Guru Patimpus
Guru Patimpus Sembiring Pelawi (lahir di Aji Jahe, Taneh Karo, ca 1540–1 Juli 1590) adalah pendiri Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia, yang diambil dari kata "madan" yang berarti "sembuh" dalam bahasa Batak Karo. Sebelum Guru Patimpus Sembiring Pelawi memeluk agama Islam, ia adalah seorang yang mempunyai kepercayaan Pemena. Guru Patimpus Sembiring Pelawi menikah dengan seorang putri Raja Pulo Brayan dan mempunyai dua anak laki-laki, masing-masing bernama Kolok dan Kecik. Setelah menikah, Guru Patimpus Sembiring Pelawi dan istrinya membuka kawasan hutan di antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini dirayakan sebagai hari jadi Kota Medan, hari lahir Kota Medan, dan hari ulang tahun Kota Medan. Kota MedanKota Medan didirikan pada 1 Juli 1590 oleh Guru Patimpus. Kota ini berawal dari sebuah kampung yang bernama Kampung Medan Putri. Selanjutnya, kampung ini yang akan menjadi cikal bakal kota. Guru Patimpus adalah seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang putri Datuk Pulo Brayan. Nama Medan sendiri berasal dari kata "madan" yang berarti menjadi sehat (sembuh) atau lebih baik.[4] Sepuluh Dua Kuta Hamparan PerakSelain membuka Kota Medan, ia juga mendirikan sebuah kedatukan yang dikenal dengan Kedatukan Sapuluh Dua Kuta Hamparan Perak. Hamparan Perak merupakan nama sebuah kecamatan, sekaligus nama sebuah desa yang berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Datangnya Guru Patimpus ke dataran rendah membuktikan bahwa sejak dahulu sudah ada hubungan antara orang dataran rendah dan dataran tinggi, terutama dalam hal perdagangan. Kedatangan Guru Patimpus ke dataran rendah membawa pengaruh yang cukup besar, yaitu pada masyarakat Melayu Deli dan juga masyarakat Batak Karo. Perpindahan yang dilakukan masyarakat Karo dari dataran tinggi menuju ke dataran rendah menurut J.H. Neumann karena adanya desakan dari orang-orang India Tamil yang datang dari arah Singkil dan Barus yang masuk ke dalam Taneh Karo, yang karena itu juga marga Sembiring diusir dari Aceh. Kemungkinan lain yaitu karena tanah dataran rendah lebih subur daripada di dataran tinggi.[4] Galeri
Referensi
Pranala luar
|