Janger Banyuwangi

Janger Banyuwangi (disebut juga sebagai teater Banyuwangi, damarwulan, ataupun jinggoan) adalah kesenian rakyat asal Banyuwangi, Jawa Timur yang memadukan tarian, kostum dan gamelan Bali dengan kisah rakyat Jawa.[1] Cerita yang umumnya dipertunjukkan di antaranya "Ande Ande Lumut", "Cindelaras", "Minakjinggo Mati", "Damar Wulan Ngenger", "Damarwulan Ngarit", "Sri Tanjung", ataupun cerita lain yang bernafaskan Islam.[2] Janger dilengkapi dengan pentas, sistem tata suara, layar/tirai, gamelan, tari-tarian, dan lawak. Cerita yang ditampilkan dalam janger dibagi dalam beberapa babak yang dimulai dari setelah Isya hingga menjelang Subuh.

Kesenian daerah ini terbilang unik karena bahasa yang digunakan dalam pertunjukkan ini adalah bahasa Jawa dan bahasa daerah Banyuwangi, yaitu bahasa Using atau bahasa Osing.[1] Oleh karena kesenian daerahnya yang terbilang khas maka Janger Banyuwangi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Ditjen Kebudayaan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya.[3] Kesenian tradisional ini saat ini diajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia.[3]

Sejarah

Janger Banyuwangi konon diciptakan oleh seorang pedagang sapi yang juga pengemar kesenian daerah bernama Mbah Darji pada abad ke-19 atau ke-20.[4] Ia berasal dari Dukuh Klembon yang masuk daerah Dukuh Klembon, Singonegaraan, Banyuwangi.[2] Sebagai seorang pedagang ia sering bepergian dari Banyuwangi menuju Bali. Ia mengagumi budaya Bali dan menyukai kesenian teater Arja.[1][2] Ia lantas berkenalan dengan seniman musik bernama Singobali di Penganjuran.[1][2] Dari minat dan perkenalannya dengan seniman daerah itu maka ia menggagas ide untuk mengombinasikan Teater Ande-Ande Lumut dengan tarian dan gamelan Bali, dengan tetap menggunakan bahasa daerah setempat.[1][2] Pencampuran ini dikenal sebagai Damarwulan Klembon atau Janger Klembon.

Teater Banyuwangi alias Janger Banyuwangi ini kemudian populer. Ada banyak grup teater yang kemudian memertunjukkan kesenian ini. Popularitasnya kemudian keluar hingga ke daerah sekitar Banyuwangi. Hal ini terbukti dengan adanya grup Janger Banyuwangi di daerah Malang, yaitu Klojen dan Samaan pada tahun 1950-an.[1] Selain sebagai media hiburan, banyak juga pejuang yang menggunakan kedok seniman teater ini untuk menutupi kecurigaan prajurit Belanda dan mata-matanya pada masa pergerakan.[1] Pada saat itu, Janger Banyuwangi selain sebagai media hiburan juga menjadi media sosialisasi seperti edukasi bencana dan menjaga persatuan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4][5] Pada masa revolusi, kerap kali para pejuang kemerdekaan menyamar sebagai seniman Janger untuk mengelabui Belanda dan para mata-matanya.

Bentuk pertunjukan

Seperti halnya pertunjukan teater maka di dalam pertunjukan ini ada kisah yang disampaikan, musik dari gamelan Bali, dan juga tari-tarian. Biasanya juga ada bagian lawakannya. Unsur yang diserap dari budaya Bali berupa bentuk gerak, busana pemain, musik pengiring bersama dengan teknik tabuhnya.[4] Gong Kebyar Bali sangat memberikan corak pada pertunjukan ini.[4] Unsur Jawa dalam Janger Banyuwangi adalah gaya panggung, dialog, dan tembang yang digunakan.[4] Bahasa yang digunakan para pemain adalah bahasa Jawa seperti pada pertunjukan ketoprak.[2] Sedangkan unsur lokal yaitu Banyuwangi dapat dilihat dari cerita yang diadopsi, tari-tarian, dan lagu daerah. Bahasa Osing juga digunakan pada bagian tertentu seperti pada saat bagian komedi dan pisowanan, yaitu bagian ratu untuk menyanyi dan menari.[4]

Bagian pembuka umumnya adalah tarian khas Bali seperti Pendet dan Legong atau tarian khas Banyuwangi seperti Jaran Goyang dan Jejer Gandrung.[2] Kostumnya disesuaikan dengan cerita yang disampaikan.[2] Apabila ceritanya mengandung tokoh bangsawan maka mereka mengenakan busana khas Bali, para perempuannya menggunakan busana Bali yang dimodifikasi, sedangkan rakyat jelata menggunakan busana khas Jawa.[2]

Paradok karakter minakjinggo

Dalam wacana masyarakat Banyuwangi, karakter Minakjinggo digambarkan sangat berlawanan dengan apa yang diyakini masyarakat Jawa pada umumnya (berdasarkan cerita-cerita seperti Serat Damarwulan). Digambarkan Minakjinggo merupakan sosok yang bertemperamen buruk, kejam dan sewenang-wenang. Disamping buruk rupa, pincang, suka makan daun sirih dan lancing meminang Sri Ratu Kencanawungu (Ratu Majapahit).

