Isa dalam Islam Ahmadiyah
Ahmadiyah menganggap Isa Almasih seorang manusia dan nabi yang terlahir dari Maryam. Berbeda dengan ajaran Islam lainnya, Ahmadiyah meyakini Isa disalib namun tetap hidup, berdasarkan sumber-sumber Injil, Al Quran dan hadis, serta tulisan-tulisan (waḥyu and kasyf) dari Mirza Ghulam Aḥmad.[1][2][3][4][5] Setelah menyelesaikan risalah kepada Bani Israil di Judea, Isa diyakini berangkat ke timur menghindari penyiksaan di sana dan selanjutnya menyampaikan risalah kepada suku Israel lainnya.[1][2][3][4] Dalam ajaran Ahmadiyah, Isa meninggal secara alami India.[1][2][3][4] Isa hidup sampai lanjut usia dan meninggal di in Srinagar, Kashmir, makamnya bertempat serta dimakamkan di tempat yang sekarang dinamai Roza Bal.[1][2][3] Meski mirip dengan pandangan Islam pada umumnya, ajaran Ahmadiyah mengenai Isa mempunyai perbedaan mengenai penyalibannya dan kenaikannya ke surga, serta kedatangannya kedua kali pada akhir zaman menurut sumber-sumber Islam pada umumnya[1][3][5][6][7][8] Ahmadiyah mempercayai bahwa kedatangan Isa kedua kalinya telah terwujud dalam rupa dan kepribadian Mirza Ghulam Aḥmad, yang memprakarsai gerakan Ahmadiyah.[3][5] RingkasanMenurut kepercayaan Ahmadiyah, penafsiran literal terhadap mukjizat Isa dalam Al Quran (seperti menciptakan burung dari tanah dan menghidupkan orang mati) tidak sesuai dengan keesaan Allah dalam Al Quran dan menciptakan pandangan semi-ilahiah pada Isa. Pemahaman tersebut digantikan oleh tafsiran hermeneutika terhadap ayat Al Quran berkaitan dengan mukjizat tersebut. Misalnya, ayat yang menyebut Isa menghidupkan orang mati dipahami sebagai menghidupkan 'kehidupan spiritual' dari orang yang telah mati secara spiritual. Ulama-ulama Ahmadiyah menganggap penafsiran ulama Islam mengenai kedatangan Isa yang kedua tidak akurat. Kepercayaan bahwa Isa Almasih datang secara jasmani ke muka bumi dianggap tidak mungkin dan tidak realistik. Turunnya seorang nabi yang diutus untuk Bani Israel kepada umat Muhammad bertentangan dengan konsep Muhammad sebagai penutup para nabi. Karena Al Quran dan hadis tidak mencantumkan istilah berkaitan dengan kembali ataupun kedatangan kedua Isa Almasih saat akhir zaman,[9] Ahmadiyah meyakini nubuat tersebut murni bersifat alegoris. Gerakan tersebut menganggap ungkapan kedatangan kedua Almasih lebih sebagai "rupa" Isa. Dengan kata lain, hadis yang dimaksud tentang kedatangan Almasih yang kedua kalinya adalah orang berbeda yang berdiri dengan semangat dan kecakapan yang sama dengan Isa sebelumnya. Selain itu, hadis mengenai kenabian Isa dipahami oleh Ahmadiyah sama dengan sosok Imam Mahdi. Bagi Ahmadiyah, Isa bin Maryam and Mahdi (yang juga dipakai dalam tulisan Islam mengenai akhir zaman), adalah satu orang dengan dua gelar. SejarahGhulam Ahmad, dalam risalahnya Almasih di India (Urdu: Masih Hindustan Mein), mengatakan bahwa Nabi Isa selamat dari penyaliban dan setelah itu melakukan perjalanan ke India setelah kematiannya di Yerusalem. Pendapat bahwa Isa Almasih berangkat ke India telah dikemukakan sebelum dinyatakan oleh Ghulam Ahmad, contoh terkenalnya ialah oleh Nicolas Notovitch pada tahun 1894, yang menyatakan bahwa Isa berangkat ke India sebelum penyaliban.