Izaac Hindom
Izaac Hindom (23 Desember 1934 – 11 Maret 2009) adalah seorang birokrat dan politikus Indonesia yang menjabat sebagai Gubernur Irian Jaya (sekarang Papua) dari tahun 1982 sampai 1988. Lahir di Fakfak, Hindom memulai pendidikannya di sekolah Belanda untuk orang asli Papua dan menempuh pendidikan kejuruan dalam bidang kepamongprajaan. Hindom bekerja dalam berbagai jabatan pegawai negeri di tingkat distrik pada masa Nugini Belanda. Ia juga mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Nugini tetapi tidak terpilih. Setelah Nugini Belanda menjadi bagian dari Indonesia, Hindom diangkat menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian pada tahun 1965 dan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama dua periode pada tahun 1971 dan 1977. Dia mengakhiri masa jabatan keduanya sebagai anggota Dewan setelah diangkat sebagai wakil gubernur pada tahun 1980 dan menjadi gubernur dua tahun kemudian setelah pendahulunya meninggal. Selama ia menjadi gubernur, Hindom merencanakan program transmigrasi besar-besaran, yang akan memindahkan lebih dari setengah juta transmigran ke provinsi tersebut. Program transmigrasinya dikritik oleh berbagai pihak, mulai dari para transmigran itu sendiri hingga aktivis lingkungan Barat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia. Dia juga mengawasi pembagian provinsi menjadi tiga wilayah pembantu gubernur serta eksploitasi hutan di provinsi tersebut. Setelah masa jabatan pertamanya berakhir, ia mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur berikutnya dan memenangkannya, tetapi mundur beberapa minggu kemudian dikarenakan alasan poligami, beban yang terlalu berat, dan regenerasi. Ia diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1988 hingga lembaga tersebut dibubarkan tahun 2003. Dia meninggal enam tahun kemudian pada 11 Maret 2009. Masa kecil dan pendidikanHindom lahir pada tanggal 23 Desember 1934 di Desa Adora, sebuah desa yang terletak di Afdeling (Kabupaten) Fakfak. Hindom memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School, sekolah Belanda untuk orang asli Papua, dan lulus dari sekolah tersebut pada tahun 1949. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Algemene Lagere School dan Sekolah Opleidingschool voor Inlandsche Bestuur Ambtenaren (OSIBA). Dia lulus dari sekolah tersebut pada tahun 1954.[1] Karier birokratSetelah lulus dari OSIBA, Hindom menjabat sebagai pegawai negeri sipil di berbagai tempat di Nugini Belanda. Hindom pertama kali dipekerjakan oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha Fakfak. Dia dipekerjakan selama sekitar satu tahun sampai dia diangkat sebagai Kepala Distrik Teluk Etna pada tahun 1955. Ia dipindahkan ke Kaimana dan dipekerjakan ke Kepala Sub-Bagian Tata Usaha Fakfak pada bulan Desember 1957. Kurang dari setahun kemudian, pada Maret 1958, ia kembali dan dipekerjakan kembali oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha Fakfak hingga tahun 1959. Sejak Februari 1960 hingga September 1962, ia menjabat sebagai Kepala Distrik Teluk Arguni.[1] Pada pemilihan umum di Nugini Belanda tahun 1961, Hindom mencalonkan diri sebagai calon anggota Dewan Nugini dari daerah pemilihan Kaimana.[2] Dia bersaing melawan Nicholas Tanggama dan Mohammad Achmad dalam daerah pemilihan tersebut.[3] Namun, ia tidak memperoleh suara yang cukup untuk dapat duduk di Dewan Nugini.[4] Karier politikSelama Operasi Trikora yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia untuk membuat Nugini Belanda menjadi bagian dari Indonesia, Hindom memberikan bantuan pada operasi tersebut secara tidak langsung. Atas dukungannya terhadap operasi tersebut, Hindom diangkat sebagai Kepala Pemerintahan Sementara Teminabuan pada Juni 1963. Ia masuk ke dalam pemerintahan provinsi pada Juli 1965 untuk menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH), suatu badan yang didirikan untuk membantu gubernur. Hindom berdomisili di Jakarta selama masa jabatannya sebagai anggota BPH.