Hermeneutika feminisme
Hermeneutika Feminisme adalah metode penafsiran Alquran berbasis feminis, didasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan gender. [1] Cara kerja metode ini, menggunakan langkah–langkah metodologis dan prinsip-prinsip teori hermeneutika moderen.[1] Hermeneutika Feminisme bagi penafsiran Alquran merupakan suatu metode alternatif untuk penafsiran Alquran, terutama untuk menafsirkan ayat-ayat gender. Tokoh-tokoh feminis Islam telah membuktikannya dengan melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan memproduk tafsir feminis, yaitu tafsir yang berkeadilan gender.[2] Hermeneutik Feminisme tergolong baru. Penggunaan hermeneutika bagi penafsiran Alquran masih diperdebatkan. Ada yang menolak dan ada yang mendukung. Ilmuan Islam kontemporer, didorong kesadaran akan hadirnya realitas kekinian dan untuk memenuhi standar ilmiah mendukung penggunaaan hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran.[3] Hermeneutika Feminisme bercorak moral dengan meletakkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai sandaran utama moralitas Islam. Hermeneutika feminisme bersifat kritis, dekonstruktif dan emansipatoris. terhadap produk tafsir dan persepsi terkait perempuan. [4] Sikap kritis dan dekonstruktif melahirkan isu isu yang bersifat emansipatoris. Sejarah Hermeneutika Feminisme Hermeneutika Feminisme muncul pada akhir abad ke 20, ketika timbul gerakan pembaharuan Islam di seluruh dunia muslim. Di akhir abad 20 ini kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang cukup ramai pula diperbincangkan. Ketika ide kesetaraan dan keadilan gender dibawa masuk ke dalam ilmu tafsir Alquran, budaya patriarki yang melekat pada ilmu tafsir klasik menghasilkan tafsir bias gender. [5] Para intelektual feminis Islam menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran. Para intelektual feminis Islam melakukan studi Alquran dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dari perspektif feminis. Kritik terhadap bias gender dalam pandangan tafsir klasik melahirkan metode Hermeneutika Feminisme bagi penafsiran Alquran. Tokoh-tokoh feminis Islam yang mengintrodusir hermeneutika Alquran berbasis feminis dapat dikategorikan dalam dua generasi.[6] Generasi pertama adalah, Riffat Hassan, Azizah Al-Hibri dan Amina Wadud. Generasi kedua adalah, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh dan Kecia Ali.[6] Generasi pertama telah berjasa memunculkan penafsiran Alquran berbasis feminis. Generasi ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasilkan karyanya mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa, mengalami dominasi kaum laki-laki. Karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan bahwa mereka tertindas. Generasi ini terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling kutip mengutip dan mendiskusikan tema-tema yang mereka bahas dan tidak ada saling mendukung pandangan yang dikemukakan.[6] Generasi kedua muncul tahun 1990, dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan gender dan CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap permikiran generasi kedua lebih moderat melawan sistem patriarki dan mereka saling mendukung dan saling terkait antara satu sama lain.[6] Tokoh Hermeneutika Feminisme Tokoh-tokoh feminis Islam yang mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir Alquran, antara lain Aminah Wadud, Musdah Mulia, Aysha A. Hidayatullah Dan Kecia Ali. Amina Wadud melalui karyanya Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir Alquran. Wadud merujuk pemikiran Islam kontemporer, Fazlur Rahman untuk membongkar bias gender yang mewarnai tradisi tafsir Alquran selama ini.[6] Dia membedah ayat-ayat dan kata kunci tertentu dalam Alquran yang membatasi peran perempuan baik secara individu maupun sosial. Ketika menemukan beberapa aspek kesetaraan dan keadilan gender dalam Alquran, Wadud melakukan reinterpretasi ayat-ayat gender dalam Alquran dari perspektif perempuan tanpa steriotype yang dibuat oleh kerangka interpretasi laki-laki.[6] Wadud menggagas hermeneutika berbasis feminis yaitu metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki.[6] Wadud mengkritik tafsir klasik, baik metode, perspektif maupun isinya. Lalu menawarkan penafsiran Alquran yang bercorak holistik yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif.[6] Wadud memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana).[6] Beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya, yaitu apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan. Ditambah lagi dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan.[6] Dengan hermeneutika berbasis feminis Wadud menafsir ulang ayat-ayat gender dalam Alquran dan menghasilkan tafsir yang berkeadilan gender. Tafsir berkeadilan gender tidak hanya dalam teks, tapi dipraktekkan dalam kehidupan sosial. Gebrakan Amina Wadud yang sangat terkenal adalah ketika Wadud menjadi imam dan khotib shalat Jumaat pada tanggal 18 Maret 2005 di sebuah gereja Anglikan, di Synod House, Manhattan, New York.[6] Shalat Jumat ini dikuti lebih kurang seratus jamaah laki-laki dan perempuan.[7] Dalam pandangan Wadud kepemimpinan dalam ibadah telah dijadikan sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik, maka sandaran itu harus didobrak. Aysha A. Hidayatullah tokoh feminis Islam yang mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir melalui karyanya Feminist Edges of the Qur’an (2014). Asisten Profesor Universitas San Fransisco ini menyajikan analisis komprehensif dari tafsir feminis kontemporer terhadap Alquran. Dia memadukan penafsiran Alquran berbasis feminis dari tokoh-tokoh feminis dan memberikan pengantar penting untuk bidang ilmu tafsir Alquran berbasis feminis. Aysha melakukan penyelidikan mendalam dan kritik radikal terhadap metode-metode penafsiran Alquran berbasis feminis dan pendekatannya. Aysha mengemukakan tiga metode penafsiran Alquran berbasis feminis [8] yaitu: metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan paradigma tauhid. Metode kontekstualisasi sejarah yaitu menafsirkan Alquran dengan memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul).[8] Dengan metode ini dibedakan ayat-ayat partikular dan universal. Ayat-ayat partikular diterapkan untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal untuk semua manusia. Metode kontekstual historis meletakkan peran sejarah dalam melahirkan bias gender dan esensialisme biologis dalam tafsir klasik. Metode pembacaan intratekstual memperlakukan Alquran secara holistik, yaitu melacak bagaimana bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh teks Alquran dan membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama.[8] Cara membaca Alquran dengan metode intratekstual, yaitu tidak membaca ayat-ayat tersebut satu persatu, tapi membaca ayat dalam tema yang sama secara keseluruhan dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Paradigma tauhid berkaitan dengan konsep utama Islam, yaitu tauhid. Paradigma tauhid berarti keesaan Allah dan Allah tidak dapat dibagi dan dibandingkan. Dalam paradigma tauhid paham yang membedakan gender (seksisme) dapat dianggap pemberhalaan, karena semua manusia adalah khalifah di bumi.[8] Bila perempuan dikatakan kapasitasnya tidak sempurna, maka hal ini jelas merupakan suatu kekeliruan memahami maksud Tuhan tentang manusia sebagai khalifah di bumi.[8] Bila perempuan dipandang tidak sempurna, maka perempuan tidak bisa memenuhi perannya sebagai wali Allah.[8] Dengan demikian paradigma tauhid merupakan dasar dari kesetaraan dan keadilan gender. Tokoh feminis Islam dari Indonesia yang mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir adalah Musdah Mulia melalui karyanya Muslimah Sejati dan indahnya Islam menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender (2014). Profesor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta ini dikenal sebagai pejuang kesetaran dan keadilan gender yang gigih dan konsisten.[9] Di Indonesia, mengusung soal gender dalam kehidupan keberagamaan, tantangannya berat dan sensitivitasnya tinggi. Musdah menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran dan membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir.[9] Musdah telah lama menyadari bahwa perempuan terkurung dalam penjara teologis, karena bias gender dalam penafsiran Alquran. Berangkat dari keyakinan bahwa manusia laki-laki dan perempuan adalah sama-sama khalifah fil ardh,[9] Musdah melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan memproduk tafsir feminis, diantaranya menafsirkan ayat poligami dan menafsir ulang konsep nusyuz dalam ayat Alquran. Menurut Musdah, poligami menafikkan kemanusiaan perempuan.[9] Penafsirannya terhadap konsep nusyuz adalah perintah Alquran hanya taat pada Allah SWT dan hormat pada suami.[9] Kecia Ali, Profesor Departemen Agama di Boston University telah menulis berbagai buku tentang gender dalam Islam yang fokusnya pada hukum Islam tentang perempuan. Melalui karyanya Sexsual Etics & Islam: Feminist Reflectionson Qur’an, Hadith and Yurisprudence (2012), Kecia Ali membahas kekerasan seksual terhadap perempuan dan memperlihatkan adanya tabrakan antara moral dan hukum.[10] Dia berpandangan bahwa ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan merendahkan perempuan, maka itu perlu refleksi feminis atas Alquran dan Hadis.[10] Kecia Ali melakukan refleksi feminis terhadap Alquran dan hadis serta hukum Islam,terutama mengenai pernikahan dan seksual serta masalah perbudakan dalam Islam. Dalam masalah perkawinan Kecia Ali membahas soal mahar, talak dan misoginis terhadap perempuan. Menurut Kecia Ali, pendekatan progresif terhadap teks Alquran tidak dapat terbatas pada presentasi selektif ayat ayat egaliter dalam isolasi dari konteks kitab suci yang luas.[10] Pendekatan seperti ini akan sia-sia, karena argumen kesetaraan gender dibangun dengan menafsirkan ayat-ayat yang selektif.[10] Dia menawarkan metode yurisprudensi, karena para ahli hukum akan terkait dengan sumber teks dengan konteks sosial. Hukum yang dibangun memiliki sasaran tindakan penafsiran. Menurut Kecia Ali, pemahaman terhadap teks Alquran harus berubah setiap waktu sesuai perubahan sosial.[10]
Model Hermenutika Feminisme Bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh masalah metodologis.[11] Metode tafsir klasik mengandung ketimpangan makna dan menggambarkan relasi gender yang tidak adil.[11] Disinilah Hermeneutika Feminisme sebagai salah satu alternatif metode penafsiran Alquran dapat ditawarkan.[11] Hermeneutika Feminisme disusun dengan memformulasikan pemikiran para tokoh feminis Islam mengenai metodologi tafsir Alquran.[12] Formulasi model Hermeneutika Feminisme dapat dijelaskan dalam 5 skema yaitu :[13] Pertama, didasarkan pada pengalaman/pandangan perempuan. Pengalaman/pandangan perempuan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila Alquran ditafsirkan berdasarkan pengalaman laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir tentang perempuan. Kedua, berbingkai teori feminisme. Teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender menjadi bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme. Bila hermeneutika kritis berbingkai teori kritis, maka Hermeneutika Feminisme berbingkai teori feminisme. Ketiga menggunakan metode kontekstualisasi sejarah. Metode kontekstualisasi historis, yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul). Metode ini bertujuan untuk membedakan ayat-ayat partikular, yaitu ayat-ayat untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal yaitu ayat-ayat untuk semua manusia. Keempat, menggunakan metode intratekstualitas. Penerapan metode intratekstualitas,dimaksudkan untuk mengembangkan sebuah kerangka berdasarkan pemikiran sistematis untuk mengkorelasikan beberapa ayat yang membicarakan tema yang sama agar tampak pertalian yang sesuai dengan ayat-ayat Alquran, daripada menerapkan makna sekaligus terhadap satu ayat. Kelima, paradigma tauhid. Untuk memperoleh penafsiran yang adil terhadap perempuan, kita harus kembali kepada inti ajaran Alquran yaitu tauhid sebagai kerangka paradigma penafsiran Alquran. Konsep tauhid mengakui keesaan Allah, keunikan-Nya dan tidak terbagi (indivisibility) Tauhid merupakan metode kunci dalam hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran dan merupakan doktrin mengenai keesaan Tuhan yang tidak terbandingkan. Dengan paradigma tauhid akan terlihat secara jelas, perbedaan Alquran dengan penafsirannya. Referensi
Lihat Pula |