Hukum kewarganegaraan Israel
Hukum kewarganegaraan Israel mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk memperoleh kewarganegaraan Israel. Dua undang-undang utama yang mengatur persyaratan ini adalah Undang-Undang Kepulangan tahun 1950 dan Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1952. Setiap orang Yahudi mempunyai hak tak terbatas untuk berimigrasi ke Israel dan menjadi warga negara Israel. Adapun individu yang lahir di luar negeri akan menerima kewarganegaraan Israel saat lahir jika salah satu orang tuanya adalah warga negara Israel. Orang asing non-Yahudi dapat menjalani naturalisasi setelah tinggal di sana setidaknya selama tiga tahun dengan memiliki izin tinggal permanen dan mahir berbahasa Ibrani. Warga non-Yahudi yang melakukan naturalisasi juga diharuskan untuk meninggalkan kewarganegaraan mereka sebelumnya, sementara imigran Yahudi tidak dibebani persyaratan ini. Kawasan yang kini bernama Israel sebelumnya bernama Palestina dan diperintah oleh Kerajaan Inggris sebagai bagian dari mandat Liga Bangsa-Bangsa dan penduduk lokalnya dilindungi UU Inggris. Pembubaran mandat pada tahun 1948 dan konflik yang terjadi selanjutnya menciptakan problematika kewarganegaraan yang kompleks bagi penduduk non-Yahudi di wilayah tersebut yang tak kunjung tuntas. Meskipun pemukim Arab Palestina pra-1948 dari bekas mandat dan keturunan mereka yang masih tinggal di Israel menerima kewarganegaraan Israel pada 1980, sebagian besar penduduk di Tepi Barat dan Jalur Gaza dianggap tak bernegara. TerminologiPerbedaan antara makna kewarganegaraan dan kebangsaan tidak jelas dan bervariasi di setiap negara. Secara umum, kebangsaan mengacu pada kepemilikan sah seseorang terhadap suatu negara dan merupakan istilah umum yang digunakan dalam perjanjian internasional ketika merujuk pada anggota suatu negara; sementara kewarganegaraan mengacu pada serangkaian hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang di negara itu.[3] Dalam konteks Israel, kewarganegaraan tak terkait dengan asal-usul seseorang dari wilayah tertentu tetapi didefinisikan secara lebih luas. Meskipun istilah tersebut digunakan di negara lain untuk menunjukkan etnis seseorang, maknanya dalam hukum Israel sangat luas dengan memasukkan siapa pun yang menganut agama Yudaisme beserta keturunannya.[4] Mereka yang berbangsa Yahudi merupakan bagian inti dari kewarganegaraan Israel,[5] sementara Mahkamah Agung Israel telah memutuskan bahwa tidak ada kebangsaan Israel.[5][6] Undang-undang lain telah menetapkan Israel sebagai negara bangsa Yahudi sejak tahun 2018.[7] SejarahStatus nasional di bawah mandat InggrisPalestina ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1516. Dengan demikian, hukum kewarganegaraan Utsmani berlaku di wilayah tersebut. Palestina diperintah oleh Turki Utsmani selama empat abad hingga pendudukan Inggris pada tahun 1917 setelah Perang Dunia Pertama.[8] Wilayah tersebut secara nominal tetap menjadi wilayah Utsmaniyah setelah berakhirnya perang hingga Inggris memperoleh mandat dari Liga Bangsa-Bangsa untuk mengurus wilayah tersebut pada tahun 1922. Dengan demikian, penduduk setempat masih memiliki status kewarganegaraan Utsmani, meskipun pemerintah Inggris mulai mengeluarkan sertifikat kewarganegaraan sementara setelah dimulainya pendudukan.[9] Ketentuan mandat tersebut memungkinkan Inggris untuk mengecualikan penerapannya di bagian tertentu di kawasan, yakni di tepi timur Sungai Yordan,[10] di mana Keamiran Transyordania berdiri.