Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang berkonsentrasi pada bidang filsafat akhlak.[1] Dia lahir di Ray Iran pada tahun 330 H/932 M menetap di Isfahan[2] dan meninggal tahun 421 H/1030 M.[1][3] Ibnu Miskawaih melewatkan seluruh masa hidupnya pada masa kekhalifahan Abassiyyah yang berlangsung selama 524 tahun, yaitu dari tahun 132 sampai 654 H /750-1258 M.[4] Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad ibn Ya'kub Ibnu Maskawaih.[5][6][7] Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak daripada sebagai cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran, ketuhanan, maupun agama.[1] Dia adalah orang yang paling berjasa dalam mengkaji akhlak secara ilmiah.[3] Bahkan pada masa dinasti Buwaihi, dia diangkat menjadi sekretaris dan pustakawan.[3][6] Dulu sebelum masuk Islam, Ibnu Miskawaih adalah seorang pemeluk agama Magi, yakni percaya kepada bintang-bintang.[6] Konsep Pemikiran Ibnu MiskawaihGayanya yang menyatukan pemikiran abstrak dengan pemikiran praktis membuat pemikirannnya sangat berpengaruh.[4] Terkadang Ibnu Miskawaih hanya menampilkan aspek-aspek kebijakan dari kebudayaan-kebudayaan sebelumnya, terkadang dia hanya menyediakan ulasan praktis tentang tentang masalah-masalah moral yang sulit untuk diuraikan.[4] Filosofinya sangat logis dan menunjukkan koherensi serta konsistensi.[4] Konsep tentang TuhanBagi Ibnu Miskawaih, Tuhan adalah Zat yang jelas atau tidak jelas; jelas karena Tuhan adalah yang haq (benar), sedang tidak jelas karena kelemahan akal manusia untuk menangkap keberadaan Tuhan serta banyaknya kendala kebendaan yang menutupinya.[1] Tentu saja ketidaksamaan wujud manusia dengan wujud Tuhan menjadi pembatas.[1] Menurutnya, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah akal aktif, yaitu tanpa perantara sesuatu pun yang bersifat kekal, sempurna, dan tak berubah.[1] Konsep tentang AkhlakMenurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu.[8] Karakteristik pemikiran Ibnu Miskawaih dalam pendidikan akhlak secara umum dimulai dengan pembahasan tentang akhlak (karakter/watak).[9] Menurutnya watak itu ada yang bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan.[9] Dia berpikir bahwa kedua watak tersebut hakekatnya tidak alami meskipun kita lahir dengan membawa watak masing-masing, tetapi sebenarnya watak dapat diusahakan melalui pendidikan dan pengajaran.[9] Konsep tentang ManusiaSelanjutnya adalah pemikiran Ibnu Miskawaih tentang manusia.[9] Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang manusia tidak jauh berbeda dengan para filosof lain.[9] Menurutnya di dalam diri manusia terdapat tiga daya, yakni daya nafsu (al-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya paling rendah, daya berani (al-nafs al-sabu'iyyat sebagai daya pertengahan, dan daya berpikir (al-nafs al-nathiqah)sebagai daya tertinggi.[9] Dia sering menggabungkan aspek-aspek Plato, Aristoteles, Phytagoras, Galen, dan pemikir lain yang telah dipengaruhi filosofi Yunani.[4] Namun ini bukanlah suatu penjarahan budaya,melainkan usaha kreatif menggunakan pendekatan-pendekatan berbeda ini untuk menjelaskan masalah-masalah penting.[4] Karya-karya Ibnu MiskawaihIa telah menyusun kitab Tahdzibul achlaq wa tathhirul a'raaq.[3] Kemudian karyanya yang lain adalah Tartib as Sa'adah, buku ini berisi tentang akhlak dan politik.[4] Ada juga Al Musthafa (syair pilihan), Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak), As Syaribah (tentang minuman).[4] Dalam bidang sejarah, karyanya Tajarib Al-Umam (pengalaman bangsa-bangsa) menjadi acuan sejarah dunia hingga tahun 369 H.[4] Karya-karya Ibnu Miskawaih dalam bidang etika dinilai jauh lebih penting daripada karya-karyanya dalam bidang metafisika.[4] Bukunya Taharat Al A'raq (Purity of Desposition), yang lebih dikenal dengan nama Tahdhib Al Akhlaq ( Cultivation of Morals), menjelaskan tentang jalan untuk meraih kestabilan akhlak yang tepat dalam perilaku yang teratur dan sistematis.[4] Referensi
|