I Gusti Ayu Kadek MurniasihI Gusti Ayu Kadek Murniasih atau dikenal dengan I GAK Murniasih (Murni, sapaan akrabnya) merupakan perempuan perupa yang lahir di Tabanan, Bali pada tahun 1966. Karyanya menyuarakan tentang perjuangan perempuan.[1] Murni meninggal dunia pada tahun 2006 akibat sakit yang dideritanya. Pada tahun 2016, untuk mengenang 10 tahun kepergiannya, sebuah pameran didedikasikan untuknya dengan tajuk "Merayakan Murni" di Sudakara Art Space. Pameran ini diinisiasi oleh Ketemu Project Space dan Mondo, dengan menghadirkan sejumlah seniman antara lain Wawi Navarozza, Imhathai Suwatthanasilp, Mondo, Ototol, Mella Jaarsma, Citra Sasmita, dan Mintio. Latar belakangMurni adalah anak ke-10 dari seorang petani di Jembrana yang transmigrasi ke Sulawesi Selatan. Di usia yang muda, Murni pernah bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga, juga di industri tekstil yang dimiliki keluarga tersebut, dan diajak pindah ke Jakarta. Setelah bekerja beberapa tahun, ia memutuskan untuk pindah ke Bali dan bekerja sebagai pengrajin perak. Di Bali Murni bertemu dengan jodohnya yang merupakan orang Bali dan menikahinya. Namun, karena sang suami menginginkan anak, ia lalu mendekati perempuan lain dan Murni tidak menerimanya. Murni lalu menggugat cerai dan berhasil mendapatkan keputusan tersebut pada tahun 1993 dan menjadi perempuan Bali pertama yang melakukannya.[2] MelukisMurni belajar melukis bersama dengan Edmondo Zanolini pada seorang pelukis tradisi asal Pengosekan (Ubud) yaitu Dewa Putu Mokoh. Dari kedua orang inilah, Murni memperoleh kemampuan dasarnya dalam mengolah visual di atas kanvas. Mondo yang kemudian dikenal sebagai pasangan hidup Murni, merupakan seorang seniman dan sutradara berkebangsaan Italia yang sempat bermukim di Bali pada akhir tahun 80-an. Meski belajar melukis pada seorang pelukis tradisional, tetapi tidak membatasi karya-karya Murni pada bentuk tradisional. Jejak gaya Pengosekan kemudian tampak pada teknik melukisnya saja, sementara secara tematik pada karya-karya Murni telah berkembang jauh. Penulis Jean Couteau menyatakan bahwa Murni sudah berpikir lebih kedepan dalam menggunakan gaya lukis Pengosekan-nya.[3] Tema lukisanPada karya Murni, tema seksualitas perempuan menjadi sangat dominan, hal ini ternyata sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup personalnya. Lukisan Murni merujuk ke suatu benda yang juga berhubungan dengan fenomena di hidupnya. Dimulai dari sepatu yang notabene feminin dan universal sampai organ tubuhnya. Karakter lukisnya adalah karakter pribadinya yang fenomenal dengan gambar liar dan absurd. Temanya berdasarkan pengalaman, alam bawah sadarnya maupun citra dirinya, dengan narasi pada riri, juga pada seksualitas manusia.[2] Murni pernah menyatakan di suatu interview bersama Seniwati Gallery bahwa dirinya diperkosa oleh ayahnya. Ia berani menyatakannya setelah membuat suatu patung lunak yang menceritakannya. Ia menyatakan bahwa ia merasa ‘dirusak’ - sambil menunjuk – di kepalanya, di jantung, dan di kelamin. Ini menimbulkan trauma pada dirinya. Dengan itu, trauma itu tertuang dalam lukisannya yang suka dikatakan pornografi, tabu dan nakal. Padahal, ia hanya ingin menyembuhkan dirinya melalui melukis. Ia menyatakan, “Saya melukis apa kejadian saya hari ini, apa kejadian saya kemarin. Saya bikin simpel aja karya saya. Tidak sulit-sulit.”[4] PameranPada masa awal tahun 90-an, karya-karya murni mulai dikenal publik seni melalui Seniwati Gallery di Ubud. Sebuah ruang seni yang khusus menghadirkan karya-karya dari para seniman perempuan. Galeri Seniwati didirikan oleh seorang perempuan berkebangsaan Inggris bernama Mary Northmore. Galeri Seniwati kemudian berkembang menjadi semacam komunitas untuk para seniman perempuan dan berregenerasi hingga kisaran tahun 2013, sebelum akhirnya membubarkan diri. Melalui galeri Seniwati inilah, lukisan Murni kemudian dikenal luas hingga bisa dipamerkan oleh Cemeti Contemporary Art Gallery (kini Cemeti Institute) pada tahun 1995, hingga kemudian direpresentasikan oleh galeri Nadi di Jakarta pada medio 2000-an. Referensi
|