[11] Perjanjian Lausanne menetapkan dasar bagi kewarganegaraan yang terpisah di Mandat Palestina dan semua wilayah lain yang diserahkan oleh Kesultanan Utsmaniyah. Pada 1925, pemerintahan Mandat Palestina tahun 1925 mengesahkan peralihan dari kewarganegaraan Utsmani ke kewarganegaraan Palestina;[12] seluruh rakyat Utsmani yang tinggal tetap di Palestina pada tanggal 1 Agustus 1925 secara otomatis menjadi warga negara Palestina pada tanggal tersebut.[13] Warga negara Utsmani yang berasal dari wilayah Mandat tetapi tinggal tetap di wilayah lain pada tanggal 6 Agustus 1924 mempunyai hak untuk memilih kewarganegaraan Palestina, di mana tenggat waktu dua tahun ditetapkan sejak ketentuan tersebut diberlakukan dan melalui persetujuan pemerintah Mandat.[14] Hak untuk memilih ini kemudian diperpanjang hingga 24 Juli 1945.[13] Amandemen tahun 1931 secara otomatis memberikan kewarganegaraan Palestina kepada warga negara Utsmani yang menetap di Palestina pada tanggal 6 Agustus 1924 tetapi tinggal tetap di luar negeri sejak sebelum tanggal 1 Agustus 1925, kecuali mereka secara sukarela memperoleh kewarganegaraan lain sebelum tanggal 23 Juli 1931.[13] Anak-anak sah dari seorang ayah Palestina secara otomatis memiliki kewarganegaraan Palestina. Siapa pun yang lahir di luar kondisi ini dan tidak memiliki kewarganegaraan lain saat lahir juga secara otomatis memperoleh status kewarganegaraan. Orang asing dapat memperoleh kewarganegaraan Palestina melalui naturalisasi setelah tinggal di wilayah tersebut setidaknya selama dua dari tiga tahun sebelum permohonan, memenuhi persyaratan bahasa (fasih berbahasa Inggris, Ibrani, atau Arab), menegaskan niat mereka untuk tinggal secara permanen di wilayah Mandat, dan berperilaku baik.[13] Meskipun Inggris memiliki kedaulatan atas Palestina, hukum dalam negeri Inggris memperlakukan Palestina sebagai wilayah asing. Penduduknya diperlakukan sebagai orang yang sebatas dilindungi, tetapi bukan WN Inggris, yang berarti bahwa mereka adalah orang asing di Inggris yang diberikan paspor Mandat Palestina oleh otoritas Inggris. Mereka tidak dapat berkunjung ke Inggris tanpa terlebih dahulu meminta izin, tetapi diberikan perlindungan konsuler yang sama seperti WN Inggris lainnya ketika bepergian ke luar teritori Inggris Raya.[15] Peraturan ini berlanjut hingga berakhirnya mandat pada tanggal 14 Mei 1948,[16] tanggal yang sama ketika Negara Israel berdiri.[17] Transisi pasca-1948Selama empat tahun pertama setelah pendiriannya, Israel tidak memiliki undang-undang kewarganegaraan sehingga secara teknis tidak memiliki warga negara.[1] Hukum internasional biasanya mengakui keberlanjutan hukum negara pendahulu jika terjadi suksesi negara.[18] Namun, terlepas dari status Israel sebagai negara penerus Mandat Palestina,[19] pengadilan Israel selama ini memiliki pendapat yang berbeda mengenai keberlakuan undang-undang kewarganegaraan buatan Inggris.[20] Meskipun hampir semua pengadilan menyatakan bahwa kewarganegaraan Palestina sudah batal pada akhir mandat pada tahun 1948 tanpa adanya pengganti, ada satu kasus di mana para hakim memutuskan bahwa semua penduduk Palestina pada saat berdirinya Israel secara otomatis adalah warga negara Israel.[18] Mahkamah Agung Israel menyelesaikan masalah ini pada tahun 1952, dengan memutuskan bahwa WN Palestina di masa Mandat Inggris tidak serta merta menjadi WN Israel.[21] Kebijakan kewarganegaraan Israel berpusat pada dua undang-undang awal: Undang-Undang Kepulangan 1950 dan Undang-undang Kewarganegaraan 1952.[22] UU Kepulangan menjamin hak setiap orang Yahudi dari seluruh dunia untuk bermigrasi dan bermukim di Israel, memperkuat prinsip utama zionisme tentang berkumpulnya semua orang Yahudi di tanah air tradisional mereka.