Gereja Santo Yusuf, Semarang
Gereja Santo Yusuf atau Gereja Santo Yosef, juga dikenal sebagai Gereja Gedangan[1] adalah gereja Katolik pertama di kota Semarang. Secara administratif, gereja ini merupakan bagian dari Paroki Santo Yusuf di Keuskupan Agung Semarang. Gereja ini dirancang oleh arsitek Belanda, W.I. van Bakel dan dibangun pada tahun 1870 hingga 1875 dengan biaya 110.000 gulden untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan penduduk Katolik Semarang. Gereja tumbuh secara ekstensif selama lima puluh tahun dan pada awalnya didominasi oleh etnis Eropa dan orang-orang campuran. Namun, sejak kemerdekaan, gereja ini memiliki mayoritas jemaat pribumi. Karena populasi Katolik bertumbuh, ukuran paroki mengecil karena paroki-paroki yang baru didirikan. Kompleks gereja ini terdiri dari, antara lain gedung gereja, pastoran, dan sebuah biara. Gereja Santo Yusuf pun penuh hiasan, termasuk sembilan belas kaca patri jendela (tiga diantaranya didedikasikan untuk santo pelindung gereja, Yusuf), ukiran-ukiran yang menampilkan empat belas salib, dan sebuah altar yang diimpor dari Jerman. Menara tunggal di gereja tersebut adalah rumah bagi dua lonceng yang dibuat oleh Petit & Fritsen. SejarahKatolik di SemarangKali pertama, gereja Katolik Roma memasuki kota Semarang, Hindia Belanda (kini Jawa Tengah, Indonesia) pada awal abad ke-19. Pada tahun 1808 Pastor Lambertus Prinsen (1777-1840) dikirim dari Belanda ke Hindia Belanda sebagai pendeta untuk Semarang dan beberapa permukiman sekitarnya, termasuk Salatiga dan Klaten. Dengan cepat ia mendirikan sebuah dewan untuk menangani tugas-tugas keagamaan, dan pembaptisan dimulai tahun berikutnya. Empat belas orang, sebagian besar Belanda dibaptis pada tahun 1809. Namun, jemaat ini tidak memiliki sebuah gereja di mana mereka dapat berdoa. Sampai tahun 1815 jemaat menggunakan gereja terdekat, yakni Gereja Immanuel yang sebenarnya adalah gereja Protestan. Antara tahun 1815 dan 1822, ibadah diadakan di rumah-rumah anggota jemaat, dan sejak 7 September 1822 misa diadakan di rumah baru Pastor Prinsen (dekat Gereja Immanuel).[2] Jemaat yang membutuhkan bangunan gereja, sudah memiliki tanah yang dapat digunakan, karena pada tahun 1828 umat Katolik telah membeli tanah bekas rumah sakit dan sekitarnya yang berada di Gedangan, di dekat pelabuhan, kemudian mereka juga mendirikan sebuah panti asuhan di sana. Namun, Monsiyur Joseph Lijnen (1815-1882), yang telah menjadi jemaat pendeta pada tahun 1858, meninggalkan Hindia Belanda ke Heythuysen, Belanda. Ia yakin bahwa di sana beberapa biarawati Fransiskani akan bergabung dengannya ke Hindia Belanda dan mengembangkan jemaat melalui pendidikan dan kementerian. Setelah kembali ke Hindia Belanda, dibuatlah desain sebuah bangunan gereja di panti asuhan tersebut, dan biara-biara didirikan sebagai tempat untuk para biarawati.[3] Gereja yang baruGereja ini dirancang oleh arsitek Belanda W. I. van Bakel dengan gaya neogotik. Biaya pembangunan sebesar 110.000 gulden didanai sebagian oleh pemerintah kolonial, juga dari hasil penjualan tanah yang tidak terpakai, dan sumbangan dari umat Katolik di seluruh koloni. Batu pertama diletakkan oleh pastor Lijnen pada 1 Juli 1870, dan konstruksi berjalan lancar hingga 12 Mei 1873 menara gereja runtuh ketika pembangunan hampir selesai. Berbagai alasan telah dikemukakan, termasuk akibat rangka yang kurang bagus dan kualitas batu bata yang kurang baik. Setelah runtuh, desain gereja dimodifikasi menjadi lebih rendah dan pembangunan lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan batu bata yang diimpor dari Belanda melalui kapal-kapal. Pembangunan gereja ini selesai pada tanggal 12 Desember 1875 dan diberkati oleh Lijnen.[4][5] Gereja ini adalah gereja Katolik pertama di kota Semarang dan digunakan sebagian besar oleh orang-orang Eropa dan campuran.[6] Penambahan interior dibuat selama seperempat abad selanjutnya. Altar gereja yang bertema neogotik diproduksi di Düsseldorf, Jerman dan dipasang pada tahun 1880. Dua tahun kemudian bangku persekutuan dipasang. Menara gereja ini juga dilengkapi dengan sebuah jam dan lonceng. Namun jam telah dilepas pada tahun 1978 karena mesinnya rusak. Lijden meninggal pada tahun 1882, dan Joannes de Vries dari Yesuit menjadi pastor paroki, yang pertama dalam garis tak terputus dari pendeta Yesuit yang berlanjut sampai saat ini.