Japan Post
Japan Post (日本郵政公社 , Nippon Yūsei Kōsha) adalah sebuah badan usaha milik negara Jepang yang eksis mulai tahun 2003 hingga 2007. Perusahaan ini menawarkan layanan pengantaran surat dan paket, layanan perbankan, dan asuransi jiwa. Perusahaan ini adalah perusahaan dengan jumlah pegawai terbanyak di Jepang, yakni lebih dari 400.000 orang, sehingga sepertiga pegawai pemerintah Jepang adalah pegawai Japan Post. Perusahaan ini menjalankan 24.700 kantor pos di seantero Jepang. Hingga tahun 2005, presiden perusahaan ini adalah Masaharu Ikuta, yang sebelumnya menjabat sebagai chairman Mitsui O.S.K. Lines. Japan Post menjalankan sistem tabungan pos terbesar di dunia dan kerap dikatakan sebagai perusahaan dengan jumlah dana pihak ketiga terbesar di dunia, yakni ¥224 triliun ($2,1 triliun) dalam bentuk tabungan yū-cho dan ¥126 triliun ($1,2 triliun) dalam bentuk asuransi jiwa kampo. Jumlah dana pihak ketiga dari perusahaan ini menyumbang 25% dari total dana pihak ketiga di Jepang. Japan Post juga memegang sekitar ¥140 triliun atau seperlima dari total utang pemerintah Jepang dalam bentuk obligasi. Pada tanggal 1 Oktober 2007, Japan Post resmi diprivatisasi pasca debat politik sengit yang akhirnya diselesaikan dengan pemilu tahun 2005. Hal yang paling menjadi pendorong privatisasi tersebut adalah bahwa Japan Post, yang mendapat dukungan dari pemerintah, dikhawatirkan akan menghalangi persaingan dan mendanai para politisi untuk mengerjakan proyek pribadinya.[1] Japan Post pun dipisah menjadi tiga perusahaan pada tahun 2007, dan direncanakan dapat diprivatisasi penuh pada tahun 2017.[1] Pasca privatisasi, Japan Post Holdings mengoperasikan bisnis pos. Pada tahun 2010, privatisasi Japan Post ditunda, dengan Kementerian Keuangan Jepang tetap memegang 100% saham. Namun, pada tanggal 26 Oktober 2012, pemerintah Jepang mengungkapkan rencananya untuk memperdagangkan saham Japan Post Holdings di bursa saham paling lambat tahun 2015, antara lain agar dapat mengumpulkan uang untuk membangun kembali wilayah yang hancur akibat gempa bumi dan tsunami tahun 2011.[2] Hingga tahun 2020, pemerintah Jepang masih memegang 57% saham Japan Post Holdings, dan pemerintah Jepang menargetkan dapat menjual seluruh saham yang masih mereka pegang paling lambat pada bulan Maret 2028.[1] Pada bulan Oktober 2021, pemerintah Jepang tidak lagi menjadi pemegang mayoritas saham Japan Post Holdings, tetapi masih menjadi pemegang saham terbesar di Japan Post Holdings.[3][4] Privatisasi posPerusahaan ini didirikan pada tanggal 2 April 2003 sebagai sebuah badan usaha milik negara Jepang, untuk menggantikan Badan Layanan Pos (郵政事業庁 , Yūsei Jigyōchō). Pembentukan Japan Post merupakan bagian dari rencana reformasi jangka panjang dari Perdana Menteri Junichiro Koizumi yang pada akhirnya ditujukan untuk memprivatisasi layanan pos secara penuh. Rencana privatisasi pun mendapat dukungan maupun penolakan dari partai-partai yang ada di Jepang, termasuk dari dua partai terbesar di Jepang, yakni LDP dan DPJ. Penolak rencana tersebut mengklaim bahwa rencana tersebut akan menyebabkan penutupan sejumlah kantor pos dan pengurangan jumlah pegawai. Namun, pendukung rencana tersebut yakin bahwa privatisasi akan membuat dana yang ada di Japan Post Holdings dapat dikelola dengan lebih efisien dan fleksibel, sehingga dapat membantu merevitalisasi ekonomi Jepang. Pendukung