Iwan Simatupang
Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal sebagai Iwan Simatupang (18 Januari 1928 – 4 Agustus 1970) adalah seorang dramawan, novelis, penyair, dan esais Indonesia.[1] Pendidikan dan karierIa belajar di HBS di Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tetapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958.[2][3] Selain itu, ia juga belajar di Full Course International Institiute for Social Studies di Den Haag dan Ecole de l'Europe tahun 1957.[4] Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970).[2]. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952. Pada mulanya ia menulis sajak, tetapi kemudian terutama menulis esai, cerita pendek, drama dan roman. Ia pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera Utara (1949);[2] setelah bebas, ia melanjutkan sekolahnya sehingga lulus SMA di Medan. Karya sastraNovel-novel karangan Iwan Simatupang dikategorikan sebagai novel bagi kaum intelektual karena berisi pemikirannya yang abstrak dan bersifat metafisika.[5] Sifat dari novel-novel karangan Iwan Simatupang ialah sulit dipahami bagi orang awam karena memuat dalih filsafat yang sifatnya tidak umum dan tidak konvensional. Isi dari novel-novel karangan Iwan Simatupang ialah kalimat fungsional dengan sangat banyak pengajuan permasalahan.[6] KeringKering adalah novel Iwan Simatupang dengan tokoh seorang mahasiswa yang sangat pintar dalam filsafat dan sejarah. Si mahasiswa memilih hidup di daerah transmigrasi yang sangat kering. Ia bersikeras tinggal dan berniat menggali sumur hingga akhirnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Setelah pulih, si mahasiswa kembali lagi ke daerah kering itu untuk membangun kota baru sambil menunggu turunnya hujan. Tetapi hujan tidak kunjung turun dan penduduk daerah kering inipun meninggalkannya setelah kota yang dibangun hancur akibat rapuh. Namun, si mahasiswa membujuk penduduk untuk kembali membangun kota.[7] Kering telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Drought pada tahun 1978. Penerjemahan diadakan oleh Harry Aveling.[butuh rujukan] Karya lainBerikut adalah karya-karya Iwan Simatupang:[1]
TanggapanSebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar.[9] Beberapa kritikus menyebut karya-karya Iwan Simatupang sebagai karya avantgarde. Tapi, Iwan menyebut dirinya manusia marginal, manusia perbatasan. Tokoh-tokoh cerita Iwan cenderung menampilkan manusia yang terpisah, kesepian, terasing, dan murung. Menurutnya, tokoh-tokohnya adalah manusia perbatasan atau manusia eksistensialis.[4] Menurut Benedict Richard O'Gorman Anderson, Iwan Simatupang dan Putu Wijaya merupakan dua orang penulis fiksi yang berpengaruh dari Indonesia sejak kemerdekaan dan keduanya memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme gaib ("magical realism"). PenghargaanPada tahun 1963 ia mendapat hadiah kedua dari majalah Sastra untuk esainya "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air".[10] Novelnya yang terkenal, Merahnya Merah (1968), mendapat hadiah sastra Nasional 1970,[2] dan Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. Kooong (1975) mendapatkan Hadiah Yayasan Buku Utama Departmen P dan K 1975. StudiStudi terhadap karya-karya Iwan Simatupang dilakukan oleh
ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|