[10][11] Mirza Ghulam Ahmad dengan tegas menolak pandangan yang diajukan Notovich tersebut, sebaliknya menyatakan bahwa keberangkatannya terjadi setelah penyaliban.[12][13] Tanggapan awal terhadap tulisan Ahmad dalam bahasa Inggris muncul dari Howard Walter, seorang pastor Amerika di Lahore yang dapat berbahasa Urdu, The Ahmadiyya Movement (1918). Walter, seperti penulis lainnya, mengidentifikasi kisah Barlaam and Josaphat versi Muslim sebagai sumber primer yang dipakai Ahmad sekalipun faktanya empat bab dari kisah itu masing-masing dibuat dari sumber Injil, Al Quran dan hadis, tulisan pertabiban dan catatan-catatan sejarah. Dalam tulisannya, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan bahwa makam Roza Bal di Srinagar, yang bagi penduduknya dianggap makam seorang wali dari Bani Israil bernama Yus Azaf, sebenarnya merupakan makam Isa Almasih.[14] Ajaran tersebut kemudian diteliti oleh para mubalig Ahmadiyah. Kamaluddin and Khwaja Nazir Ahmad (1952), menambahkan lagi teori Notovich tentang kedatangan Isa ke India sebelum penyaliban.[15] Meskipun telah ditolak berbagai sejarawan seperti indologis Günter Grönbold (1985)[16] and Norbert Klatt (1988), teori Notovitch dan Ahmad didukung beberapa orang seperti arkeolog Fida Hassnain dan penulis Holger Kersten. Publikasi lainnyaPenganut Ahmadiyah telah mempublikasi lebih luas tentang topik kematian Nabi Isa secara alami dengan memperluas karya Ghulam Ahmad sehubungan dengan penemuan sejarah dan arkeologi terbaru. Pada tahun 1978, Mirza Nasir Ahmad, Khalifah ketiga gerakan Ahmadiyah, berangkat ke London untuk menghadiri konferensi Deliverance from the cross yang diadakan Commonwealth Institute di Kensington. Konferensi ini dihadiri beberapa sarjana dan akademisi yang mempresentasikan makalah tentang keadaan sekitar penyaliban Yesus (Isa dalam Islam) dan sudut pandang Ahmadiyah tentang Isa juga ditampilkan. Kuliah umum Nasir Ahmad mendiskusikan kelangsungan hidup Nabi Isa setelah penyaliban, keberangkatannya ke timur, Tauhid menurut Ahmadiyah dan status Nabi Muhammad. Pada tahun 2003, Roza Bal sebagai makam Yesus diliput dalam dokumenter BBC oleh Richard Denton, Did Jesus Die?.[17] Kemungkinan Yesus ke India juga didiskusikan dalam film dokumenter 2008 Jesus in India oleh Paul Davids.[18][19] Kematian IsaGerakan Ahmadiyah mengajukan gagasan selamatnya Isa Almasih dari penyaliban melalui paduan analisis alkitabiah dan al-Quran. Sumber Alkitab
Sumber Al QuranAhmadiyah menyatakan setidaknya ada 30 ayat Al-Quran yang menunjukkan bahwa Nabi Isa tidak naik ke surga melainkan meninggal secara alami di muka bumi. Ayat-ayat dalam Surat Al-Nisa (4:157-158) menunjukkan bahwa Yesus tidak mati disalib, melainkan bahwa Allah telah "mengangkat" Yesus kepada Tuhan sendiri (bukan ke surga).
