Ibrahim dari Siak
Yang Dipertuan Besar Sayyid Ibrahim Syah atau Sultan Sayyid Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin dari Siak Sri Inderapura, merupakan putra dari Raja Sayyid Ali, Yang Dipertuan Besar Siak.[1] BiografiSetelah ayahanda beliau, Sultan Sayyid Ali turun tahta pada tahun 1811, ia dinobatkan dengan gelar Sultan Assaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin Syah dan memerintah dari tahun 1811-1827. Pada masa beliau Siak mengalami penurunan sehingga banyak penduduk yang berpindah ke kepulauan seperti Bintan, Lingga, Tambelan bahkan ke Trengganu dan Pontianak. Pada tanggal 31 Agustus 1818 beliau mengadakan perjanjian dagang dengan Kolonel William Farquhar (Kepala Perwakilan Perusahaan Hindia Timur Britania di Penang). Ternyata Inggris juga tertarik untuk menanamkan pengaruh di Siak.. Balanda yang tidak menyukai rencana itu segara mengutus Kapten D. Buys untuk mengadakan perjanjian dengan Siak tahun 1822. Perjanjian yang berlangsung di Bukit Batu ini untuk memperbarui kontrak dagang tahun 1761 yang menyebutkan bahwa Siak tidak diperkenankan mengadakan ikatan dagang dengan negara-negara selain Belanda. Perjanjian itu diterima sultan karena tekanan-tekanan dari pihak Belanda, walaupun banyak pembesar-pembesar Siak yang tidak menyetujuinya.[2] Tahun 1823 Inggris mengutus Anderson untuk mengokohkan perjanjian lalu dengan Farquhar. Sepulangnya dari Siak, Anderson membawa surat dari Sultan Sayyid Ibrahim untuk Gubernur Philips di Penang yang isinya bahwa sultan tidak mengizinkan Belanda dan bangsa-bangsa lain menduduki dan mengibarkan bendera mereka di Siak. Anderson kemudian ditegur oleh Philips karena perutusannya ke Siak semata untuk urusan dagang, bukan urusan diplomatik. Philips lalu membalas surat sultan menegaskan bahwa maksud mereka hanyalah untuk memperkuat perjanjian dengan Farquhar bukan untuk mengikat aliansi politik.[2] Tindakan Anderson tersebut didengar oleh Belanda yang langsung mengirimkan Minyoot guna berunding dengan sultan untuk mengubah kontrak tahun 1822. Sultan memungkiri telah mengikat aliansi dengan Anderson dan mengulur waktu dan janji untuk mengirim utusan kepada Gubernur Belanda di Malaka. Pertentangan Belanda dan Inggris diakhiri dengan Traktat London 17 Maret 1824.[2] Kelemahan sultan dalam menghadapi Belanda ini memicu ketidak senangan dari kalangan istana. Hal tersebut kemungkinan karena kelemahan fisik sultan yang sering sakit-sakitan dan agak terganggu jiwanya setelah kemangkatan ayahandanya Sayyid Ali. Maka pada tahun 1877, para pembesar kerajaan bersama dengan Sultan Hasyim dari Pelalawan bersidang untuk menurunkan sultan dan menunjuk Tengku Ismail anak Tengku Muhammad sebagai sultan yang baru.[2] RujukanDaftar kepustakaan
|