[23] Undang-Undang Kewarganegaraan memerinci persyaratan kewarganegaraan Israel, tergantung pada afiliasi agama seseorang,[24] dan secara eksplisit mencabut semua undang-undang yang sebelumnya diberlakukan Inggris terkait kewarganegaraan Palestina.[25] Status Arab PalestinaMenyusul kemenangannya dalam Perang Arab-Israel 1948, Israel menguasai sebagian besar bekas wilayah Mandat Palestina, termasuk sebagian besar wilayah yang diperuntukkan bagi pribumi Arab berdasarkan Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Palestina. Tepi Barat diperintah oleh Yordania sementara Jalur Gaza berada di bawah kendali Mesir.[26] UNRWA memperkirakan 720.000 orang Palestina menjadi pengungsi selama perang,[27] dan hanya 170.000 yang tersisa di Israel setelah proklamasi negara tersebut.[28] Meskipun ada dukungan internasional terhadap pemulangan warga Palestina yang telantar setelah perang berakhir, pemerintah Israel tidak mau mengizinkan penduduk yang bermusuhan memasuki perbatasannya dan mencegah mereka pulang. Keputusan ini mendapat pembenaran seiring terus berlanjutnya serangan pejuang Arab ke wilayah Israel serta retorika resmi dari negara-negara Arab tetangga yang menuntut penghapusan Israel. Israel memandang hak warga Palestina untuk kembali ke wilayah mana pun sebagai ancaman nyata terhadap keamanannya.[29] Pemukim Yahudi pada saat berdirinya Israel diberikan kewarganegaraan Israel berdasarkan hak kepulangan, tetapi warga Palestina non-Yahudi tunduk pada persyaratan tempat tinggal yang ketat untuk mengklaim status tersebut. Mereka hanya dapat memperoleh kewarganegaraan berdasarkan tempat tinggal mereka pada tahun 1952 jika mereka merupakan warga negara Mandat Inggris sebelum tahun 1948, telah terdaftar sebagai penduduk Israel sejak Februari 1949 dan tetap terdaftar, serta belum meninggalkan negara tersebut sebelum mengklaim kewarganegaraan.[30] Persyaratan ini dimaksudkan untuk secara sistematis mengecilkan partisipasi minoritas Arab di negara tersebut.[27] Sekitar 90 persen penduduk Arab yang tetap tinggal di Israel tidak memperoleh kewarganegaraan berdasarkan persyaratan ini dan karenanya tidak memiliki status kebangsaan.[31] Warga Palestina yang berhasil kembali ke rumah mereka di Israel setelah perang tidak memenuhi persyaratan kewarganegaraan berdasarkan undang-undang 1952. Mereka tetap tinggal di Israel tetapi tidak memiliki kewarganegaraan atau status kependudukan. Keputusan Mahkamah Agung tahun 1960 berupaya mengatasinya sebagian dengan mengizinkan penafsiran yang lebih longgar tentang persyaratan tempat tinggal; individu yang memiliki izin untuk sementara waktu meninggalkan Israel selama atau segera setelah konflik memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan, meskipun ada perbedaan tempat tinggal. Knesset mengamandemen Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun 1980 untuk sepenuhnya menyelesaikan masalah penduduk tanpa kewarganegaraan ini; semua penduduk Arab yang pernah tinggal di Israel sebelum tahun 1948 diberikan kewarganegaraan terlepas dari kelayakan mereka menurut persyaratan tahun 1952, beserta pula anak-anak mereka.[32] Warga Palestina yang melarikan diri ke negara-negara tetangga tidak diberikan kewarganegaraan di sana dan tetap tidak memiliki kewarganegaraan kecuali mereka yang tinggal di Yordania.[33] Meskipun Yordania telah kehilangan kendali atas Tepi Barat setelah Perang Enam Hari 1967,[34] Yordania tetap mempertahankan klaim kedaulatannya atas wilayah tersebut hingga tahun 1988, ketika Yordania melepaskan klaim tersebut dan secara sepihak memutuskan semua hubungan dengan wilayah itu. Warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat kehilangan kewarganegaraan Yordania sementara mereka yang tinggal di wilayah lain di Yordania terus menyandang status tersebut.