Karena Al-Quran berbicara tentang Allah yang Mahahadir di bumi dan di dalam hati umat manusia, keberadaan Allah tidak boleh disalahartikan sebagai terbatas pada Surga saja, sehingga gerakan tubuh apa pun menuju Allah adalah mustahil. Ahmadiyah menafsirkan kata Arab rafa'ahu yang artinya "mengangkatnya" dalam ayat tersebut bermaksud "meninggikannya". Dengan kata lain, derajat dan kedudukan Nabi Isa ditinggikan, dekat dengan Tuhan, alih-alih mati terkutuk seperti yang diinginkan musuh-musuhnya. Untuk mendukung pandangan bahwa Nabi Isa mengalami kematian duniawi, Ahmadiyah menggunakan ayat berikut dalam Quran 5:76:
Dalam ayat tersebut, Nabi Isa dibandingkan dengan rasul-rasul sebelumnya–semuanya telah meninggal secara alami dan tidak ada yang naik secara jasmani ke Surga. Dari ayat berikut dalam surat Ali Imran dan Al-Anbiya, Al-Quran menyatakan bahwa semua rasul sebelum Nabi Muhammad, termasuk Isa Almasih, meninggal:
Hadis NabiUntuk membenarkan kematian Isa, ulama Ahmadiyah menggunakan referensi berbagai hadis Islam. Sebagai contoh,
Jika Nabi Muhammad hidup dan meninggal pada usia 60-an, Nabi Isa pasti juga telah mati. Dengan kata lain, karena Muhammad telah meninggal, maka dinyatakan bahwa Isa Almasih juga pasti sudah meninggal. Saat kejadian Mi'raj, Nabi Muhammad juga melihat Isa Almasih di surga kedua bersama dengan Yahya. Karena Islam percaya bahwa seseorang tidak bisa masuk surga atau neraka kecuali sudah meninggal, keberadaannya di surga menunjukkan bahwa Isa sudah meninggal. Kedatangan Isa keduaHadis dan Alkitab menunjukkan bahwa Isa Almasih akan kembali pada akhir zaman. Hadis Islam umumnya menggambarkan bahwa Isa, setelah kedatangannya yang kedua kali, akan menjadi "Ummati" (Muslim) dan pengikut Muhammad, serta ia akan menghidupkan kembali kebenaran Islam bukannya mengembangkan agama baru.[20] Dengan kata lain, bahwa ia akan memulihkan agama Muhammad (sebagaimana Isa telah memulihkan agama Musa). Gerakan Ahmadiyah menafsirkan kedatangan Isa kedua kalinya yang dinubuatkan sebagai seseorang yang "mirip dengan Isa" (mathīl-i ʿIsā), bukan Nabi Isa itu sendiri. Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa perkataan ulama yang menyatakan bahwa Isa sendiri yang turun adalah sebuah kesalahpahaman tafsir. Penganut Ahmadiyah menganggap bahwa sang pendiri gerakan, baik dalam ajaran dan sifat maupun keadaan dan perjuangannya, juga merupakan representasi tidak langsung dari perjuangan Nabi Isa. Kemiripan dengan Yesus (Isa)
Sejak saat itu, penganut Ahmadiyah meyakini bahwa tanda-tanda kedatangan Isa Almasih kedua kalinya telah digenapi oleh Mirza Ghulam Ahmad dan dilanjutkan dengan gerakannya. kenabian seluruh umatPengikut gerakan Ahmadiyah menegaskan bahwa kedatangan Almasih yang dinantikan di akhir zaman dikabarkan oleh semua agama besar. Nubuat Almasih secara historis berpecah menjadi beberapa teori dan interpretasi yang berbeda yang disaring melalui berbagai gerakan keagamaan dunia. Namun, nubuat Almasih yang asli hanya merujuk pada satu sosok saja. Dengan demikian, para penganut Ahmadiyah menyatakan bahwa Almasih hadir bagi semua agama besar dunia dan