[5] Setelah masa jabatannya sebagai anggota BPH habis, Hindom dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Fakfak. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Irian Jaya (kini Dewan Perwakilan Rakyat Papua) memilihnya sebagai anggota parlemen dari daerah pemilihan Fakfak dengan 15 suara[6] dan ia dilantik sebagai anggota dewan pada tanggal 28 Oktober 1971.[7] Ia terpilih untuk masa jabatan kedua sebagai anggota dewan dari daerah pemilihan Jayapura pada pemilihan umum legislatif Indonesia 1977 dan dilantik pada 1 Oktober 1977.[8] Menurut peneliti politik Alexander Griapon, Hindom menjalin hubungan baik dengan pejabat pemerintah pusat selama menjabat sebagai anggota Badan Pemerintahan Harian dan Dewan Perwakilan Rakyat.[9] Wakil Gubernur Irian JayaHindom diangkat sebagai Wakil Gubernur Irian Jaya pada 22 November 1980 oleh Gubernur Soetran, menggantikan Elias Paprindey.[10] Pengangkatan Hindom sebagai Wakil Gubernur mengecewakan beberapa kelompok masyarakat adat Papua yang percaya bahwa orang asli Papua harus diangkat sebagai gubernur dan bukan hanya sebagai wakil gubernur.[11] Namun, asal usul Hindom membuatnya memperoleh dukungan penuh dari elit politik di Papua Selatan.[12] Gubernur Irian JayaPengangkatan sebagai gubernurPada tanggal 3 Agustus 1982, Busiri Suryowinoto, Gubernur Irian Jaya, berangkat ke Jepang untuk menjalani operasi batu empedu.[13] Namun, Busiri meninggal dalam perjalanannya menuju Rumah Sakit Jutendo[14] keesokan harinya.[13] Sebagai orang nomor dua di provinsi tersebut, Hindom diangkat sebagai pelaksana harian Gubernur Irian Jaya setelah kematian Busiri.[15] Pemilihan gubernur diadakan pada tingkat parlementer di DPRD Irian Jaya beberapa bulan kemudian untuk memilih gubernur definitif. Hindom menjadi salah satu calon gubernur dalam pemilihan tersebut. Hindom memenangkan pemilihan tersebut[16] dan ia dilantik sebagai gubernur oleh Menteri Dalam Negeri ad interim Sudharmono pada tanggal 12 November 1982.[15] TransmigrasiSebagai gubernur, Hindom sangat mendukung pelaksanaan program transmigrasi. Selama masa pemerintahannya, pemerintah pusat mengalihkan fokus transmigrasi dari Sumatra ke Papua.[17] Menurut Hindom, transmigrasi akan memutus isolasi suku-suku terpencil dan menyediakan teknologi, pendidikan, dan listrik bagi suku-suku terpencil tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan The Sydney Morning Herald, Hindom berencana untuk memukimkan 700.000 transmigran pada akhir masa jabatannya,[18] jauh lebih banyak dibandingkan dengan 58.000 transmigran[19] pada tahun-tahun sebelumnya.[20] Program transmigrasi tersebut diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan pusat, meskipun terkadang melibatkan perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut.[21] Untuk mengoptimalkan program transmigrasi, Hindom membagi provinsi menjadi empat wilayah pembangunan. Setiap wilayah berpusat di satu kota. Wilayah pertama berpusat di Jayapura, yang kedua berpusat di Biak, yang ketiga berpusat di Sorong, dan yang keempat berpusat di Merauke. Pemerintah mengklaim bahwa pembentukan wilayah pembangunan berhasil meredakan keterasingan dari tempat-tempat terpencil dan membantu membangun desa dan pusat transportasi baru.[22] Hindom memandang para transmigran yang kebanyakan beretnis Jawa sebagai orang-orang yang lebih "unggul" secara fisik dan moral bila dibandingkan dengan etnis Papua, yang menurutnya "terbelakang" dan "egois".