[33] Wilayah pendudukanIsrael merebut Yerusalem Timur pada tahun 1967 setelah Perang Enam Hari, dan menggabungkannya ke dalam pemerintahan kota Yerusalem Barat. Penduduk Arab di Yerusalem Timur tidak otomatis menjadi warga negara Israel tetapi diberi status penduduk permanen. Kendati mereka boleh mengajukan permohonan naturalisasi, hanya sedikit yang mengajukan permohonan karena persyaratan fasih berbahasa Ibrani dan penolakan mereka untuk mengakui kendali Israel atas Yerusalem.[35] Setelah disahkannya Undang-Undang Yerusalem tahun 1980, Mahkamah Agung menganggap wilayah tersebut telah resmi di bawah kekuasaan penuh Israel.[36] Sekitar 19.000 penduduk, yang meliputi lima persen populasi Arab Palestina di Yerusalem Timur menyandang status kewarganegaraan Israel pada 2022.[37] Demikian pula dengan Dataran Tinggi Golan yang dijajah oleh Israel pada tahun 1981 dan orang Druze diberikan status penduduk permanen. Meskipun memenuhi syarat untuk dinaturalisasi menjadi WN Israel, Warga Druze di Golan sebagian besar masih mempertahankan kewarganegaraan Suriah.[38] Hanya sekitar 4.300 dari 21.000 warga Druze yang tinggal di wilayah tersebut yang berstatus WN Israel pada tahun 2022.[39] Sebelum kemerdekaan Suriah, wilayah ini merupakan bagian dari Mandat Prancis di Suriah dan Lebanon.[40] Penerapan hukum Israel dan aneksasi efektif terhadap Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan dianggap oleh Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB sebagai tindakan agresi ilegal.[41] Kualifikasi berdasarkan hak kepulanganYahudi murtad dan tidak beragamaMeskipun Undang-Undang Kepulangan memberikan setiap orang Yahudi hak untuk berimigrasi ke Israel, teks asli dan semua produk undang-undang turunannya sampai saat ini tidak memiliki definisi yang jelas mengenai kriteria seseorang dianggap sebagai Yahudi.[42] Pemerintah dan otoritas agama terus menerus berbeda pendapat mengenai arti kata tersebut beserta penerapannya pada undang-undang tersebut, dengan beberapa organisasi menganggap agama dan kebangsaan Yahudi sebagai konsep yang sama. Salah satu organisasi politik tersebut adalah Partai Mafdal, yang mengendalikan Kementerian Dalam Negeri hingga tahun 1970. Oleh karena itu, UU Pemulangan pada periode ini ditafsirkan secara ketat berdasarkan halakha (syariat agama Yahudi); seorang Yahudi didefinisikan sebagai siapa pun yang lahir dari ibu Yahudi. Meskipun Israel bukanlah negara teokrasi, Yudaisme memiliki peran sentral dalam politik Israel karena tujuan utama penubuhan negara tersebut adalah untuk menciptakan negara Yahudi yang berdaulat.[43] Ketidakjelasan hukum ini diuji dalam kasus Rufeisen versus Mendagri kala Oswald Rufeisen, seorang Yahudi-Polandia yang telah memeluk Katolik Roma, diputuskan tidak lagi memenuhi kriteria sebagai seorang Yahudi dikarenakan telah pindah agama.[44] Murtad dari Yudaisme dianggap sebagai tindakan pemisahan diri yang disengaja dari identitas nasional Yahudi. Mahkamah Agung menguraikan hal ini dalam kasus Shalit versus Mendagri tahun 1969, yang memutuskan bahwa anak-anak dari orang Yahudi yang tidak menjalankan praktik keagamaan Yahudi akan tetap dianggap Yahudi. Berbeda dengan Rufeisen, anak-anak tersebut tidak melakukan tindakan yang dapat dianggap memisahkan diri. Namun, keputusan ini menciptakan pemisahan antara agama Yahudi dan interpretasi hukum keanggotaan orang Yahudi sehingga memerlukan klarifikasi legislatif.[45] Undang-Undang Kepulangan diamandemen pada tahun 1970 untuk memberikan penjelasan yang lebih perinci tentang siapa yang memenuhi syarat: seorang Yahudi berarti setiap orang yang lahir dari ibu seorang Yahudi, atau seseorang yang telah berpindah agama ke Yudaisme dan bukan merupakan penganut agama lain. Amandemen tersebut juga memperluas hak kepulangan ke Israel dengan menyertakan anak, cucu, dan pasangan seorang Yahudi, beserta pasangan dari anak dan cucu mereka.[46] Hak ini diberikan meskipun faktanya tidak semua orang yang telah disebutkan berhak disebut Yahudi menurut halakha.[47] Undang-undang Kewarganegaraan diamandemen pada tahun 1971 untuk memungkinkan setiap orang Yahudi yang secara resmi menyatakan keinginannya untuk bermigrasi ke Israel segera menjadi WN Israel, tanpa persyaratan apa pun untuk memasuki wilayah Israel. Perubahan ini dilakukan untuk memfasilitasi emigrasi dari Uni Soviet, yang secara rutin ditolak visa keluarnya,[48] terutama setelah Perang Enam Hari tahun 1967.[49] Migrasi dari Uni Soviet tetap pada tingkat yang rendah sampai pembatasan emigrasi dilonggarkan pada akhir tahun 1980-an.[24] Kebanyakan orang Yahudi Soviet yang beremigrasi pada mulanya menjadikan Amerika Serikat sebagai tujuan dengan beberapa lainnya memilih Jerman.[50][51] Namun, negara-negara ini segera memberlakukan pembatasan ketat terhadap imigran Yahudi dari Uni Soviet atas permintaan Israel, yang bertujuan untuk mengalihkan aliran imigran itu ke negaranya. AS mulai memberlakukan kuota masuk sebanyak 50.000 orang pada tahun 1990, sementara Jerman membatasi penerimaan pada tahun 1991 hanya bagi orang Yahudi yang dapat membuktikan keturunan Jerman. Jumlah orang Yahudi Soviet yang beremigrasi ke Israel meningkat tajam dari hanya 2.250 pada tahun 1988 menjadi lebih dari 200.000 pada tahun 1990[52] dan tetap pada tingkat yang tinggi setelah pembubaran Uni Soviet pada tahun 1991 dan krisis finansial Rusia tahun 1998. Sekitar 940.000 orang Yahudi dari bekas Uni Soviet bertolak ke Israel antara tahun 1989 dan 2002. Sebagian besar gelombang migran ini adalah orang Yahudi yang tidak taat dan sekuler; sebagian besar tidak dianggap Yahudi berdasarkan halakha, tetapi memenuhi syarat untuk berimigrasi menurut UU Kepulangan.[53] Pengakuan terhadap Yahudi non-Ortodoks dan kasus-kasus tidak biasaDefinisi Yahudi dalam amandemen Undang-Undang Kepulangan tahun 1970 tidak menyinggung definisi "konversi" dan ditafsirkan untuk memungkinkan umat Yahudi dari latar belakang apa pun memenuhi syarat agar mendapat hak kepulangan. Kepala Kerabian Israel menganut penafsiran Ortodoks atas halakha dan merupakan lembaga paling otoritatif untuk masalah keagamaan Yahudi di Israel, yang telah menyebabkan perselisihan mengenai apakah orang yang berpindah ke aliran non-Ortodoks dapat diakui sebagai Yahudi.[54] Orang asing yang berpindah agama ke Yahudi Konservatif atau Reformasi di dalam negeri berhak mendapatkan kewarganegaraan berdasarkan UU Kepulangan sejak tahun 2021.[55] Kendati demikian, baik Kepala Kerabian maupun Mahkamah Agung menganggap pengikut Yahudi Mesianik sebagai umat Kristen dan secara khusus melarang mereka untuk mendapat hak kepulangan,[56] kecuali jika mereka berdarah Yahudi.[57] Yahudi Etiopia, juga dikenal sebagai Beta Israel, hidup sebagai komunitas terisolasi yang jauh dari arus utama Yudaisme setidaknya sejak Abad Pertengahan Awal sebelum kontak mereka dengan dunia luar pada abad ke-19. Selama pemisahan mereka yang berkepanjangan, populasi ini mengembangkan sejumlah praktik keagamaan yang sangat dipengaruhi oleh Kekristenan Koptik yang membuatnya berbeda dari praktik keagamaan aliran Yahudi lainnya.