umat manusia telah dipersatukan dengan munculnya seorang Almasih yang Dijanjikan (Mirza Ghulam Ahmad). Keyakinan Ahmadiyah adalah Allah akan menjadikan semua agama dunia memudar dan lama kelamaan condong ke arah keyakinan Ahmadiyah; proses seperti itu akan mengikuti pola keadaan yang perlahan namun pasti dan memakan waktu yang sama seperti waktu yang dibutuhkan Kekristenan untuk bangkit menjadi dominan (misalnya kira-kira 300 tahun, sebagaimana perumpamaan Ashabul Kahfi).[21] Perselisihan dengan keyakinan Islam arus utamaEncyclopedia of Islam menyatakan bahwa kepercayaan Ahmadiyah tentang perjalanan Isa Almasih ke timur setelah disalib dan kematiannya secara alami adalah satu dari tiga prinsip utama yang membedakan ajaran Ahmadiyah dengan Islam pada umumnya, serta hal itu memunculkan fatwa menentang gerakan tersebut.[14] Konsep Penutup Para NabiBerdasarkan Al-Quran dan hadis, ulama Muslim berpendapat bahwa tidak ada satupun nabi yang diutus setelah Muhammed. Hal ini merupakan salah satu prinsip mendasar dalam menolak dan menghambat Ahmadiyah. Ulama Ahmadiyah menggunakan hadis dan sumber-sumber Al Quran yang menunjukkan pemahaman ini dianggap keliru dan salah menempatkan kebenaran. Hadis berikut misalnya menggambarkan konteks ketika Muhammad telah menyatakan dirinya sebagai "nabi terakhir", dengan riwayat yang sama ia juga menyatakan masjidnya sebagai masjid "terakhir".
Hadits ini mengimplikasikan retorika Muhammad sebagai "yang terakhir" dalam pengertian mutlak. Apabila, misalnya Muhammad menyatakan masjidnya sebagai masjid "terakhir" dengan tafsiran yang sama, hal ini akan membatalkan semua masjid yang pernah dibangun setelah kedatangannya di Madinah. Pemahaman Ahmadiyah tentang istilah Khatam an-Nabiyyin (Penutup Para Nabi) adalah bahwa setelah Nabi Muhammad, tidak ada nabi lain yang muncul di luar agama Islam. Dengan kata lain, seseorang yang kenabiannya terlepas dari Muhammad tidak dapat mengembangkan keyakinan baru. Ulama Muslim menafsirkan dari hadis kembalinya Nabi Isa secara jasmani setelah kedatangan Muhammad. Menurut Al Quran, wahyu Nabi Isa hanya ditujukan untuk Bani Israil.[22][23][24] Karena Isa telah menerima wahyu secara terpisah dari Muhammad, hal ini akan melanggar konsep Khatam an-Nabiyyin secara keseluruhan.[25] Oleh sebab itu, penganut Ahmadiyah menganggap bahwa, karena Ghulam Ahmad hanyalah seorang pengikut dan pembaharu iman Islam yang asli, klaimnya sebagai nabi pengikut (sama seperti Isa sebagai nabi pengikut ajaran Musa) sama sekali tidak melanggar Nabi Penutup (Muhammad). Selesainya kenabianKlaim Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi menciptakan perselisihan dengan arus utama Islam, karena dianggap melanggar ajaran Al Quran dan hadis. Secara khusus, ulama Islam melihat keyakinan Ahmadiyah bertentangan dengan ayat dalam Al Quran:
Khutbah Al-WadaDalam Khutbah Al Wada', yang disampaikan beberapa bulan sebelum kematiannya, Muhammad memperingatkan umatnya dan manusia secara keseluruhan:
Namun, penganut Ahmadiyah menafsirkan konteks hadits nabi terakhir untuk menandakan nabi pemberi hukum yang terbaik dan paling tinggi di antara semua nabi. Khutbah Al Wada' hanya menunjukkan bahwa tidak ada nabi yang akan datang segera setelah Muhammad meninggal. Gerakan Ahmadiyah menganggap bahwa tafsiran harfiah dari istilah "tidak ada nabi dan rasul sesudahku" dengan dibatasi begitu semangat oleh ulama Islam arus utama, dan sepenuhnya paradoks dengan pandangan mereka sendiri tentang hadis kedatangan Isa Almasih kedua kalinya. Apabila umat Islam arus utama memandang bahwa Nabi Isa turun dari langit secara jasmani pada akhir zaman, maka tidak masuk akal untuk menganggap bahwa nabi setelah Muhammad tidak akan datang sama sekali. Ijma' para sahabat Nabi tentang kematian Isa AlmasihUlama Ahmadiyah menyatakan bahwa saat Muhammad meninggal dunia, para Sahabat berduka. Umar yang belum menerima kabar kematian sang Nabi mengangkat pedang sembari berkata akan membunuh orang yang berkata bahwa Muhammad telah meninggal. Pada kesempatan itu Abu Bakar mengutip ayat Al Quran:
Penganut Ahmadiyah percaya bahwa tidak seorangpun sahabat yang menyatakan Nabi Isa hidup secara jasmani di surga maupun akan turun ke bumi pada akhir zaman secara jasmani juga. Dengan demikian menurut ayat-ayat Al Quran, Isa hanya mungkin meninggal secara alami. Pemenuhan nubuat AlmasihMirza Ghulam Ahmad menganggap riwayat hadis dan nubuat alkitabiah mengenai kedatangannya sebagai Mesias (Almasih) secara metaforis. Sebagai contoh dalam tulisannya, Izala-e-Auham Mirza Ghulam Ahmad berkata:
Pertempuran melawan DajjalMirza Ghulam Ahmad menguraikan gambaran Dajjal (Antikristus) seperti yang dinubuatkan dalam Injil dan diriwayatkan dalam hadis tentang kemunculannya. Sumber tersebut ditafsirkan dalam ajaran Ahmadiyah, dengan istilah metaforis menunjukkan sekelompok negara yang berpusat pada kedustaan. Dajjal digambarkan sebagai sistem terpadu, suatu rantai gagasan kedustaan yang menunjukkan rantai kesatuan sebagai sebuah golongan (bukan satu orang). Kekalahan Dajjal menurut tafsiran Ahmadiyah adalah dengan kekuatan nalar dan pendapat serta dengan menghadang kejahatannya melalui pikiran dan ajaran Almasih, alih-alih dengan cara peperangan fisik apapun; dengan daya dan upaya Dajjal yang berangsur-angsur hancur akhirnya memungkinkan pengenalan dan penyembahan kepada Allah sejalan dengan cita-cita Islam yang berlaku di seluruh dunia. Penghancuran salibAda hadis yang menceritakan Isa Almasih akan "menghancurkan salib" saat kedatangan kedua kalinya. Tafsiran Ahmadiyah mengenai hal ini adalah Almasih akan "menjelaskan kesalahan syahadat salib". Ajaran Ghulam Ahmad tentang Nabi Isa yang hidup dan mati sebagaimana manusia lainnya menunjukkan bahwa tafsiran tersebut sudah terpenuhi. Penganut Ahmadiyah percaya bahwa pengikut agama Kristen perlahan akan menerima ajaran yang sama dengan Ahmadiyah dan mereka akan mencabut keyakinan mereka tentang sifat ilahiah Yesus (Isa), keselamatan and kebangkitan. Konsekuensinya, pemujaan salib dalam Kristen tradisional dan doktrin kekalnya Yesus tidak dapat dipertahankan lagi. Berakhirnya perangPada tahun Ghulam Ahmad menyatakan bahwa pandangan jihad dengan pedang dan perang suci adalah penggambaran yang keliru terhadap