[23] Hindom aktif mempromosikan asimilasi antara orang Papua dan Jawa, dan menyatakan bahwa perkawinan campuran antara orang Papua dan Jawa akan melahirkan ras campuran dan "menabur benih untuk keindahan yang lebih besar". Hindom juga tidak memiliki rasa takut bahwa orang Jawa yang mayoritas Muslim akan mengislamkan orang Papua yang mayoritas Kristen. Ia juga menyatakan bahwa jika memang sebagian besar orang Papua akan menjadi Muslim, hal tersebut sudah menjadi "kehendak Tuhan".[24] Dia meramalkan pada tahun 1984 bahwa dalam lima puluh tahun, penduduk asli daerah itu akan terlihat mirip dengan orang Jawa.[25] Pelaksanaan program transmigrasi menuai kritikan dari para transmigran. Keluhan dari transmigran terfokus pada kesulitan-kesulitan praktis, seperti pemilihan lokasi yang buruk, persiapan lahan yang tidak memadai, pasokan air yang buruk, jalan dan transportasi yang kurang baik, penyebaran penyakit malaria, dan hama tanaman pangan.[26] Gubernur Irian Jaya pertama, Eliezer Jan Bonay, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan transmigrasi Hindom. Dia menyatakan bahwa para transmigran memaksakan agamanya pada orang Papua dan transmigrasi menyebabkan orang Papua hanya memiliki pekerjaan yang sangat rendah dan bersifat administratif semata.[27] Kritik serupa juga dilontarkan oleh kelompok lingkungan dan hak asasi manusia Barat, yang meminta Bank Dunia untuk menghentikan pendanaan program transmigrasi.[26] Tapol, sebuah LSM yang memantau masalah hak asasi manusia di Indonesia, menggambarkan Hindom sebagai "corong pemerintah kolonial Indonesia di Jakarta" dan bahwa ia "ingin mempercepat proses pemusnahan orang dan budaya Melanesia" melalui program transmigrasinya.[28] Selain ketidaksetujuan LSM, kebijakan transmigrasi juga dikritik oleh pejabat militer di Irian Jaya. Panglima Daerah Militer di Irian Jaya pada masa Hindom, Raja Kami Sembiring Meliala, mengatakan bahwa dampak dari program tersebut "terbukti kontraproduktif" terhadap penduduk asli dan menasihati pemerintah untuk "merevisi program secara drastis" karena membuat orang Papua "merasa seperti pendatang di tanah mereka sendiri".[18] Pemekaran provinsiPada masa pemerintahan Busiri Suryowinoto, pendahulu Hindom, usulan pemekaran Provinsi Irian Jaya sempat ramai dibicarakan di kalangan birokrat Papua. Sebagai wakil gubernur, Hindom diminta Busiri untuk memberikan bantuan dalam penyusunan proposal.[29] Sepeninggal Busiri, Hindom melanjutkan wacana pemekaran tersebut.[30] Proposal tersebut diserahkan kepada Soeharto pada tahun 1982[31] dan disetujui pada bulan Juli 1983.[32] Proposal tersebut berujung pada pembagian provinsi Irian Jaya menjadi tiga wilayah pembantu gubernur pada 11 Januari 1984.[33] Setiap wilayah pembantu gubernur tersebut dipimpin oleh seorang pembantu gubernur. Pembantu gubernur diberi tugas mempersiapkan peningkatan status dari wilayah pembantu gubernur menjadi provinsi.[32] KehutananSelama masa jabatannya, Hindom mempromosikan eksploitasi hutan-hutan di wilayah Papua. Upaya Hindom tersebut menarik perusahaan-perusahaan besar seperti perusahaan Hanurata, yang dimiliki oleh Probosutedjo, adik Presiden Soeharto. Hanurata menerima konsesi dari pemerintah daerah untuk mengeksploitasi sumber daya hutan Irian Jaya, tetapi perusahaan tersebut tidak memberdayakan penduduk lokal karena sebagian besar pekerjanya didatangkan dari luar provinsi.[34] Pengunduran diriSesuai perundang-undangan yang berlaku pada masa itu, masa jabatan Hindom sebagai Gubernur Irian Jaya akan berakhir pada 12 November 1987. Karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Irian Jaya mempersiapkan pemilihan tidak langsung untuk memilih gubernur baru. Terdapat tiga calon dalam pemilihan tersebut, yakni Izaac Hindom, SH Gultom yang merupakan asisten Hindom,[32] dan S. Samiyana, seorang birokrat dari Jawa yang bekerja di Irian Jaya.