Hari raya Kuningan

Hari raya Kuningan adalah hari raya yang dirayakan umat Hindu Dharma di Bali. Perayaan ini jatuh pada hari Saniscara (Sabtu), Kliwon, wuku Kuningan. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari sekali, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Sepuluh hari setelah hari raya Galungan. Kata Kuningan memiliki makna "kauningan" yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari marabahaya.

Makna Kuningan

Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditujukan kepada para Deva dan Pitara agar turun melaksanakan pensucian serta mukti, atau menikmati sesaji yang dipersembahkan. Kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma(kejahatan) yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu:

“Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika.”

Artinya: "Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya". Perumpamaan ini diambil karena, bagi manusia, sangat sulit untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu. Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknya ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus.

Dikutip dari Bhagawan Dwija, mengatakan makna dari Kuningan adalah mengadakan janji/pemberitahuan/nguningang, baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi, bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta amangkurat).

Sarasamuccaya (sloka 564) juga menyebutkan;

“Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan.”

Artinya: "Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan."

Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri manusia. Hari raya Kuningan adalah hari raya khusus, di mana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesaji dalam upacara perpisahan untuk kembali ke-stananya masing-masing. Sedangkan di pedesaan ada beberapa Barong ngelawang beberapa hari diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan/gamelan.

Penyelenggaaraan upacara Kuningan disyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong ke barat. Ini dikarenakan Pada Hari Raya Kuningan, Ida Sanghyang Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00:00 dini hari sampai jam 12:00 siang. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang, dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta: pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari). Setelah lewat bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).

Sarana Upacara

Pada hari Kuningan, umat Hindu Bali membuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesaji sebagai tanda terima kasih dan suksmaning idep sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan kepada umatnya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaikat) yang melimpahkan anugerah kemakmuran kepada umat manusia.

Sarana upacara sebagai simbol kemeriahan terdiri dari berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbol sebagai alat-alat perang yang diperadekan seperti tamiyang kolem, ter, ending, wayang-wayang dan lain sejenisnya. Dalam upacara Kuningan, menggunakan upakara sesaji yang berisi simbol tamiang dan endongan, dimana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan manusia pada hukum alam. Sedangkan Endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.

Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda alam. Karena itu, melalui perayaan ini umat diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu. Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.

Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widi Wasa dan mensyukuri karunia-Nya. Melalui perayaan ini umat juga dituntut selalu ingat menyama braya(bersaudara), meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial. Selain itu, melalui rerahinan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya. Tujuan pelaksanaan upacara kuningan ini adalah untuk memohon kesentosaan, kedirgayusan serta perlindungan dan tuntunan lahir dan batin.[1]

Tradisi Unik

Sebuah tradisi unik selalu digelar warga di Kota Tabanan, setiap merayakan hari raya Kuningan. Seusai menggelar persembahyangan bersama, setiap keluarga yang berkecukupan membagi-bagikan uang kepada warga dengan cara disebar di udara. Tradisi bernama Mesuryak (bersorak) ini disambut antusiasme warga desa mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Meski masih berpakaian adat lengkap, mereka tak canggung untuk memburu pecahan uang mulai dari Rp.500 hingga Rp.100.000. Bahkan, tak jarang beberapa dari mereka mengalami cedera karena saling berebut untuk mendapatkan uang yang mereka incar. Tradisi Mesuryak ini menjadi warisan leluhur dan berlangsung secara turun-termurun. Tradisi ini merupakan simbol persembahan kepada leluhur yang sudah meninggal agar diberi tempat yang layak di alam sana. Secara niskala (tidak nyata) kita memberikan sesaji dan secara skala (nyata) kita memberikan uang sebagai bentuk nyata. Mereka yang menyelenggarakan mesuryak meyakini bahwa rejeki akan berlimpah jika memberi kebahagiaan kepada sesama dengan cara membagi-bagikan uang karena hal ini berarti membekali leluhur mereka yang telah meninggal.[1]

Referensi

  1. ^ a b "Makna Hari Raya Kuningan bagi Umat Hindu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-09. Diakses tanggal 2018-06-09. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya