Gereja Protestan di Indonesia
Gereja Protestan di Indonesia (disingkat GPI) atau Protestant Church in Indonesia adalah bekas Gereja Negara Hindia Belanda yang pada waktu itu bernama de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie atau Indische Kerk, menjadi Gereja Protestan tertua di Asia. GPI mewarisi jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh misi Portugis, Spanyol dan Belanda yang dikemudian hari karena pekerjaan misi maka pelayanannya semakin meluas sehingga jemaat-jemaat Indische Kerk dimandirikan menjadi Gereja Bagian Mandiri (GBM). GPI telah memekarkan diri dalam beberapa gereja bagian, akan tetapi gereja-gereja itu harus tetap memelihara keesaannya dalam persekutuan penuh.[1][2][3][4] SejarahPada Selasa, 27 Februari 1605 di Benteng Victoria Ambon dilaksanakan ibadah pertama de Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie yang kemudian dipandang sebagai awal dari adanya gerakan Protestan di Indonesia bahkan di Asia, mendahului gerakan Protestan di Amerika Utara (1607). Momentum historis inilah yang dijadikan hari berdirinya de Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie (Indische Kerk), yang kemudian di Indonesiakan menjadi Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Seiring dengan berpindahnya kedudukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke Batavia di tahun 1619, maka Indische Kerk juga beralih kantor pusatnya ke Batavia, Jakarta sekarang. Karena misi untuk mewartakan Injil ke seluruh Indonesia yang kemudian diemban oleh de Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie, maka dari Maluku menyebarlah pelayanan Indische Kerk ke seluruh persada Nusantara, secara bertahap dengan tantangan dan pergumulan yang berbeda di setiap daerah dan masanya. Pergumulan dan tantangan pelayanan karena luasnya geografis, dan spesifiknya persoalan yang dihadapi, maka di tahun 1927, muncul ide untuk memilah wilayah pelayanan dari Indische Kerk agar wilayah-wilayah dapat dijangkau dan pelayanan lebih efektif. Pertemuan para pendeta tahun 1927 diambil satu kesepakatan yaitu: Keesaan Gereja harus tetap dipertahankan, tetapi wilayah-wilayah diberi kemandirian yang lebih besar untuk mengatur pelayanan di wilayah masing-masing. Kesepakatan inilah yang mengikat setiap Gereja yang dimandirikan untuk menjaga ke-esa-an. Karena itu, di mana ada Gereja Bagian Mandiri dari Indische Kerk tidak dibenarkan adanya Gereja Bagian Mandiri lainnya berdiri. Dasar Teologis dari keesaan dan persaudaraan inilah yang menjadi pijakan dan disekapati, harus dijaga dan dipelihara oleh Gereja-Gereja Bagian Mandiri yang dilahirkan dari satu “Induk” yakni de Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie. Karena itu, pada hakikatnya Indische Kerk adalah pewujudan dari Gereja Kristen Yang Esa sebagaimana Doa Tuhan Yesus kepada umat (Yohanes 17). Inilah yang melatar belakangi mengapa “de Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie” tetap eksis sampai kini.[5] Kemandirian Gereja-GerejaIndische Kerk menghadapi tantangan dengan melemahnya kepercayaan jemaat terhadap pemerintah. Di Minahasa, beberapa kelompok warga jemaat mendesak untuk pendirian gereja mandiri tanpa intervensi pemerintah kolonial. Sehingga pada 29 Oktober 1933, mereka mendirikan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) yang kemudian dianggap tidak taat pada gereja dan pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan para pendeta tahun 1927 dan pendirian KGPM yang tidak disetujui, maka diadakan Rapat Besar pada tahun 1933 di mana jemaat-jemaat di Minahasa, Maluku dan Timor diberi kebebasan untuk menjadi Gereja Bagian Mandiri (GBM) dalam persekutuan penuh dengan Indische Kerk. Secara bertahap Jemaat-jemaat tersebut dimandirikan,
Pada Sidang Sinode Am De Protestantsche Kerk in Nederlandche-Indie 30 Mei – 10 Juni 1948 di Bogor menetapkan bahwa jemaat-jemaat yang berada di Bagian Barat dari ketiga GBM tersebut akan dimandirikan,
Dalam sidang besar tersebut juga diputuskan, bahwa nama de Protestantsche Kerk in Nederlandche-Indie di Indonesiakan dengan nama Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Sejak 1 Januari 1937 seluruh wilayah pelayanan Sulawesi Tengah (Donggala, Buol dan Tolitoli) dan Gorontalo telah menjadi tanggung jawab pekabaran Injil dari Gereja Masehi Injili di Minahasa. Dari pekabaran Injil GMIM ini, maka pada 18 Desember 1964 di Gereja Sentrum Manado diresmikanlah wilayah pelayanan tersebut menjadi GBM GPI.
Pada saat itu Ketua Sinode Am GPI adalah Ds. Rein M. Luntungan, yang juga sekaligus sebagai Ketua Sinode GMIM. Pada tahun 1947 GMIM menyerahkan wilayah pelayanan Tanah Banggai menjadi tanggung jawab Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Kemudian pada tahun 1966 Sinode Wilayah Banggai GKST dimandirikan menjadi GBM GPI.
Kebutuhan kemandirian pelayanan juga di alami GPM di wilayah pelayanan Irian Barat. Sehingga pada tahun 1985 Sinode Wilayah Irian Barat GPM dimandirikan menjadi GBM GPI.
Pemekaran wilayah pelayanan kemudian terjadi di lingkup pelayanan Sinode GKLB. Pada tahun 2000, wilayah pelayanan Banggai Kepulauan GKLB dimandirikan menjadi GBM GPI.
Karena didorong oleh rasa seazas, rasa persaudaraan dan keesaan, maka beberapa Sinode Gereja menyatakan diri bergabung menjadi bagian dari GBM dalam persekutuan GPI.
Daftar Gereja Bagian MandiriGPI saat ini terdiri dari beberapa Sinode Gereja Bagian Mandiri dalam persekutuan penuh:
Bentuk KeesaanGPI telah memekarkan diri dalam beberapa gereja bagian, gereja-gereja itu harus terus memelihara keesaannya yang diwujudkan melalui:
Dengan demikian maka GPI adalah wujud keesaan dari gereja-gereja bagiannya yang tersebar di seluruh Indonesia. Di samping keesaan itu, GPI juga mengakui kepelbagaian dan kekhususan dari setiap GBM, sebab setiap GBM memiliki kekhasannya sendiri dalam pelayanannya. Sesuai dengan bentuk keesaan GPI yaitu "Kepelbagaian Dalam Keesaan". Artinya di dalam gereja (GPI) yang satu itu terdapat kepelbagaian. Balai Agung Sinode AmKantor (Balai Agung) Badan Pelaksana Harian Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia
Mitra
Referensi
|