an membantu para "Tentara Politik" Front Nasional (Britania Raya) untuk membangun sebuah filsafat elitis militan yang berbasis pada "trakta paling militan" karya Evola, berjudul "The Aryan Doctrine of Battle and Victory" (Doktrin Arya tentang Pertempuran dan Kemenangan). Buku ini menghimbau terjadinya sebuah "Perang Suci Besar", yaitu penciptaan pembaruan spiritual, serta "Perang Suci Kecil" pada waktu yang sama, yaitu perang fisik melawan musuh.[11] Wolff menghubungkan aksi teroris sayap kanan pada tahun 1970an dan 1980an di Italia kepada pengaruh Julius Evola.[9] Thomas Sheehan berargumen bahwa karya Evola harus dibaca oleh setiap orang yang ingin memahami Eurofasisme, seperti orang yang ingin mengerti komunisme harus memahami tulisan-tulisan Karl Marx.[32] Pengaruh politikPemimpin fasis Italia Benito Mussolini, sang Nazi pencari Cawan Suci Otto Rahn, serta sejarawan agama dan pendukung rezim fasis di Rumania, Mircea Eliade, mengagumi Julius Evola.[6][9][13][55] Setelah Perang Dunia II, tulisan Evola masih memengaruhi banyak gerakan kanan jauh, rasis, serta neofasis. Tulisan-tulisannya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Spanyol, ada beberapa dalam bahasa Jerman, dan kebanyakan dalam bahasa Hungaria. Ia memengaruhi Partai Kaus Hitam Amerika, "Hitleris esoteris" Miguel Serrano,[6] Savitri Devi, GRECE, Movimento sociale italiano (MSI), Nouvel Ordre Européen dari Gaston Armand Amaudruz, Ordine Nuovo dari Pino Rauti, Troy Southgate, Alain de Benoist, Michael Moynihan, Giorgio Freda, Nuclei Armati Rivoluzionari (Nuklei Revolusioner Bersenjata), Eduard Limonov, Forza Nuova, CasaPound Italia, Tricolor Flame, dan Partai Rakyat Konservatif Estonia. Giorgio Almirante menyatakan Evola adalah "Marcuse kami, namun sedikit lebih baik."[32] Salah satu pemimpin kelompok "terorisme hitam" neofasis, Ordine Nuovo, "Kami bekerja sejak 1953 untuk mengubah tulisan-tulisan Evola menjadi aksi politik langsung."[61] Kelompok fasis Prancis yang kini sudah bubar, Troisième Voie, juga terinspirasi oleh Evola.[62] Jonathan Bowden, aktivis politik Inggris dan ketua Kanan Baru, amat mengagumi Evola dan ide-idenya, serta memberikan kuliah mengenai filsafatnya. Evola juga memengaruhi gerakan alt-right masa kini,[13] yang berawal pada “pemikir-pemikir seperti… Oswald Spengler, H.L Mencken, Julius Evola, Sam Francis, dan… Pat Buchanan.”[44] Evola juga memengaruhi seorang advisor Vladimir Putin,[63][64] Aleksander Dugin.[65][66] Partai neo-Nazi Yunani, Chrysi Avgi, memasukkan karya-karyanya ke dalam daftar bacaan yang disarankan. Pimpinan Jobbik, partai nasionalis Hungaria, juga mengagumi Evola dan menuliskan kata pengantar bagi karya-karyanya.[13] Umberto Eco menggambarkan Evola sebagai "sumber teoretis sayap kanan Italia baru yang paling berpengaruh" dan merupakan "salah satu guru fasis yang paling dihormati".[67] Mantan ketua advisor Donald Trump, Steve Bannon, mencatat pengaruh Evola dalam gerakan Eurasianisme.[68][69] Selain itu, dalam buku "Devil's Bargain" karya Joshua Green, dikatakan bahwa buku Evola yang berjudul "Revolt Against the Modern World" memercikkan minat Bannon pada Aliran Tradisionalis.[70] Dengan demikian, Bannon dipuji oleh pimpinan alt-right, Richard B. Spencer, yang mengatakan bahwa pengetahuan Bannon tentang Evola "amat bermakna bagi kami".[13] Beberapa anggota alt-right menyampaikan harapan bahwa Bannon bisa terbuka pada ide-ide Evola dan melalui Bannon, ide-ide Evola dapat berpengaruh dalam periode krisis.[13] Buku dan karya
Lihat pula
Referensi
Bacaan lebih lanjutPublikasi oleh dan mengenai Julius Evola dalam katalog Helveticat di Perpustakaan Nasional Swiss:
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Julius Evola. Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Julius Evola. |