[58] Status mereka sebagai Yahudi diperdebatkan sampai Kepala Kerabian mengakui kelompok ini sebagai Yahudi pada tahun 1973 sembari mendorong imigrasi mereka ke Israel.[59] Setelah revolusi komunis dan merebaknya Perang Saudara Etiopia, pemerintah membawa 45.000 orang ke Israel. Jumlah tersebut mencakup hampir seluruh populasi Yahudi di Etiopia.[60] Di antara yang bermigrasi bersama Beta Israel adalah Falash Mura, orang Yahudi yang masuk Kristen agar mudah berbaur dengan masyarakat Etiopia tetapi sebagian besar tetap terkait dengan komunitas Yahudi. Keputusan menteri pada tahun 1992 memutuskan komunitas ini tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan hak kepulangan. Namun, beberapa migran diizinkan masuk ke Israel untuk reunifikasi keluarga.[61] Keputusan pemerintah selanjutnya mengizinkan lebih banyak orang Falash Mura untuk bermigrasi, dengan syarat menjalani konversi ke Yudaisme sebelum menerima kewarganegaraan. Sekitar 33.000 anggota komunitas ini memasuki Israel dari tahun 1993 hingga 2013.[54] Orang Samaria adalah keturunan suku-suku Israel kuno yang menganut Samaritanisme, sebuah agama yang terkait erat dengan Yudaisme,[62][63] dan memiliki hak kepulangan tanpa persetujuan dari Kepala Rabi.[64] Pada tahun 1949, Menteri Luar Negeri Moshe Sharett menyatakan bahwa orang Samaria memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel berdasarkan Hukum Kepulangan, dengan alasan warisan Ibrani menjadikan mereka memenuhi syarat untuk diakui sebagai Yahudi. Meskipun keputusan tersebut diterapkan sebagai kebijakan resmi, tidak ada undang-undang yang dibuat mengenai masalah ini. Akibatnya, ketika Kepala Rabi meninjau sebuah kasus pada tahun 1985 tentang apakah wanita Samaria boleh menikah dengan pria Yahudi (orang Yahudi di Israel hanya diperbolehkan menikah dengan sesama Yahudi) dan ia menyimpulkan bahwa orang Samaria harus terlebih dahulu masuk Yahudi, Kemendagri memutuskan untuk mencabut hak kepulangan Samaria dengan menggunakan keputusan Kepala Rabi sebagai pembenar. Mahkamah Agung memutuskan masalah ini pada tahun 1994, mengembalikan kebijakan asli dan memperluas status kewarganegaraan Israel menjadi mencakup warga Samaria di utara Tepi Barat.[65] Total populasi komunitas ini sekitar 700 orang yang tinggal secara eksklusif di Holon dan Gunung Gerizim.[66] Akuisisi dan hilangnya kewarganegaraanHak berdasarkan kelahiran, keturunan, atau adopsiIndividu yang lahir di Israel menerima kewarganegaraan saat lahir jika setidaknya salah satu orang tuanya adalah warga negara Israel. Anak yang lahir di luar negeri juga termasuk warga negara apabila salah satu orang tuanya berkewarganegaraan Israel, tetapi ini terbatas pada generasi pertama yang lahir di luar negeri.[24] Mereka yang lahir di luar negeri dari generasi kedua yang tidak memenuhi syarat berdasarkan Hukum Kepulangan dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan, tergantung pada persetujuan dan kebijakan pemerintah.[67] Anak angkat secara otomatis diberikan kewarganegaraan, apa pun agamanya. Individu yang lahir di Israel yang berusia antara 18 dan 21 tahun dan tidak pernah memiliki kewarganegaraan apa pun berhak mendapatkan kewarganegaraan, asalkan mereka terus-menerus menjadi penduduk Israel selama lima tahun sebelum pengajuan.[68] Akuisisi sukarelaSetiap orang Yahudi yang berimigrasi ke Israel sebagai imigran Yahudi berdasarkan hukum kepulangan secara otomatis menjadi WN Israel.