Gereja Kristen Jawa Salib Putih
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Salib Putih (bahasa Jawa: ꦒꦿꦺꦗꦱꦭꦶꦧ꧀ꦥꦸꦠꦶꦃꦱꦭꦠꦶꦒ, translit. Gréja Salib Putih Salatiga) adalah bangunan gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa yang terletak di Jalan Hasanudin km. 4 (Kota Salatiga–Kopeng), Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Gereja tersebut merupakan satu-satunya gereja di Kota Salatiga yang menggunakan atap mansard. Keberadaannya menjadi salah satu bukti fisik penyebaran agama Kristen di kawasan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. Hingga tahun 2020, kondisi bangunannya terawat dengan baik serta difungsikan sebagai tempat ibadah rutin umat Kristen di sekitar kawasan itu. Pendirian GKJ Salib Putih maupun bangunan lain di kawasan Agrowisata Salib Putih bermula dari komite pelayanan sosial pimpinan Adolph Theodoor Jocobus van Emmerick dan Alice Cornelia Cleverly yang mulai menempati kawasan itu pada 14 Mei 1902. Keadaan bangunanGereja ini berada di Jalan Hasanudin km. 4 (Kota Salatiga–Kopeng) dan satu kompleks dengan Agrowisata Salib Putih.[1][2] Gereja tersebut merupakan salah satu gereja Kristen tertua di Jawa Tengah.[3] Menurut Purnomo dan Sastrosupono dalam buku berjudul Gereja-Gereja Kristen Jawa, GKJ: Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, gereja tua lain yang berada di Jawa Tengah adalah GPIB Immanuel Semarang (Gereja Blenduk) di Semarang yang dibangun tahun 1753 dan Gereja Kristen Jawa Tengah Utara di Grobogan yang dibangun tahun 1898.[4] Berdasarkan tulisan angka di tugu peringatan yang berada satu kompleks dengan gereja tersebut, disebutkan bahwa peringatan 50 tahun berdirinya gereja pada 1952.[3] Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa gereja ini dibangun tahun 1902.[1] Tulisan di tugu berbentuk tiang batu yang dilengkapi dengan bola dan salib berwarna putih itu juga memuat Injil Yohanes 3:16 dalam bahasa Jawa, yaitu:[5]
Menurut Mulyati yang mengutip keterangan dari Buku Sejarah Salib Putih, 14 Mei 1902–4 Mei 2013, bentuk bangunan gereja tersebut masih asli sejak pertama kali didirikan. Tiang dan skur (kayu penahan) yang digunakan masih asli, tetapi fondasinya telah diganti dengan batu bata. Gereja itu merupakan satu-satunya gereja di Kota Salatiga yang menggunakan atap mansard[a] (atap prancis atau atap trotoar).[7] Hasil kajian dan identifikasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 turut memperjelas bahwa konstruksi dinding gereja ini menggunakan kombinasi kayu dan papan.[8] Pintu gerbang gereja ini memuat tulisan Injil Markus dengan aksara Jawa, yaitu padalemaningsun sinebuta dalem pamujan (rumahku disebut sebagai rumah pemujaan).[9] Mulyati dalam penelitiannya yang mewawancarai seorang informan bernama Zakeus, menuturkan bahwa salah satu keunikan gereja tersebut adalah mimbar khotbahnya yang terbuat dari kayu jati dan kondisinya masih bagus. Selain itu, di bawah mimbar juga terdapat kolam pembaptisan, meskipun telah ditutup dengan kayu.[7] Adapun sesanti yang berada di belakang mimbar ditulis dengan bahasa Jawa, yaitu aku ora pedhot-pedhot anganthi marang kowé kongsi tumeka wekasaning jaman (aku tidak akan putus dalam mencapai-Mu hingga akhir zaman).[10] Kondisi fisik keseluruhan bangunan gereja tersebut hingga tahun 2020 terawat dengan baik, serta difungsikan sebagai tempat ibadah rutin umat Kristen di sekitar kawasan itu.[11][12] Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama BPCB Jawa Tengah tahun 2009, gereja ini terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/140[13] dan menjadi bangunan yang menjadi titik perhatian di jalur Kota Salatiga dan Kopeng.