Gereja Injili di Indonesia
Gereja Injili di Indonesia (disingkat GIDI) adalah sebuah kelompok gereja Kristen di Indonesia. Dalam situs resminya, Gereja ini berdiri sejak tanggal 12 Februari 1962. Gereja mendaftar ulang lewat Akta Nomor 15 Tanggal 6 Januari 1989. Bentuk GIDI adalah Otonom dan Gereja Nasional dengan masa berlaku tak Terbatas. Sistem Pemerintahannya, Presbiterian-Kongregasional. Setelah berkiprah selama setengah abad di Papua, Anggota Jemaat GIDI tercatat 976.000 jiwa. Semuanya terdaftar dalam Surat Baptisan. Gereja tersebut terdaftar pada Departemen Agama Republik Indonesia di Jakarta dengan Nomor E/Ket/385-1745/76. Gereja GIDI secara keseluruhan terdiri dari delapan Wilayah Pelayanan di seluruh Indonesia. Terdiri atas 61 Klasis, 11 Calon Klasis. GIDI juga memiliki dua buah rumah sakit swasta, Klinik Kalvari di Wamena dan rumah sakit Immanuel di Mulia.Selain itu, GIDI juga berkiprah di bidang pendidikan, lewat sekolah Tingkat Atas: STAKIN, SAID dan STT GIDI di Sentani. Sekolah Alkitab berbahas daerah (Lokal): 7 buah. TK-PAUD 5 buah, SMP dan SMU sebanyak 9 buah tersebar di seluruh wilayah GIDI. Tidak hanya masyarakat sipil biasa, bahkan pejabat pemerintahan, termasuk anggota DPR dan Gubernur Papua, juga merupakan jemaat GIDI.[1] SejarahGIDI pertama kali dirintis oleh tiga orang dari Badan Misi UFM dan APCM yaitu Hans Veldhuis, Fred Dawson, Russel Bond. Setelah merintis pos di Senggi termasuk membuka lapangan terbang pertama Senggi (1951-1954), pada tanggal 20 Januari 1955 ketiga misionaris beserta tujuh orang pemuda dari Senggi terbang dari Sentani tiba di Lembah Baliem di Hitigima menggunakan pesawat amphibi Sealander. Kemudian mereka melanjutkan misi dengan berjalan kaki dari Lembah Baliem ke arah Barat pegunungan Jayawijaya melalui dusun Piramid. Dari Piramid bertolak menyeberangi sungai Baliem dan menyusuri sungai Wodlo dan tiba di Ilugwa. Setelah mereka beristirahat lanjutkan perjalanan ke arah muara sungai Ka'liga (Hablifura) dan akhirnya tiba di danau Archbol pada tanggal 21 Februari 1955. Di area danau Acrhbold disinilah pertama kali mereka mendirikan Camp Injili dan meletakkan dasar teritorial penginjilan. Pada tahun itu pula pada tanggal 25 Maret 1955 pesawat jenis JZ-PTB Piper Pacer berhasil mendarat di Danau Archbold. Mereka membuka lapangan terbang di Archbold sambil mengadakan survei pengembangan pelayanan di sekitar Bokondini dan Kelila. Pada bulan Maret 1955 Bert Power dan Ross Bertell tiba di Bokondini. Selain misi UFM, Gesswein dan Widbin bersama Misi ABMS lainnya meninggalkan Camp Injili Archbol pada tanggal 28 April dan tiba di Bokondini pada tanggal 1 Mei 1955. Di Bokondini membuka lapangan terbang pertama tanggal 5 Juni 1965 dan Pilot Dave Steiger mendaratkan pesawat pertama kali di Bokondini. Sejak itulah secara resmi membuka Pos UFM dan APCM di Bokondini sebagai basis penginjilan di seluruh pegunungan tengah Papua. Pada tanggal 5 Juni 1957, pesawat MAF pertama kali mendarat di Swart Valley sekarang disebut Karubaga Wilayah Toli. Lalu, pada bulan Agustus 1958, tiga orang UFM Ralph Maynard, Bert Power dan Leon Dillinger berjalan kaki dari Karubaga menuju ke daerah Yamo membuka lapangan terbang di Mulia. Setelah membuka pos-pos penginjilan, sebagai hasil pertama dari Badan Misi UFM dan APCM melakukan pembaptisan pertama berjumah 9 orang di Kelila wilayah Bogo pada tanggal 29 Juli 1962. Inilah cikal bakal jemaat mula-mula dalam sejarah berdirinya Gereja Injili Di Indonesia. Dan, baptisan yang kedua dilakukan pada tanggal 16 september 1962 di Bokondini dan disusul baptisan ketiga di Kanggime tanggal 27 Januari 1963. Sejak itu, terjadi pembaptisan dimana-mana. Inilah awal permulaan dari kongregasional, suatu pertumbuhan orang-orang percaya yang kemudian menjadi sebuah gereja lokal yang otonom, independen dan demokrasi dengan sistem pemerintahan Kongregasional-Presbiaterian. Pada waktu itu gereja pribumi ini semakin hari semakin bertumbuh dan mengalami kemajuan yang sangat pesat maka para pendiri bekerjasama dengan Tiga Badan Misi APCM, UFM dan RBMU bersepakat untuk mendirikan gereja dengan nama sendiri (terpisah dari gereja-gereja dari luar). Akhirnya pada tanggal 12 Februari 1963 mereka bersepakat memberi nama gereja ini pertama kali disebut Gereja Injili Irian Barat (GIIB) -1971 dengan pusat gereja di Irian Jaya. Pada tahun 1971 nama gereja GIIB diganti dengan GIIJ (Gereja Injili Irian Jaya) – 1988. Sejalan dengan masa peralihan Irian Barat ke wilayah NKRI dimana nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya. Pada tahun 1988 nama gereja ini berubah menjadi Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan gereja dari tanah Papua meramba hingga ke pulau-pulau seluruh Nusantara Indonesia.[2][3][4] KontroversiGIDI dituding terlibat dalam serangan Tolikara 2015.[5] Indikasi ini dihubungkan dengan keberadaan surat tanggal 11 Juli 2015 yang dikeluarkan Badan Pekerja Wilayah Toli. Surat itu diduga melarang umat Muslim merayakan Idul Fitri pada tanggal 17 Juli 2015.[6] Kemenag mendesak ketua Sinode GIDI agar mengklarifikasi dan meminta maaf atas serangan tersebut.[7] Menurut Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tolikara, Yusak Mauri, "pihak GIDI juga pernah menutup paksa gereja denominasi Kristen Protestan lainnya. Pihak GIDI mewajibkan pemeluk gereja tersebut bergabung dengan GIDI."[8] Kontroversi tersebut disusul dengan kabar yang mengatakan bahwa GIDI juga mewajibkan pengecatan bendera Israel di dinding bangunan dan jika tidak melakukannya maka akan dikenakan sanksi berupa denda sejumlah 500 ribu rupiah dalam rangka penyelenggaraan acara seminar KKR Internasional GIDI yang berlangsung pada 15 Juli-19 Juli 2015 di Kabupaten Tolikara dihadiri pendeta asal Israel, yakni Benjamin Berger..[9] Referensi
|