Islam, yangterbentuk selama Abad Kegelapan. Ia menganjurkan agar pendangan ini harus diakhiri seluruhnya. Gerakan Ahmadiyah percaya bahwa jihad pedang tersebut hanya diizinkan untuk melindungi kebebasan beragama dan dalam persyaratan-persyaratan yang ketat (tidak hanya kepada Islam). Persyaratan tersebut tidak terpenuhi pada masa pemerintahan Inggris di India. Alhasil, Ahmadiyah mulala sangat dikecam beberapa kelompok, sebagian lagi menuduhkan konspirasi bahwa Ghulam Ahmad dijadikan sebagai pasifis oleh Inggris untuk menenangkan Islam. Penganut Ahmadiyah zaman modern percaya bahwa "Jihad dengan pena" (penalaran intelektual damai) adalah satu-satunya cara yang ampuh dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam. Oleh karena itu, sesuai ciri-ciri Almasih dalam hadis berkaitan dengan perang akhir zaman, gerakan ini menganggap pernyataan tersebut telah mencela "Jihad pedang" dan menganggap riwayat hadis yang berkaitan dengan berakhirnya perang telah dipenuhi oleh ajaran Ghulam Ahmad. Perjalanan ke IndiaMenurut Ghulam Ahmad, (selanjutnya dikembangkan oleh penulis Ahmadiyah berikutnya seperti Khwaja Nazir Ahmad pada tahun 1952), Nabi Isa mengajar kepada para muridnya dan orang-orang yang tinggal di Yudea. Setelah kejadian penyaliban, Isa tetap berada di sana selama beberapa waktu sebelum pergi. Isa dinyatakan sebagai penjahat sehingga memutuskan untuk meninggalkan Yudea bersama Maryam ibunya, Maria Magdalena istrinya dan Tomas muridnya. Setelah itu, mereka berkelana ke arah Asia. Dari Yudea ke IrakBersama tiga orang tersebut, Isa Almasih pergi ke Irak. Ia di sana bertemu dengan Ananias muridnya. Ia juga bertemu dengan Paulus, pesaingnya yang kemudian mengikuti ajarannya. Di Nusaybin, ia mendapat pertentangan dari seorang raja kejam, lalu ditangkap lagi. Isa Almasih bersama ibunya menampilkan mukjizat pada sang raja dan ia terkesan. Sang raja memberinya izin untuk pergi ke kerajaan Partia, di mana terdapat masyarakat Yahudi di sana. Dari Irak ke Iran dan AfghanistanDari Irak, Isa berangkat menuju Iran dan disambut dengan hormat oleh orang Yahudi Persia. Mereka telah tinggal di sana lima abad yang lalu, saat pembuangan ke Babilonia. Isa Almashi mengajar di sana dan berangkat ke Baktria (Afghanistan). Pada masa itu, Persia menjadi pusat bagi agama Yahudi. Isa Almasih memberitahu kedatangan nabi agung bernama Muhammad kepada murid-muridnya di sana, khususnya di sekitar Afghanistan. Ia bertemu raja Partia pertama yang kemudian menghormatinya. The Masyarakat Pashtun sendiri menganggap asal usul mereka berasal dari Bani Israil. Beberapa orang-orang Yahudi Persia yang menerima ajaran Isa Almasih kemudian menerima ajaran Islam. Qais Abdur Rashid, nenek moyang orang Pasthun dianggap sebagai salah seorang Bani Israil yang menerima Islam ini. Kashmir, Tibet dan IndiaAlasan datang ke IndiaMenurut sumber-sumber Ahmadiyah, suku-suku Israel yang merpindah ke timur tertarik dengan ajaran Hindu and Buddha dan lama-kelamaan menerima agama tersebut. Lama-kelamaan, mereka tidak lagi sadar dengan agama asal mereka. Isa dan Tomas kemudian tiba di India untuk mengembalikan