[69] Dalam konteks ini, orang Yahudi berarti orang yang lahir dari ibu seorang Yahudi, atau seseorang yang berpindah agama ke Yudaisme dan tidak memeluk agama lain. Hak atas kewarganegaraan ini berlaku bagi setiap anak atau cucu seorang Yahudi, serta pasangan seorang Yahudi, atau pasangan dari anak atau cucu seorang Yahudi. Seorang Yahudi yang secara sukarela berpindah agama ke agama lain kehilangan haknya untuk mengklaim kewarganegaraan berdasarkan ketentuan ini.[70] Pada akhir tahun 2020, 21 persen dari total populasi Yahudi di Israel lahir di luar negeri.[71] Orang asing dapat melakukan naturalisasi sebagai WN Israel setelah tinggal di Israel setidaknya selama tiga dari lima tahun sebelum pengajuan sambil mengantongi izin tinggal permanen. Pengaju harus hadir secara fisik di negara tersebut pada saat pengajuan, dapat menunjukkan pengetahuan bahasa Ibrani, mempunyai niat untuk menetap secara permanen di Israel, dan meninggalkan kewarganegaraan asing. Meskipun bahasa Arab merupakan bahasa resmi dan mempunyai status pengakuan khusus,[72] tidak ada ketentuan pengetahuan yang serupa dengan Ibrani sebagai bagian dari proses naturalisasi.[73] Seluruh persyaratan ini dapat diabaikan sebagian atau seluruhnya bagi seorang pengaju jika ia: bertugas di Pasukan Pertahanan Israel atau kehilangan seorang anak selama masa dinas militernya, merupakan anak di bawah umur dari orang tua naturalisasi atau penduduk Israel, dan berkontribusi besar kepada Israel.[74] Pemohon yang dikabulkan diharuskan bersumpah setia kepada Negara Israel.[75] Kewarganegaraan ganda secara eksplisit diizinkan bagi seseorang yang menjadi WN Israel melalui hak kepulangan. Hal ini bertujuan untuk mendorong diaspora Yahudi di mancanegara untuk bermigrasi ke Israel tanpa membuat mereka kehilangan status kewarganegaraan sebelumnya. Sebaliknya, seseorang yang menjadi WN Israel melalui naturalisasi diwajibkan melepas kewarganegaraan aslinya untuk memperoleh kewarganegaraan. Pemohon naturalisasi biasanya adalah mereka yang bermigrasi ke Israel karena alasan pekerjaan atau keluarga, atau merupakan penduduk permanen Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan.[76] Pelepasan dan pencabutanKewarganegaraan Israel dapat dilepas secara sukarela melalui pernyataan penolakan, dengan ketentuan bahwa pemberi pernyataan tersebut tinggal di luar negeri, telah memiliki kewarganegaraan lain, dan tidak mempunyai kewajiban dinas militer.[77] Mereka dapat secara sukarela melepaskan status tersebut karena jika terus mempertahankannya akan menyebabkan hilangnya kewarganegaraan lain.[78] Antara tahun 2003 dan 2015, terdapat 8.308 orang yang melepaskan kewarganegaraan Israelnya. Beberapa mantan warga negara melepaskan kewarganegaraan mereka karena niat mereka untuk menetap secara permanen di luar negeri dan tidak ingin kembali ke Israel, yang lain melakukannya sebagai syarat untuk memperoleh kewarganegaraan asing di negara baru tempat mereka tinggal.[79] Kewarganegaraan dapat dicabut secara paksa dari individu yang memperolehnya secara curang atau dari mereka yang dengan sengaja melakukan tindakan pelanggaran kesetiaan pada negara.[80] Menteri Dalam Negeri dapat mencabut kewarganegaraan seseorang yang memperoleh status kewarganegaraan dengan cara curang dalam waktu tiga tahun sejak orang tersebut menjadi warga negara Israel. Jika sudah lebih dari tiga tahun dan baru ketahuan, Mendagri harus meminta Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mencabut kewarganegaraannya.[81] Pencabutan atas dasar ketidaksetiaan hanya dilakukan tiga kali sejak 1948; dua kali pada tahun 2002 dan sekali pada tahun 2017.[80] Kewarganegaraan Israel juga dapat dicabut bagi warga negara yang melakukan perjalanan ilegal ke negara-negara yang secara resmi dinyatakan sebagai negara musuh (Suriah, Lebanon, Irak, dan Iran)[82] atau jika mereka memiliki kewarganegaraan dari salah satu negara tersebut.