[7] Keberadaannya menjadi salah satu bukti fisik penyebaran agama Kristen di kawasan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga.[12][14] DinamikaBerdasarkan data arsip Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) mengenai pendirian yayasan, keberadaan GKJ Salib Putih maupun panti wreda,[15][16][17] panti karya,[18] panti asuhan, dan perkebunan[19] di kawasan Salib Putih bermula dari komite pelayanan sosial yang dipimpin oleh pasangan suami-istri penginjil berbeda kebangsaan dari Leger des Heils (Bala Keselamatan), yaitu Adolph Theodoor Jocobus van Emmerick (Belanda) dan Alice Cornelia Cleverly (Inggris).[20][21] Pada awal pelayanannya, Brouwer memperjelas bahwa Bala Keselamatan di wilayah Salatiga dan Semarang dikenal dengan Bala Kěslamětan (bahasa Jawa).[22] Komite yang didirikan oleh Adolph dan Alice ini awalnya hanya fokus kepada pelayanan untuk kesejahteraan umat berupa rumah perawatan bagi masyarakat yang kurang mampu.[23] Mereka berdua datang ke Hindia Belanda tahun 1882 sebagai amtenar.[1][24] Peran mereka diawali ketika Gunung Kelud meletus tahun 1901.[20] Wolterbeek dalam Babad Zending in Java menengarai bahwa letusan tersebut tidak hanya menimbulkan masalah sosial dan ekonomi saja, tetapi juga epidemi penyakit kolera yang menimpa penduduk.[25] Chao turut menambahkan bahwa sekitar + 300 orang penduduk yang berada di sekitar gunung itu lantas mengungsi hingga ke wilayah Kota Salatiga.[26] Mereka ditampung sementara di Alun-Alun Salatiga (saat ini bernama Alun-Alun Pancasila Salatiga) dalam barak-barak darurat, serta mendapatkan penanganan dari tenaga medis Militair Hospital (saat ini bernama Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Dokter Asmir; disingkat RS DKT dr. Asmir).[24] Komite pelayanan sosial[b] yang dipimpin oleh Adolph dan Alice ini sebenarnya mengajak para pengungsi untuk pindah ke Semarang (pusat awal Bala Keselamatan Indonesia).[24] Namun, menurut arsip YSKSP, mereka disarankan untuk menempati kawasan yang sekarang bernama Salib Putih atas dasar pertimbangan kemanusiaan, jarak, dan fasilitas di Semarang yang tidak memungkinkan.[25] Komite tersebut lantas mendirikan barak-barak penampungan untuk tempat tinggal dan perawatan di lahan seluas + 40 hektare secara swadaya, sedangkan para pengungsi ditampung dan dirawat sementara di rumah keluarga Emmerick, yang sekarang menjadi SMK Kristen Salatiga.[27] Mereka mulai menempati kawasan itu pada 14 Mei 1902.[20][24][28] Selain mendapatkan bantuan dari komite, para pengungsi juga dilatih dengan berbagai keterampilan untuk menggarap kawasan ini, yaitu bertani, beternak, dan membuka areal perkebunan (kopi, vanili, karet, lengkeng, dan rumput gajah).[29] Selanjutnya, bagi para pengungsi yang telah sembuh diberi kesempatan untuk bertransmigrasi ke Sumatra maupun Sulawesi, sedangkan bagi yang tidak bersedia diberi tanah dan tempat tinggal hampir seluas 12 hektare di wilayah tersebut.[30] Areal ini dalam perkembangannya bertambah luas karena mendapatkan hibah dari wedana serta tambahan hasil pembelian tanah keluarga Emmerick.[31] Berhubung sebagian besar pengungsi yang tidak ingin bertransmigrasi bersedia memeluk agama Kristen, dibangunlah sebuah gereja di wilayah itu pada 1902.[29] Bangunan gereja ini terbuat dari kayu jati dengan menara di puncaknya sebagai tempat lonceng gereja. Lonceng itu merupakan hadiah dari pemerintah Belanda yang berangka tahun 1682.[9] Pada tahun itu pula komite yang didirikan oleh keluarga Emmerick berganti nama menjadi Witte Kruis Kolonie.[29] Nama itu diambil ketika Adolph dan Alice menemukan marmer putih berbentuk salib ketika membuka lahan.[32] Nama ini dalam bahasa Indonesia berarti "Perkumpulan Salib Putih".[33] Yayasan tersebut awalnya memang belum berbadan hukum, tetapi mempunyai hak otonomi sendiri.[29] Buku Sejarah Salib Putih mencatat bahwa Adolph meninggal pada 9 Juli 1924 dan semua tugas pelayanan kemudian diteruskan oleh istrinya hingga tahun 1942. Yayasan yang dikelolanya lantas berganti nama menjadi Vereniging der Witte Kruis Kolonie dan telah berbadan hukum pada 1928, serta mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda.[29] Sampai tahun 1930, yayasan ini memiliki anggota lebih dari 1.200 orang.[28][32] Namun, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, Alice ditangkap dan akhirnya meninggal dalam tahanan.[29] Setelah Indonesia merdeka, semua aset Belanda diserahkan kepada pemerintah Indonesia, termasuk lahan Salib Putih dan bangunan gereja. Sejak tahun 1948 hingga 1952, pengelolaan Salib Putih lantas diserahkan kepada anak Adolph, yaitu Santoso Adolf van Emmerick.[29] Namun menurut Raharjo, Santoso kemudian meminta saran kepada Pendeta Basoeki Probowinoto mengenai pengelolaan Salib Putih pada 1949. Berdasarkan catatan dalam Notulen Rapat Pengurus Yayasan Amal Kristen Jawa Tengah, dengan lokasi di Salatiga dan tanggal 9 Januari 1951, ada tiga alternatif dari Santoso yang dimintakan pertimbangan, yaitu diserahkan kepada pemerintah Indonesia karena memiliki hak aset atas lahan-lahan yang pernah dikuasai oleh Belanda, diserahkan kepada Gereja Katolik Roma karena dinilai lebih berpengalaman dalam mengelola pelayanan sosial, atau diserahkan kepada pihak GKJ karena orang-orang rawatan yang berada di kawasan tersebut telah memiliki hubungan dekat dengan pihak GKJ.[34] Menanggapi tiga alternatif tersebut, Probowinoto menyarankan agar pengelolaan diserahkan kepada pihak GKJ. Namun, pertimbangannya tidak terletak berdasarkan kedekatan orang-orang rawatan dengan GKJ, melainkan supaya GKJ mempunyai kesempatan untuk melakukan pelayanan Pekabaran Injil secara lebih luas, yaitu kepada orang-orang miskin, cacat, yatim-piatu, janda, lanjut usia, dan sebagainya.[35] Notulen Rapat Pengurus Yayasan Amal Kristen Jawa Tengah, dengan lokasi di Salatiga dan tanggal 9 Januari 1951, mencatat bahwa penyerahan pengelolaan itu dilakukan secara pribadi, yaitu dari Santoso kepada Probowinoto pada 1949. Namun, Probowinoto sendiri telah memikirkan mengenai prosedur kelembagaannya. Atas prakarsa darinya, Sinode GKJ akhirnya membuat yayasan bernama Yayasan Amal Kristen pada 5–7 Juli 1950 untuk mengelola lahan Salib Putih.[36] Seluruh aktivitas yayasan selanjutnya dikelola oleh Perkumpulan Rumah Sosial Sana Bapa dan dipimpin oleh pejabat pemerintah bernama Somadilaga.[37] Pada 1952, pemerintah Indonesia menyerahkan pengelolaan gereja dan Perkumpulan Rumah Sosial Sana Bapa kepada Sinode GKJ. Nama Sana Bapa lantas diubah menjadi Perkumpulan Rumah Perawatan Salib Putih oleh Probowinoto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pelaksana Harian Sinode GKJ. Perubahan tersebut disetujui oleh Djodi Gondokusumo selaku Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan akta notaris Nomor J.A. 5/67/23 tanggal 2 Agustus 1954.[3][28] Yayasan ini terakhir berganti nama menjadi Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) pada 1977.[1][26] Untuk memenuhi ketentuan undang-undang, yayasan tersebut didaftarkan secara resmi kepada pemerintah Indonesia (dalam hal ini Menteri Sosial Republik Indonesia) melalui akta notaris No. 066-12/KPTS/BBS/II/86 tanggal 25 Februari 1986, tetapi baru dikukuhkan tanggal 14 Desember 1995.[3] Lihat pula
Catatan
Rujukan
Daftar pustakaBuku
Jurnal
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Gereja Kristen Jawa Salib Putih. |