mereka seperti semula. Yesus bertemu ShalivahanaMenurut bagian terakhir dari Bhavishya Purana, Isa Almasih bertemu dengan seorang raja Hindu bernama Shalivahana. Sang raja bersama sahabat-sahabatnya pergi ke puncak Himalaya untuk bertemu dengan seorang lelaki bermartabat berkulit putih dengan pakaian putih yang sedang duduk di gunung. Raja bertanya tentang siapa dia, lelaki itu menjawab, "Aku Almasih yang lahir dari seorang perawan." Ia bercerita pada raja bahwa ia datang dari tempat yang jauh di mana dia menderita di tangan orang-orangnya sendiri. Saat raja bertanya agama apa yang dianutnya, ia menjawab bahwa agamanya tentang damai, cinta dan kemurnian hati. Sang raja terkesan, jadi dia menaruh hormat padanya. Makam IsaSelama pencarian awal mengenai kematian Isa Almasih, Mirza Ghulam Ahmad mengemukakan dalil bahwa Isa dimakamkan di Galilea atau Syam. Setelah meneliti lebih lanjut ia mungkin mengungkapkan bukti lain dan menyimpulkan bahwa makam Isa berada di Roza Bal di Srinagar, Kashmir. Hal ini menjadi kepercayaan para penganut Ahmadiyah. Ghulam Ahmad, dan penulis Ahmadiyah kontemporer mengutip berbagai sumber yang mereka dapati untuk mengidentifikasi Roza Bal sebagai makam Isa: Bhavishya Purana, Tarikh-i-Kashmir, Qisa-shazada, Bagh-i-Sulaiman karya Mir Saadullah Shahabadi (1780), Wajizul Tawarikh, Ikmaluddin (962 AD), Ain-ul-Hayat, Kisah Rasul Tomas, Takhat Sulaiman ("Takhta Sulaiman", sebuah bukit di Kashmir), Tarikh-i-Kabir, dan Rauzat-us-Safa. Mereka percaya bahwa sumber tersebut menunjukkan Yus Azaf dan Isa sebagai orang yang sama. Mohi-ud-din Miskin adalah seorang sejarawan Ahmadiyah yang menulis sejak tahun 1902, tiga tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad. Ia menyebutkan bahwa "beberapa" (bukti) menghubungkan makam Yuz Asaf sebagai makam "Hazrat Isa Rooh-Allah." Makam yang dimaksud bernama "Roza Bal" atau "Rauza Bal." Rauza adalah istilah di India dan sekitarnya yang umumnya melekat pada makam orang-orang terhormat, misalnya raja atau wali. Fida Hassnain, sejarawan lokal dan pendukung teori makam Isa di Roza Bal, mengklaim bahwa makam tersebut dibuat dengan bagian kaki menghadap ke Yerusalem, persis dengan tradisi Yahudi. Masyarakat muslim di Srinagar umumnya menolak klaim Ahmadiyah bahwa Roza Bal adalah makam Isa dan menganggapnya sebagai bagian dari pelecehan agama. Makam MaryamKarya-karya Muslim dan Persia—Tafsir Ibnu Jarir, Kanz-al-Ummal, dan Rauzat-us-Safa—dianggap memiliki referensi yang mendukung teori keberangkatan Isa Almasih ke India. Beberapa di antaranya juga menyebutkan bahwa Nabi Isa didampingi Maryam ibunya, dan ada satu makam lain di Pakistan, yang dikenal sebagai Mai Mari da Ashtan, atau "tempat peristirahatan Ibunda Maryam".[26][27] Mengutip ayat Al Quran "Telah Kami jadikan (Isa) putra Maryam bersama ibunya sebagai tanda (kebesaran Kami) dan Kami lindungi mereka di sebuah dataran tinggi yang tenang untuk ditempati dengan air yang mengalir," (Al-Mu'minun ayat 50) penulis Ahmadiyah menganggap ayat tersebut sebagai bukti bahwa Maryam menemani Isa anaknya pergi ke timur. Lihat juga
Referensi
Daftar Pustaka
Pranala luar
|