[83] Hak pasanganPasangan non-Yahudi mempunyai hak kepulangan jika mereka berimigrasi ke Israel pada waktu yang sama dengan pasangan Yahudi mereka; pasangan sesama jenis Yahudi telah memenuhi syarat untuk mendapatkan izin ini sejak tahun 2014.[84] Jika tidak, mereka akan diberikan izin tinggal sementara yang secara bertahap digantikan dengan persyaratan tinggal yang tidak terlalu ketat selama jangka waktu 4,5 tahun hingga mereka memenuhi syarat untuk memperoleh kewarganegaraan. Hingga tahun 1996, pasangan non-Yahudi tanpa hak kepulangan segera diberikan izin tinggal permanen setelah masuk ke Israel.[85] Pernikahan harus sah menurut hukum Israel agar pasangan warga negara dapat menjalani proses naturalisasi selama 4,5 tahun. Pasangan sipil atau pasangan sesama jenis harus menjalani proses bertahap selama 7,5 tahun yang lebih panjang dengan izin tinggal permanen, setelah itu mereka dapat mengajukan naturalisasi berdasarkan prosedur standar.[86] Pasangan laki-laki di bawah 35 tahun dan pasangan perempuan di bawah 25 tahun yang menetap di Wilayah Pendudukan Yudea dan Samaria (divisi administratif Tepi Barat berdasarkan hukum Israel) di luar permukiman Israel dilarang memperoleh kewarganegaraan dan izin tinggal sampai mencapai usia yang relevan.[87] Undang-undang Kewarganegaraan dan Imigrasi Israel tahun 2003 secara efektif mencegah pernikahan lebih lanjut antara WN Israel dan WN Palestina dengan menambahkan hambatan administratif yang rumit yang membuat hidup bersama secara sah menjadi sangat sulit bagi pasutri.[88] Sekitar 12.700 warga Palestina yang menikah dengan warga negara Israel dilarang memperoleh kewarganegaraan berdasarkan pembatasan ini. Orang-orang yang terdampak hanya diperbolehkan untuk tinggal di Israel dengan izin sementara, yang akan habis masa berlakunya jika pasangan mereka meninggal dunia atau jika pemerintah Israel tidak mau memperpanjang.[89] Pembatasan ini dianggap inkonstitusional karena melanggar Undang-Undang Dasar: Martabat dan Kebebasan Manusia dengan dasar bahwa undang-undang tersebut bersifat diskriminatif karena berdampak secara tidak proporsional terhadap WN Israel beretnis Arab. Namun, dalam putusan tahun 2006 yang menguatkan undang-undang tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa masuknya pasangan non-warga negara bukanlah hak konstitusional warga negara Israel dan bahwa Israel berhak membatasi masuknya orang asing ke dalam perbatasannya. MA lebih lanjut memutuskan bahwa Israel mempunyai hak untuk melarang warga Palestina memasuki negara tersebut atas keadaan perang dengan Otoritas Nasional Palestina (yang membuat warga Palestina dianggap musuh).[90] Undang-undang tersebut diperkuat kembali oleh Mahkamah Agung pada tahun 2012 dan terus berlaku hingga habis masa berlakunya pada bulan Juli 2021,[91][92] sebelum diterapkan kembali berdasarkan undang-undang baru pada bulan Maret 2022.[93] Kewarganegaraan kehormatanSebagai penghargaan atas bantuan yang diberikan kepada orang Yahudi selama Holokaus, orang non-Yahudi dapat diakui sebagai Orang Baik dari Berbagai Bangsa. Orang-orang ini dapat diberikan status kewarganegaraan kehormatan.[94] Jenis kewarganegaraan ini merupakan status substantif dan memberikan pemegangnya semua hak dan keistimewaan sebagaimana yang dimiliki oleh WN Israel lainnya. Sekitar 130 orang non-Yahudi tinggal di Israel; mereka berhak mendapat tempat tinggal permanen serta tunjangan khusus dari negara.[95] Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
|