Ignatius Dewanto
Komodor Udara (Anumerta) Ignatius Dewanto (lahir di Yogyakarta, Indonesia, 9 Agustus 1929 — 1970) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ignatius Dewanto lahir dari pasangan penganut Katolik yang taat, M. Marjahardjana dan Theresia Sutijem di Kalasan, Yogyakarta. Pemilik 16 Bintang Jasa ini, namanya diabadikan menjadi nama Auditorium "Graha Dewanto" di Pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun. Dan nama Lanud di Jajaran Koopsau III Lanud I.G Dewanto di Saumlaki, Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara. Ia juga merupakan Satu-satunya penerbang fighter TNI-AU yang menembak jatuh pesawat musuh hingga saat ini . Awal karier militerKarier militer Dewanto dimulai saat ia bergabung dengan Tentara Pelajar (TP). Dewanto tergabung ke dalam kesatuan Slamet Riyadi. Kariernya cukup gemilang hingga dipercaya sebagai kepala regu (1950). Sebelumnya (1948) pernah menjadi kepala pabrik granat di TP. Usai gencatan senjata (1948), Dewanto ditempatkan di Semarang khusus bagi TP yang mampu berbahasa Belanda untuk dijadikan counterpart antara polisi militer Belanda dengan tentara Indonesia. Tanggal 25 Juli 1950, lewat pengumuman Kementerian Pertahanan RI, dinyatakan bahwa Staf Angkatan Udara membutuhkan penerbang. Dewanto lantas mendaftar. Dewanto sempat dikirim ke Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), California, November 1950 untuk jadi penerbang. Setelah lulus, pada tahun 1954 Dewanto masuk Skadron Udara 3 tempat bercokolnya P-51 Mustang sebagai instruktur. Operasi militer melawan PermestaApron Liang, 18 Mei 1958. Kapten Udara Ignatius Dewanto tengah bersiap di kokpit P-51 Mustang. Pagi itu, dia ditugaskan menyerang pangkalan udara Aurev (Angkatan Udara Revolusioner, AU Permesta) di Sulawesi Utara. Saat itulah, hanya beberapa saat sebelum Dewanto take off menuju Manado, sebuah berita memaksanya membatalkan serangan ke Manado dan harus mengarahkan pesawat ke Ambon karena kota tersebut dibom oleh B-26 Invader Aurev. Ketika di udara, Dewanto mendapatkan Ambon mengepulkan asap di mana-mana. Puing-puing berserakan, menandakan baru saja mendapat serangan udara. Berputar sejenak, B-26 tak kunjung terlihat. Pesawat kemudian diarahkannya ke barat. Drop Tank dilepas untuk menambah kelincahan pesawat. Dewanto terbang rendah. Berbarengan saat pandangannya tertumbuk ke konvoi kapal ALRI, sekelebat dilihatnya pesawat B-26. Pesawat tersebut ternyata tengah melaju ke arah konvoi kapal. Dewanto terbang mengejar dan beruntung bisa menempatkan diri persis berada di belakang B-26. Walau sempat ragu karena posisi musuh tepat antara kapal dan dia, Dewanto langsung melontarkan roketnya dan tembakan senapan mesin M2 12,7 mm pesawatnya. Saat bersamaan, KRI Sawega, salah satu kapal dalam konvoi kapal ALRI, juga menembakkan senjatanya : Bofors 40mm, Oerlikon 20mm, M2 12,7 mm, M1917 7.62mm. Alhasil, B-26 yang diterbangkan seorang penerbang bayaran CIA bernama Allen Lawrence Pope beserta juru radio Hary Rantung (mantan AURI), terbakar dan tercebur ke laut. Bagi Dewanto, ketegangan belum berakhir. Saat dalam perjalanan pulang, Dewanto berpapasan dengan B-26 lainnya. Head on attack perang udara berhadap-hadapan tak terelakkan. Dengan beraninya Dewanto menghujani B-26 yang diterbangkan Connie Seigrist, penerbang bayaran CIA, dengan senapan mesinnya. Tidak ada pesawat yang jatuh dalam pertempuran udara kali ini, tapi kedua-duanya mengalami kerusakan pesawat yang cukup signifikan akibatnya.