Genosida Timor Timur
Genosida Timor Leste atau Genosida Timor Timur mengacu kepada serangkaian tindakan terorisme negara yang dilancarkan oleh pemerintahan Orde Baru sepanjang masa invasi dan pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejumlah studi mengkategorikan pembunuhan yang dilakukan di Timor Leste sebagai genosida,[1][2][3] sementara sejumlah cendekia memperdebatkan sejumlah aspek terkait definisinya.[4] Serbuan awalSejak awal penyerbuan pada Agustus 1975 dan seterusnya, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terlibat dalam pembunuhan massal warga sipil Timor Leste.[5] Pada awal masa pendudukan, radio FRETILIN menyiarkan pernyataan berikut ini: "Tentara Indonesia membunuh tanpa ampun. Perempuan dan anak-anak ditembak di jalanan. Kita semua akan dibunuh.... Ini adalah permohonan bantuan internasional. Tolong lakukan sesuatu agar penyerbuan ini berhenti."[6] Seorang pengungsi asal Timor menyaksikan "pemberontakan [dan] pembunuhan berdarah dingin terhadap perempuan dan anak-anak dan pemilik toko Tionghoa".[7] Uskup Dili saat itu, Martinho da Costa Lopes, mengatakan, "Para tentara yang mendarat mulai membunuh semua orang yang mereka jumpai. Ada banyak tubuh bergelimpangan di jalanan. Di mana-mana kami hanya melihat tentara sedang membunuh, membunuh, membunuh."[8] Dalam satu insiden, sekitar lima puluh laki-laki, perempuan, dan anak-anak, termasuk wartawan lepas asal Australia Roger East, dibariskan menghadap tebing di luar kota Dili dan ditembak; semua jasad jatuh ke laut.[9] Banyak pembantaian terjadi di Dili. Saksi disuruh melihat dan menghitung keras-keras setiap kali ada orang yang dieksekusi.[10] Kurang lebih 2.000 penduduk Timor dibantai pada dua hari pertama penyerbuan Dili. Selain pendukung Fretilin, pendatang Tionghoa juga dieksekusi; lima ratus orang dibunuh pada hari pertama.[11] Pembunuhan massal berlanjut tanpa henti ketika militer Indonesia memasuki daerah pegunungan Timor Leste yang dikuasai Fretilin. Seorang pemandu asal Timor yang bekerja untuk perwira senior Indonesia memberitahu mantan Konsul Australia untuk Timor Portugis, James Dunn, bahwa pada bulan-bulan pertama pertempuran, TNI "membunuh sebagian besar orang Timor yang mereka temui."[12] Pada Februari 1976, setelah menguasai desa Aileu di selatan Dili dan memukul mundur pasukan Fretilin, tentara Indonesia menembaki sebagian besar penduduk desa, konon menembak semua orang di atas usia tiga tahun. Anak-anak kecil yang dibiarkan hidup dibawa ke Dili menggunakan truk. Ketika Aileu jatuh ke tangan TNI, jumlah penduduknya sekitar 5.000 jiwa. Ketika pekerja sosial Indonesia mengunjungi Aileu bulan September 1976, jumlah penduduknya tinggal 1.000 jiwa.[13] Pada Juni 1976, TNI yang terpukul oleh serangan Fretilin melancarkan balas dendam terhadap kamp pengungsi besar yang dihuni 5.000 sampai 6.000 orang Timor di Lamaknan, dekat perbatasan Timor Barat. Setelah membakar beberapa rumah, tentara Indonesia membantai kurang lebih 2.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak.[14] Pada Maret 1977, mantan konsul Australia, James Dunn, menerbitkan laporan yang merincikan tuduhan militer Indonesia telah membunuh antara 50.000 sampai 100.000 warga sipil Timor Leste sejak Desember 1975.[15] Jumlah ini konsisten dengan pernyataan pemimpin UDT, Lopez da Cruz, pada 13 Februari 1976 bahwa 60.000 warga Timor Leste tewas sepanjang perang saudara enam bulan sebelumnya dan 55.000 orang tewas pada dua bulan pertama penyerbuan oleh Indonesia. Perwakilan pekerja sosial Indonesia di Timor Leste membenarkan jumlah tersebut.[16] Laporan Gereja Katolik pada akhir 1976 juga memperkirakan jumlah korban tewas antara 60.000 sampai 100.000 jiwa.[17] Angka ini juga diperkuat oleh statistik pemerintah Indonesia. Dalam wawancara tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Adam Malik mengatakan bahwa jumlah korban tewas sebanyak "50.000 jiwa atau mungkin 80.000 jiwa".