rencana tersebut juga mengklaim bahwa Japan Post Holdings telah menjadi sumber korupsi. Perdana Menteri Koizumi pun menyatakan bahwa privatisasi adalah bagian besar dari upayanya untuk mengendalikan pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan utang nasional. Sebagian besar partai yang menolak sebenarnya mendukung privatisasi, tetapi mengkritik aturan yang disusun oleh Koizumi. Sejumlah partai menganggap bahwa aturan tersebut sangat cacat, karena menyediakan periode pelaksanaan privatisasi yang terlalu lama dan meliputi terlalu banyak celah yang dapat menyebabkan privatisasi tidak berjalan. Pada bulan September 2003, kabinet Koizumi mengajukan pemisahan Japan Post menjadi empat perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang perbankan, asuransi, layanan pos, dan pengelolaan kantor pos. Empat perusahaan tersebut akan diprivatisasi pada bulan April 2007. Pada tahun 2005, majelis rendah dari Parlemen Jepang menyetujui aturan untuk melaksanakan privatisasi tersebut. Tetapi aturan tersebut tidak disetujui di majelis tinggi, sehingga Koizumi kemudian membubarkan majelis rendah dan mengadakan sebuah pemilu pada tanggal 11 September 2005. Ia menyatakan bahwa pemilu tersebut juga akan menjadi referendum mengenai privatisasi pos. Koizumi lalu berhasil memenangkan pemilu tersebut, sehingga mendapat supermayoritas yang dibutuhkan di majelis rendah, yang ia ambil sebagai mandat untuk melakukan privatisasi. Versi terakhir dari aturan untuk memprivatisasi Japan Post pada tahun 2007 akhirnya diterbitkan pada bulan Oktober 2005.[5] Aturan tersebut resmi membubarkan Japan Post, serta membaginya menjadi satu perusahaan induk dan empat perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang layanan pos, tabungan pos, asuransi jiwa pos, dan pengelolaan kantor pos.[6] Aturan tersebut menyediakan periode transisi selama 10 tahun, di mana perusahaan yang bergerak di bidang tabungan pos dan asuransi jiwa akan diprivatisasi penuh, sementara pemerintah akan tetap memegang sejumlah saham dari tiga perusahaan lainnya.[6] Aturan tersebut juga menyatakan bahwa Japan Post Bank dan Japan Post Insurance akan menjadi perusahaan publik pada tahun 2010 dan sahamnya akan diperdagangkan di bursa saham mulai tahun 2012.[7][8] Namun, mayoritas proses privatisasi, di mana pemerintah Jepang hanya memegang sepertiga dari total saham Japan Post Holdings, baru dapat terealisasi pada bulan Oktober 2021.[3][4] Pemerintah Jepang pun masih menjadi pemegang saham terbesar di Japan Post Holdings.[3][4] Kekhawatiran dan peluangMuncul ketakutan bahwa layanan pos dari Japan Post akan dirugikan setelah dipisah dari layanan perbankan dan asuransi. Hal tersebut karena layanan pos selama ini diperkirakan merugi dan operasionalnya disubsidi oleh layanan perbankan dan asuransi yang lebih menguntungkan.[9] Untuk menambah pendapatan dari layanan pos, sejumlah pengamat mendorong agar dilakukan diversifikasi, seperti misal ke bisnis logistik. Japan Post pun mengindikasikan bahwa mereka memang akan berekspansi ke bisnis logistik pasca privatisasi.[9] Studi juga mengungkapkan bahwa layanan pos siap untuk meraup keuntungan dari peluang yang muncul di pasar. Selain logistik internasional, terdapat juga peluang untuk berekspansi ke bisnis sekuritisasi, kredit ritel, pelayanan kesehatan, dsb.[9][8][10][11] Catatan
Referensi
Pranala luar |