[7] De Vries segera terpilih sebagai pemimpin provinsi untuk provinsi sehingga ia menghabiskan banyak waktu jauh dari gereja. Pada tahun 1885, umat Katolik di Semarang[8] bertambah menjadi 1.620 orang dari sekitar 1.004 orang pada tahun sebelumnya. Banyak dari mereka berasal dari militer kolonial.[9] J. Keijzer menggantikan de Vries setelah meninggalnya de Vries terakhir pada tahun 1887, dan memimpin gereja selama tujuh tahun. Selama masa jabatannya, gereja dan sekitarnya diperluas secara signifikan. Konstruksi bertingkat pastoran dimulai pada tahun 1880-an dan selesai pada 1 Agustus 1890. Di seberang jalan, pada tahun 1888 biarawati mendirikan sebuah sekolah dasar dan mereka juga mulai membangun sebuah kapel untuk biara yang dibuka pada tanggal 6 Agustus 1892. Selama periode ini, bangunan gereja menerima kaca patri dan bangku gereja.[10] Pembangunan berlanjut hingga abad ke-20. Sebuah organ pipa dipasang pada tahun 1903 dan dipasang ulang pada tahun 1993, tetapi tetap dalam kondisi buruk. Pada tahun itu juga dipasang ukiran yang menggambarkan empat belas Jalan Salib.[11] Pertumbuhan dan penginjilan di kalangan penduduk pribumiPada akhir abad ke-19 gereja Katolik di Hindia Belanda mulai menargetkan penduduk pribumi yang mayoritas Muslim. Mereka tidak sendirian karena misionaris Protestan seperti Sierk Coolsma dari Serikat Misionaris Belanda dan Mattheus Teffer dari Perhimpunan Misionaris Belanda telah memiliki beberapa keberhasilan dengan penginjilan dalam bahasa Sunda di Cianjur dan Jawa di Ambarawa.[12][13] Keijzer, sebelum mengundurkan diri sebagai kepala pendeta pada tahun 1894, mengirim surat ke Belanda untuk meminta agar mereka mengirim seseorang untuk belajar bahasa Jawa, dalam pemberitaan injil kepada orang-orang dan menerjemahkan katekismus dan beberapa buku-buku doa.[14] Tiga anggota Yesuit yang dikirim, yaitu P. Hebrans pada tahun 1895 serta P. Hoevanaars dan Frans van Lith (1863-1926) pada tahun 1896. Mereka belajar bahasa Jawa selama satu tahun. Akhirnya van Lith lah yang paling sukses karena ia telah membangun sebuah sekolah di Muntilan untuk melatih guru-guru yang diharapkan bisa menyebarkan agama Katolik melalui tugas mengajar. Hal ini akhirnya menyebabkan pendirian sejumlah sekolah Katolik di seluruh pulau Jawa. Selanjutnya, pada tahun 1904 ia memelopori baptis massal di Kalibawang, Kulon Progo, dekat Yogyakarta. Total terdapat 168 orang Jawa yang dibaptis. Van Lith pun kembali ke Semarang, di mana ia mendirikan sebuah sekolah Kanisius di paroki Gedangan pada tahun 1924.[15] Pada awal abad ke-20 populasi Katolik Semarang telah menjadi cukup besar untuk membentuk beberapa paroki. Pada tahun 1915, kapel di Karangpanas, bagian selatan dari Semarang diangkat ke status gereja paroki dan didedikasikan untuk Santo Athanasius. Gereja ketiga, di Randusari, Semarang barat didirikan pada tahun 1927 dan menjadi gereja paroki pada tahun 1930. Paroki didirikan lebih lanjut selama dekade berikutnya sampai pada tahun 2000. Gereja Santo Yusuf adalah salah satu dari sembilan gereja-gereja paroki di kota yang melayani kecamatan Semarang Timur, Genuk, Sayung, dan bagian Utara Semarang.[16] Pada tahun 1940, di bawah rekomendasi dari Monsinyur Petrus Willekens, Keuskupan Agung Batavia dibagi dua. Semarang menjadi ibu kota baru untuk Keuskupan Agung Semarang. Vikariat Apostolik yang baru pun diangkat, yakni Monsinyur Albertus Soegijapranata (1896-1963) yang memiliki posisi di gereja Randusari, namun tinggal di pastoran Gedangan.[17][18] Setelah masa kolonialPada bulan Maret 1942 Hindia Belanda diduduki oleh Kekaisaran Jepang.[19] Penjajahan Jepang menimbulkan banyak penangkapan orang (kebanyakan Belanda), baik laki-laki dan perempuan, para klerus dan orang awam, dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang mengubah cara ibadah diselenggarakan. Mereka melarang penggunaan bahasa Belanda dalam ibadah dan dalam menulis, serta menyita beberapa kepemilikan gereja, termasuk pastoran Gedangan sehingga para klerus harus bersusah payah berjaga.