Jeihan SukmantoroJeihan Sukmantoro (26 September 1938 – 29 November 2019)[1] atau yang lebih dikenal dengan nama Jeihan merupakan salah satu seniman lukis atau pelukis terkenal dari Indonesia. Dia adalah pendiri Studio Seni Rupa Bandung.[2][3] Kehidupan PribadiJeihan lahir tanggal 26 September 1938 di Surakarta, Jawa Tengah (menurut pengakuannya, kelahiran Desa Candi, Kecamatan Ampel, Boyolali, Jawa Tengah). Pelukis bergaya ekspresionisme ini mulai melukis sejak masih kecil. Dia belajar seni lukis di Himpunan Budaya Surakarta (HBS).[4] Untuk memperluas wawasan, Jeihan pergi ke Bandung, Jawa Barat pada tahun 1960. Dia mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, dia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di ITB karena sikapnya yang cenderung memberontak. Sikapnya ini karena dia pernah mengalami near death experience. Jeihan tidak mendapatkan pendidikan formal sampai menginjak usia 15 tahun. Dia pernah mengalami kecelakaan yang membuat ia tidak dapat mengikuti pendidikan sejak awal. Kecelakaan itu hampir merenggut nyawanya dan menyebabkan dia cedera otak. Ketika itu, Jeihan diyakini sudah tidak bernyawa, tapi ia bangun sebelum dimakamkan. Peristiwa ini yang kemudian memengaruhi cara berpikirnya dan karya-karyanya. Sejak akhir tahun 2018, Jeihan didiagnosa terkena kanker kelenjar getah bening. Ia sempat dirawat di salah satu rumah sakit di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada bulan Juli 2019, kondisi Jeihan semakin menurun. Ia pun sempat dirawat di Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung. Mendiang juga didiagnosa mengalami gagal ginjal.[3] Gaya LukisanTeknik melukisnya berkarakter figuratif dengan mata hitam dan warna datar sederhana. Ciri khas objek lukisannya dapat diidentifikasi dengan ‘mata hitam’ atau ‘mata cekung’.[5] Menurut beberapa kritikus seni, Jeihan memadukan alam mistik timur dengan alam analitis barat. Karyanya yang diam menceritakan aura meditatif. Tidak sedikit yang menafsirkan bahwa mata sepenuhnya dicat hitam pada lukisan Jeihan ini melambangkan kegelapan misteri di jalan manusia. Dia memadukan aura mistik timur dan mistik barat ke lukisannya. Menurut kurator seni bernama Mikke Susanto, “mata hitamnya sering dinisbatkan sebagai simbol ikonik dengan beragam arti. Bahkan bagi Jeihan, ia mendapatkan sebuah visi, bahwa mata hitam baginya adalah sebuah realitas masa depan.” Dia menemukan ciri khasnya itu pada tahun 1963 semasa berkuliah di ITB. Masa itu dianggap sebagai saat tersulit dalam hidupnya. Ciri khas lainnya adalah penggunaan dua warna dalam latar yang berbeda di lukisannya.[6] Karya dan PameranJeihan telah menyelenggarakan pameran lebih dari 100 kali, menerbitkan enam buku, serta memproduksi dua film dokumenter. Karya lukisnya ini banyak diminati para kritikus dan kolektor. Ia bahkan memiliki agen di Amerika, Australia, dan Eropa. Jeihan telah melukis sejumlah tokoh ternama, antara lain Mari Elka Pangestu dan Taufiq Kiemas.[6] Jeihan juga termasuk anggota komite The World Art and Culture Exchange Association Inc. yang berpusat di New York. Di samping rumah Sudjoko, bekas gurunya, Jeihan mendirikan studio Seni Rupa Bandung pada tahun 1978. Studio itu menjadi tempat pengembangan kreativitas kaum muda untuk berkreasi dan mandiri. Dia juga banyak meraih penghargaan, antara lain, Perintis Seni Rupa Jawa Barat 2006 dan Penghargaan Anugerah Budaya Kota Bandung 2009. Pada tanggal 28-29 Mei 2012, Jeihan melakukan sebuah pameran bertajuk “Soul of Art”. Pameran tersebut berlangsung di Pacific Place, Jakarta. Lukisan Satrio PiningitJeihan secara khusus membuat lukisan yang diberi judul “Satrio Piningit”.[7] Lukisan 'Satrio Piningit' ini dipamerkan bersama 44 lukisan karya Jehan lainnya dalam pameran tunggalnya bertajuk Refleksi & Re-Imaji Indonesia. Pameran ini diselenggarakan pada 26 Juni - 5 Juli 2014 di Museum Nasional, Jakarta Pusat. Lukisan Satrio Piningit itu dikerjakannya pada awal Juni 2014 di studionya di Padasuka Bandung, Jawa Barat. Proses teknis pembuatan lukisan ini sekitar 30 menit. Jeihan menyatakan tidak memihak salah satu calon presiden. Bagi dia, Satrio Piningit bukanlah berwujud secara fisik, melainkan sebuah esensi. Esensi Indonesia yang paling penting adalah kebinekaan. Lukisan tersebut berfigur dua orang dalam personifikasi khas hitam, tinggi, berpasangan, melakukan perjalanan dengan ditemani angin. Karyanya ini berkisah mengenai sosok dan karakter gabungan antara realitas pikir dan realitas spiritual. PuisiSelain melukis, Jeihan juga membuat karya sastra berupa Puisi. Dia lekat dengan gerakan puisi Mbeling. Salah satu puisinya yang berjudul “Doa” ditulis Jeihan pada tahun 1970-an.Karyanya ini mendapat tanggapan, baik oleh beberapa kalangan penyair maupun kritikus sastra.[8] Bibliografi
Referensi
|