[1] Kontroversi siapa yang menembak jatuh B-26 Allen PopeSelama sidang peradilan militer untuk mengadili Pope, pihak AURI dan ALRI dengan segala macam argumentasinya saling mengklaim bahwa tembakan mereka yang berhasil merontokkan pesawat AUREV. Tanggal 11 Juni 1997, ketika menjawab pertanyaan Conboy, salah seorang penulis buku Feet to the Fire, Pope terus terang mengatakan tidak pernah tahu dengan persis. Pengakuan Harry Rantung bahwa dia hanya operator radio dan tak melihat (menurut Saleh Kamah) pesawat Dewanto, juga perlu dikoreksi. Tempat duduk Rantung dalam pesawat B-26 adalah di bagian ekor. Ia memang harus berada di sana, sebab tugasnya adalah sebagai penembak senapan mesin, seandainya pesawat tersebut dikejar lawan. Oleh karena itu dia memang juga menyaksikan, ketika sebuah Mustang (yang diterbangkan Dewanto) AURI melakukan pengejaran. Pengakuan tersebut juga dikemukakan oleh Rantung dalam persidangan Pope. Tetapi tembakan siapa yang menjatuhkan pesawat Pope, sampai sekarang memang masih tetap misteri. Inspektur Polisi Nurdin Baso di atas Kapal Sawega melihat dengan jelas sebuah Mustang berada di belakang B-26 yang sedang menyerang kapalnya. Secara otomatis dia memastikannya pesawat AUREV. Oleh karena ketika di Ambon, Nurdin Baso sudah pernah dua kali diserang pesawat serupa. Bersama teman-temannya di Sawega, mereka ramai-ramai langsung menembaki Mustang tersebut, dan memaksa Dewanto harus terbang menjauh. Ketika sedang menghindar, Dewanto tanpa sengaja justru bertemu dengan pesawat B-26 AUREV yang diterbangkan Connie Seigrist yang baru saja selesai menyerang Amahai. Mereka berdua kemudian melakukan dogfight dengan saling menembakkan senapan mesin. Keterbatasan bahan bakar menjadikan pertempuran udara tersebut berlangsung singkat oleh karena kedua-duanya kemudian saling menjauh. Gelar Penerbang Ulung (Flying Ace)Ketika Ignatius Dewanto menjadi penerbang pesawat tempur TNI-AU pertama dan satu-satunya yang berhasih mendapat satu kemenangan udara, ia sering dicap oleh masyarakat sebagai Ace karena aksi heroiknya, tetapi beliau belum memenuhi syarat menjadi seorang penerbang ulung / flying ace karena belum mejatuhkan lima atau lebih pesawat musuh dalam suatu pertempuran udara. Kemenangan Udara dan PenghargaanKlaim Kemenangan Udara[1]
Karier dan kehidupan selanjutnyaDewanto sempat menjabat Deputi Menteri/Pangau Urusan Operasi (diangkat 1 Juli 1965) menggantikan Marsekal Muda Udara Sri Mulyono Herlambang yang dipromosikan sebagai Menteri Negara diperbantukan Presiden. Seperti banyak nama lainnya, Dewanto sempat diamankan usai Gerakan September 1965. Dewanto ditahan beberapa bulan di kantor Pertahanan Udara Halim. Sementara Sri Mulyono di Nirbaya. Sebelum benar-benar terjun ke penerbang sipil, Dewanto sempat menjadi Atase Udara di Moskow (1966). Hanya setahun, dia kembali ke Indonesia dan akhirnya diberhentikan dengan hormat dari dinas tentara terhitung 31 Maret 1967. Pada tahun 1970, Dewanto diterima bekerja sebagai pilot pesawat sipil. Dia menerbangkan Piper PA-23 Aztec milik SMAC dari Medan ke Aceh. Namun Karena kerusakan mesin, pesawat tersebut jatuh dan menewaskan seluruh penumpangnya termasuk Dewanto.[2] Dewanto meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat terbang PA-23 Aztec milik Sabang Merauke Raya AC pada tahun 1970. Jenazahnya baru ditemukan delapan tahun kemudian. Atas izin Soeharto (waktu itu presiden), jenazah pahlawan AURI yang namanya diabadikan di gedung serbaguna "Dewanto" di Lanud Iswahyudi, Madiun, dan pemegang 16 tanda kehormatan ini dikebumikan di TMP Kalibata setelah disemayamkan di Mabes TNI AU Pancoran. Referensi
Pranala luar
|