[20] Meskipun dianggap merusak gereja, Soegijapranata juga didukung beberapa kolaborasi, misalnya pada tanggal 28 Februari 1944 dari Paul Aijiro Yamaguchi, uskup dari Nagasaki.[21] Pada tanggal 17 Agustus 1945, tak lama setelah bom atom Hiroshima dan Nagasaki serta terjadinya peristiwa kekalahan Jepang, Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Selama berlangsungnya revolusi melawan kembali pasukan Belanda, orang Eropa ditahan (meskipun kepala pastor tetap orang Belanda). Penahanan ini memastikan bahwa jemaat akan terus didominasi oleh orang Jawa dan pribumi lainnya.[22] Sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, Gedangan tetap menjadi pusat aktivitas katolik di Semarang. Kantor pusat dari Yayasan Kanisius tetap di halaman gereja sampai dibukanya kantor baru pada tahun 1970.[14] Selanjutnya ada beberapa pembangunan yang dilakukan, yakni gedung perkantoran bernama Bintang Laut yang selesai pada tanggal 6 Agustus 1988, dan renovasi gedung gereja berlangsung di awal 1990-an.[23] Gereja rutin menyelenggarakan ibadah hingga pukul lima pada hari Minggu.[24] DeskripsiGereja Santo Yusuf terletak di sisi timur Jalan Ronggowarsito di Semarang, Jawa Tengah. Secara administratif, gereja ini merupakan bagian dari Paroki Santo Yusuf di Keuskupan Agung Semarang. Bangunan gereja dapat menampung 800 orang.[5][1] Bangunan ini menghadap ke barat, memiliki jendela di semua sisi, serta lima pintu masuk (dua di sisi utara, dua di sisi selatan, dan satu di sisi barat).[25] Atapnya berupa kubah berusuk silang putih yang disokong oleh tiang ionik.[26] Interior gereja memiliki sembilan belas kaca patri, tiga di belakang altar dan delapan di sepanjang semua sisi bangunan gereja. Jendela di belakang altar berfokus pada Santo Yusuf dan menggambarkan -dari kanan ke kiri, persinggahan Keluarga Kudus di Mesir, kehidupan sehari-hari Keluarga Kudus, dan kematian Yusuf. Empat dari enam belas kaca patri pada sisi gereja menggambarkan bakung. Sisa dua belas kaca patri masing-masing menggambarkan satu santo, termasuk Ignatius dari Loyola, Stanislaus Kostka, dan Santa Cecilia.[27] Lebih lanjut ornamen dinding termasuk ukiran yang menggambarkan empat belas Jalan Salib serta dua belas triforium memegang lukisan yang menggambarkan Doa Bapa Kami, Roti Wacana Hidup, dan pujian kepada Kristus dan Maria.[14] Di atas mezbah, di ujung timur dari gereja adalah tempat tabernakel gereja berada. Bagian Altar yang diimpor dari Jerman pada tahun 1880, dihiasi dengan patung-patung Abraham, Petrus, Paulus, dan Melkisedek.[1] Menara adalah rumah bagi dua lonceng besi tuang. Lonceng pertama berukuran 935 sentimeter (368 in) dan tinggi 90 sentimeter (35 in) lebar di dasar dan yang kedua berukuran 75 sentimeter (30 in) dan tinggi 70 sentimeter (28 in) diameter di dasar. Lonceng dibuat oleh Petit & Fritsen pada April 1882 dan diimpor dari Rotterdam oleh Caminada bersaudara. Keduanya tertulis dengan sebuah dedikasi, dalam bahasa Latin, yang menyatakan bahwa lonceng disumbangkan oleh orang Prancis yang lahir di Semarang bernama Joseph Andrieux. Lonceng pun dihiasi dengan tanaman dan salib. Ketika lonceng dipasang pada tahun 1882, lonceng didampingi sebuah jam. Namun, mesinnya dibiarkan rusak selama bertahun-tahun, sehingga pada tahun 1978 diganti dengan Kristogram IHS (singkatan dari "Iesus Hominum Salvator", yang berarti "Yesus, Juruselamat Manusia").[1] Di sisi utara dari gereja adalah tempat pastoran yang didirikan pada 1 Agustus 1890 berada. Gedung berlantai dua ini memiliki dasar yang tinggi dan lantai marmer. Kedua lantai memiliki langit-langit yang tinggi, yakni 4 meter di atas lantai.[28] Lebih jauh ke utara adalah Bintang Laut, gedung yang berisi kantor-kantor untuk dewan paroki dan administrasi lainnya. Di sisi barat Jalan Ronggo Warsito adalah sebuah biara untuk para biarawati Fransiskan, yang memiliki kapel berdesain neogotik.[28] Referensi
Kutipan karya
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Gereja Santo Yusuf Semarang.
|