[35][36] Pencalonan Hindom dalam pemilihan gubernur memicu protes dari berbagai kalangan di Irian Jaya. Pada tanggal 2 September 1987, delapan kepala suku besar di Papua mengirimkan surat kepada Presiden Soeharto yang meminta Hindom untuk mundur.[36] Protes berlanjut hingga pemilihan umum pada 26 September ketika sekelompok mahasiswa Universitas Cenderawasih mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan melakukan demonstrasi terhadap pencalonan Hindom.[37] Hindom kemudian memenangkan pemilihan dengan 35 suara, sementara lawannya Gultom dan Samiyana masing-masing hanya memperoleh enam dan empat suara.[38] Namun, pada 12 Oktober, Hindom menyatakan pengunduran dirinya dari pemilu, dengan poligami (yang melanggar PP No 10 tahun 1983) sebagai alasan utamanya.[36] Hindom kemudian bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam untuk menjelaskan pengunduran dirinya. Soepardjo menjelaskan, Hindom menyebut ketidakmampuannya mengatasi beban gubernur dan suksesi gubernur oleh generasi muda sebagai alasan lainnya.[39] Setelah pengunduran dirinya, Gultom dan Samiyana juga mundur, sehingga membuat pemilihan tersebut menjadi tidak sah.[36] Pemilu kedua yang dimaksudkan untuk menggantikan hasil pemilu pertama tidak dapat dilakukan sebelum masa jabatan Hindom berakhir. Maka, pada 18 November 1987, Soepardjo melantik Hindom untuk perpanjangan masa jabatannya.[40] Pemilu kedua dilakukan pada 13 Februari 1988. Barnabas Suebu, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Irian Jaya, memenangkan pemilihan kedua dengan 35 suara.[41] Hindom menyerahkan jabatannya kepada Suebu pada 13 April 1988.[42] Anggota Dewan Pertimbangan AgungSetelah mengundurkan diri sebagai Gubernur Irian Jaya, Hindom diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk masa jabatan 1988-1993.[43] Ia dilantik pada tanggal 6 Agustus 1988. Ia kemudian diangkat untuk masa jabatan kedua dan ketiga tahun 1993[44] dan 1998[45] dan mengakhiri masa jabatannya yang ketiga setelah dewan tersebut dibubarkan pada tanggal 31 Juli 2003.[45] Secara keseluruhan, Hindom menjabat sebagai penasehat untuk empat presiden berbeda selama hampir 15 tahun.[a] Pada masa jabatan terakhirnya di dewan, Hindom menjadi anggota komisi politik dari DPA.[46] Hindom mendukung otonomi daerah penuh untuk Papua, tetapi dia menolak untuk mendukung Organisasi Papua Merdeka yang berupaya untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Terkait masalah Papua, Hindom meminta penundaan pelaksanaan otonomi daerah di Papua,[47] dan meminta pemerintah Indonesia membebaskan Theys Eluay, seorang aktivis kemerdekaan dari Papua Barat.[48] Selain menjadi anggota DPA, Hindom juga menjadi anggota dewan komisaris perusahaan Freeport-McMoRan sejak pertengahan tahun 1999.[49] Menurut Gabrielle Kirk McDonald, Hindom ditunjuk untuk mewakili kepentingan masyarakat asli Papua di perusahaan tersebut.[50] WafatHindom meninggal karena emboli paru pada pukul 9.30 WIT tanggal 11 Maret 2009 di Rumah Sakit Provinsi Dok II Jayapura.[51] Hindom telah dirawat karena emboli paru selama beberapa bulan sebelum kematiannya di Rumah Sakit Arjoko, Jayapura.[52] Hindom dimakamkan di Pemakaman Umum Kristen Abepura yang berlokasi di Tanah Hitam, Distrik Abepura, Jayapura. Makamnya terletak bersebelahan dengan istrinya.[51] Mantan Rektor Universitas Cenderawasih, Agustus Kafiar, dan Duta Besar Indonesia untuk Kolombia, Michael Manufandu menyampaikan belasungkawa bagi Hindom.[52] Catatan
Referensi
|