[18] Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa aneksasi Timor Leste bertujuan mewujudkan persatuan antikolonialisme. Buku panduan Departemen Luar Negeri Indonesia tahun 1977, Decolonization in East Timor, menghormati "hak penentuan nasib sendiri yang sakral"[19] dan mengakui APODETI sebagai perwakilan mayoritas rakyat Timor Leste yang sesungguhnya. Deplu mengklaim bahwa FRETILIN populer karena "sering mengancam, memeras, dan meneror".[20] Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas, menegaskan kembali sikap tersebut dalam memoar tahun 2006 yang berjudul The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor.[21] Menurut pemerintah Indonesia, pembagian pulau menjadi timur dan barat "disebabkan oleh penindasan kolonial" oleh kekuatan imperial Portugal dan Belanda. Karena itu, menurut pemerintah Indonesia, aneksasi provinsi ke-27 adalah salah satu langkah untuk mempersatukan kepulauan Nusantara yang telah dimulai sejak 1904-an.[22] Relokasi dan kelaparan paksaKarena ladang pertanian rusak, banyak warga sipil yang terpaksa turun gunung dan menyerah kepada TNI. Setelah mereka turun ke dataran rendah untuk menyerah, biasanya mereka langsung dieksekusi. Warga yang tidak dieksekusi dibawa ke kamp transit yang dibangun jauh-jauh hari. Kamp-kamp ini terletak dekat pangkalan militer daerah. TNI "menyaring" penduduk untuk menemukan anggota pemberontak, biasanya dibantu kolaborator asal Timor. Di kamp-kamp transit ini, warga sipil yang menyerah dicatat dan diinterogasi. Orang-orang yang diduga anggota pemberontak ditahan dan dibunuh.[23] Kamp ini umumnya terdiri atas bangunan jerami tanpa toilet. Selain itu, militer Indonesia melarang Palang Merah mengirim bantuan kemanusiaan. Para tahanan juga tidak mendapat layanan kesehatan. Akibatnya, banyak orang Timor—lemah karena lapar dan diberi jatah makanan yang sangat sedikit—meninggal karena kekurangan gizi, kolera, diare, dan tuberkulosis. Pada akhir 1979, sekitar 300.000 sampai 370.000 orang Timor pernah ditahan di kamp ini.[24] Setelah tiga bulan, tahanan dipindahkan ke "desa strategis" untuk diawasi dan dibiarkan kelaparan.[25][25] Mereka tidak boleh bepergian dan bercocok tanam dan harus mematuhi jam malam.[26] Laporan komisi kebenaran PBB menunjukkan bukti penerapan kelaparan paksa oleh militer Indonesia untuk memusnahkan warga sipil Timor Leste. Laporan tersebut juga menambahkan bahwa banyak orang yang "jelas-jelas tidak diperbolehkan makan dan mencari sumber makanan". Laporan ini mengutip kesaksian orang-orang yang tidak diperbolehkan makan dan menjabarkan perusakan ladang dan ternak oleh tentara Indonesia.[27] Laporan ini menyimpulkan bahwa kebijakan kelaparan paksa menewaskan 84.200 sampai 183.000 penduduk Timor Leste.[28] Seorang pekerja gereja melaporkan bahwa 500 warga Timor Leste mati kelaparan setiap bulan di satu distrik.[29] World Vision Indonesia mengunjungi Timor Leste bulan Oktober 1978 dan mengklaim bahwa 70.000 penduduk Timor Leste terancam kelaparan.[30] Utusan International Committee of the Red Cross melaporkan pada tahun 1979 bahwa 80 persen penghuni kamp kekurangan gizi. Suasana saat itu digambarkan "separah Biafra".[31] ICRC mengingatkan bahwa "puluhan ribu orang" terancam kelaparan.[32] Indonesia mengumumkan bahwa Palang Merah Indonesia (PMI) sedang berusaha memulihkan krisis ini, tetapi lembaga Action for World Development menuduh bahwa PMI menjual bantuan yang disumbangkan.[29] Operasi pendamaian IndonesiaOperasi Keamanan: 1981–82Pada tahun 1981, militer Indonesia melancarkan Operasi Keamanan yang juga dijuluki "operasi pagar betis". Dalam operasi ini, TNI merekrut 50.000 sampai 80.000 pemuda Timor Leste untuk berbaris ke pegunungan dan menjadi tameng hidup untuk mencegah serangan balasan FRETILIN. Tujuan TNI adalah menyapu bersih pemberontak di daerah tengah Timor Leste. Banyak pemuda dalam operasi ini yang meninggal kelaparan, kelelahan, atau ditembak oleh TNI karena membiarkan pemberontak kabur. Ketika "pagar betis" ini mengepung desa, TNI membantai warga sipil dalam jumlah yang tidak diketahui. Sedikitnya 400 warga desa dibantai di Lacluta oleh Batalyon 744 Angkatan Darat Indonesia pada September 1981. Seorang saksi mata yang bersaksi di hadapan Senat Australia mengatakan bahwa tentara dengan sengaja membunuh anak-anak kecil dengan cara menghantamkan kepala mereka ke batu.