Intervensi Jerman Terhadap ISISIntervensi Jerman terhadap ISIS (dengan nama sandi Operasi Kontra Daesh)[1] disahkan pada tanggal 4 Desember 2015. Keterlibatan Jerman dalam Perang Saudara Suriah dan Perang Saudara Irak (2014–2017) dimulai dengan misi Bundeswehr di Suriah dan Irak untuk memerangi organisasi teroris ISIS. Misi ini terutama dibentuk sebagai reaksi terhadap serangan Serangan Paris pada November 2015.[2]
SejarahPengerahan Bundeswehr telah dibahas sejak akhir November 2015 di lingkungan pemerintahan Jerman, diperdebatkan di parlemen dan diputuskan pada 4 Desember 2015 dengan suara mayoritas dari partai koalisi CDU dan SPD. Sebagai pembenaran dinyatakan bahwa serangan teroris di Tunisia, Turki, Beirut, terhadap Rusia dan khususnya di Paris telah menunjukkan bahwa organisasi teroris tersebut bertindak jauh melampaui wilayah yang mereka kuasai di Suriah dan Irak, sehingga mengancam kenyamanan dan keamanan Eropa. Selanjutnya dengan serangan di Paris ISIS telah menyerang Perancis dan sistem nilai liberal Eropa secara langsung. Secara hukum, hak untuk membela diri secara kolektif berdasarkan pasal 51 Piagam PBB disebut-sebut sebagai sebuah pembenaran. Selain itu, misi ini dirancang untuk melindungi masyarakat di wilayah tersebut dari kejahatan perang sistematis lebih lanjut. Bundeswehr membantu pasukan Prancis dengan enam pesawat pengintai Panavia Tornado (dikurangi menjadi 4 pada Oktober 2017) dan MRTT A310 yang dikerahkan ke Pangkalan Udara Incirlik di Turki , dan dengan sebuah fregat (hingga November 2017). Serangan bersenjata (seperti melancarkan serangan udara bersama koalisi anti-ISIS internasional) tidak dilakukan oleh Jerman. Kontingen yang terdiri dari 1.200 tentara merupakan pengerahan pasukan asing terbesar di Bundeswehr saat ini. Karena risiko yang terkait dengan situasi kompleks dalam Perang Saudara Suriah yang sedang berlangsung, kebijakan Pemerintah Federal dengan misi Bundeswehr menjadi kontroversial. Kritikus seperti Jakob Augstein, kolumnis sayap kiri majalah berita Jerman Der Spiegel, menjuluki misi tersebut sebagai "Perang Merkel", yang menjadikan Jerman sebagai "pihak perang". Selain itu, para kritikus khawatir bahwa risiko serangan teroris di Jerman kemungkinan besar akan meningkat. Mandat parlemen untuk misi tersebut berlaku hingga 31 Desember 2016. Mandat tersebut diperpanjang pada 10 November 2016 satu tahun lagi hingga 31 Desember 2017. Operasi militer tersebut dilaporkan menelan biaya 134 juta Euro. Setelah perselisihan dengan pemerintah Turki mengenai rencana kunjungan anggota parlemen Jerman ke Pangkalan Udara Incirlik , pada bulan Juni pemerintah Jerman memutuskan untuk menghentikan operasi mereka dari sana dan merelokasi 250 tentara Jerman, enam Tornado dan pesawat tanker MRTT A310 ke Muwaffaq Salti Pangkalan Udara di Yordania. Kapal tanker tersebut tiba di Yordania pada tanggal 9 Juli 2017, sementara keenam Tornado untuk sementara diterbangkan kembali ke Jerman. Empat di antaranya terbang ke Yordania dan tiba pada 4 Oktober 2017. Jerman mengurangi armada Tornado dari enam pesawat menjadi empat, dengan alasan kekuatan ISIS berkurang pada saat itu.[3] Saat berbicara pada peresmian markas besar badan intelijen luar negeri Jerman BND di Berlin pada 8 Februari 2019, Kanselir Angela Merkel menyatakan bahwa meskipun ISIS kehilangan sebagian besar wilayahnya dalam beberapa tahun terakhir, organisasi teror tersebut masih tetap menjadi "ancaman" di Suriah. ISIS “sedang berubah menjadi kekuatan perang yang asimetris. Dan ini, tentu saja, merupakan sebuah ancaman,” katanya. Merkel menyebutkan pemantauan situasi di Suriah sebagai prioritas utama BND. “Kita masih jauh dari perdamaian di Suriah,” tambahnya.[4] Pemerintah Jerman mengakhiri partisipasinya dalam operasi militer di Suriah pada Januari 2022 dan memperpanjang misinya di Irak selama sembilan bulan.[5] Referensi
|