Menurut pandangan masyarakat Banyuwangi, Minakjinggo digambarkan sebagai sosok yang rupawan, digandrungi banyak wanita, arif, bijaksana dan pengayom rakyatnya. Menurut para sesepuh Banyuwangi pemberontakan Minakjinggo lebih dikarenakan dia menagih janji Kencana Wungu untuk menjadikannya suami, setelah mampu mengalahkan Kebo Marcuet, dan dimenangkan oleh Minakjinggo. Wajah Minakjinggo menjadi rusak karena terluka pada saat bertarung dengan Kebo Marcuet, dan demi melihat wajah Minakjinggo yang rusak, maka Kencana Wungu menolak dan akhirnya Minakjinggo memberontak.

Pandangan inilah yang berupaya diluruskan, mengingat citra Minakjinggo yang buruk dalam catatan legenda Serat Damarulan. Keabsahan Serat Damarwulan dengan legenda-legendanyapun masih simpang siur, dan data masih kurang lengkap.

Lakon

Lakon atau cerita yang akan dipentaskan, disesuaikan dengan permintaan penanggap atau scenario kelompok itu sendiri. Lakon yang paling banyak dipentaskan antara lain, Cinde Laras, Minakjinggo Mati, Damarulan Ngenger, Damarulan Ngarit, dan lain sebagainya. Selain dari cerita panji, lakon juga diambil dari legenda rakyat setempat seperti Sri Tanjung dan kadang cerita-cerita bernuansa Islam.

Busana

Busana pemain disesuaikan dengan peran mereka. Pada peran prajurit, raja, panglima dan tokoh kalangan atas biasanya menggunakan busana khas Bali yang biasa dipakai dalam pertunjukan Arja. Sedangkan kaum wanita istana memakai busana Bali yang dimodifikasi, yakni kuluk yang dihias bunga kamboja dengan manik-manik, ter atau penutup dada, dan biasanya memakai kain jarit berwarna mengkilap. Yang unik, peran rakyat jelata justru memakai busana khas Jawa.

Tari pengiring

Tari-tarian yang menjadi pengiring dalam pertunjukan Janger ini bervariasi. Bisa dibuka dengan tari-tarian khas Bali, seperti pendet, legong, baris, atau tari-tarian khas Banyuwangi seperti Jejer Gandrung, Jaran Goyang, Seblang Lokento dan lain sebagainya.

Keunikan

Teater Janger Banyuwangi ini merupakan salah satu kesenian hibrida, di mana unsur Jawa dan Bali bertemu jadi satu di dalamnya. Gamelan, kostum dan gerak tarinya mengambil budaya Bali, tetapi lakon cerita dan bahasa justru mengambil dari budaya Jawa. Bahasa yang dipergunakan dalam kesenian ini adalah bahasa Jawa osing yang merupakan bahasa asli masyarakat banyuwangi. Namun pada saat lawakan, digunakan bahasa Using sebagai bahasa pengantar. Lakon ceritanya pun justru diambil dari Serat Damarwulan yang dianggap penghinaan terhadap masyarakat Banyuwangi, yang anehnya malah berkembang subur.

Perkembangan saat ini

Diperkirakan ada sekitar 60 kelompok Janger yang masih eksis saat ini. Meski kondisinya memang senin-kamis, sebagai dampak modernisasi yang makin marak. Kelompok Janger Banyuwangi yang cukup popular di wilayah tersebut antara lain Tanjung Wangi Budoyo dari Songgon,Temenggung Budoyo dari kota Banyuwangi, Madyo Utomo dari desa Bubuk, Kec. Rogojampi, dan Patoman dari desa Blimbingsari, Kec. Rogojampi.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g elsa (2018-01-09). "Eksistensi Janger Banyuwangi dari Masa ke Masa". Mahligai Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-26. Diakses tanggal 2019-04-26. 
  2. ^ a b c d e f g h i https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=200
  3. ^ a b Radio, Kantor Berita. "Seni Janger Banyuwangi Diganjar Status Warisan Budaya". kbr.id. Diakses tanggal 2019-04-26. 
  4. ^ a b c d e f "Janger Banyuwangi ยป Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-04-26. 
  5. ^ "Edukasi Bencana Digelar lewat Kesenian Janger Banyuwangi". www.banyuwangikab.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-26. Diakses tanggal 2019-04-26. 

Lihat pula

Kembali kehalaman sebelumnya