[33] Operasi ini gagal meredam pemberontakan. Penolakan masyarakat terhadap pendudukan Indonesia semakin kuat.[34] Ketika tentara FRETILIN di pegunungan melanjutkan serangan sporadisnya, pasukan Indonesia melancarkan serangkaian operasi untuk meredamnya selama sepuluh tahun berikutnya. Sementara itu, di berbagai kota dan desa, gerakan pemberontakan damai (pasif) mulai terbentuk.[35] Operasi Sapu Bersih: 1983Gagalnya rangkaian operasi kontrapemberontak memaksa petinggi militer Indonesia memerintahkan Komandan Resor Militer Dili, Kolonel Purwanto, merintis dialog perdamaian dengan Komandan FRETILIN, Xanana Gusmão, di wilayah yang dikendalikan FRETILIN pada Maret 1983. Ketika Xanana menginginkan agar Portugal dan PBB dilibatkan dalam dialog ini, Komandan TNI Benny Moerdani membatalkan gencatan senjata dengan mengumumkan serangan kontrapemberontak baru bernama "Operasi Sapu Bersih" pada Agustus 1983. Ia mengatakan, "Tidak boleh main-main lagi. Kali ini kita akan memusnahkan mereka tanpa ampun."[36] Batalnya gencatan senjata diikuti oleh gelombang pembantaian, eksekusi di tempat, dan "penghilangan" baru oleh militer Indonesia. Pada Agustus 1983, 200 orang dibakar hidup-hidup di desa Creras. 500 orang lainnya dibunuh di sungai di daerah itu.[33] Pada Agustus hingga Desember 1983, Amnesty International mencatat pengangkapan dan "penghilangan" lebih dari 600 orang di ibu kota. Kerabat diberitahu oleh TNI bahwa orang-orang yang "menghilang" dibawa ke Bali.[37] Orang-orang yang diduga menolak integrasi biasanya ditangkap dan disiksa.[38] Pada tahun 1983, Amnesty International merilis buku panduan militer Indonesia yang diperoleh di Timor Leste. Buku tersebut mengajarkan cara memancing kegelisahan fisik dan mental dan mewanti-wanti tentara untuk "tidak mengambil foto yang menampilkan penyiksaan (terhadap seseorang yang disetrum, ditelanjangi, dan lain-lain)".[39] Dalam memoar tahun 1997, East Timor's Unfinished Struggle: Inside the Timorese Resistance, Constâncio Pinto menggambarkan penyiksaannya oleh tentara Indonesia: "Untuk setiap pertanyaan, wajah saya ditonjok dua atau tiga kali. Ketika seseorang menonjokmu seperti itu, wajahmu terasa hancur. Mereka memukul punggung dan pinggang saya dengan tangan, lalu menendang saya.... [Di tempat lain] mereka menyiksa saya secara psikologis; mereka tidak memukul, tetapi benar-benar mengancam akan membunuh saya. Mereka bahkan meletakkan pistol di meja."[40] Dalam buku Michele Turner yang berjudul Telling East Timor: Personal Testimonies 1942–1992, seorang perempuan bernama Fátima menggambarkan penyiksaan di sebuah penjara di Dili: "Mereka memaksa tahanan duduk di kursi, tetapi kursinya menindih jempol kaki mereka. Gila memang. Para tentara mengencingi makanan dan mengaduk-aduknya sebelum diserahkan kepada tahanan. Mereka menyetrum tahanan menggunakan mesin listrik...."[41] Kekerasan terhadap perempuanKekerasan terhadap perempuan oleh militer Indonesia di Timor Leste sangat banyak dan terdokumentasikan dengan baik.[42] Selain mengalami penangkapan sepihak, penyiksaan, dan eksekusi tanpa pengadilan, perempuan-perempuan ini diperkosa dan dilecehkan secara seksual—kadang hanya karena memiliki hubungan dengan seorang aktivis kemerdekaan. Lingkup persoalannya sulit ditentukan karena militer sangat berkuasa saat pendudukan Timor Leste ditambah rasa malu yang dialami korban. Dalam laporan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dan Timor Leste tahun 1995, Amnesty International USA menulis: "Para perempuan enggan menyampaikan informasi tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada lembaga swadaya masyarakat ataupun melaporkan pelanggaran kepada militer atau polisi."[43] Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam bentuk perundungan, intimidasi, dan pernikahan paksa. Laporan Amnesty mencantumkan kasus seorang perempuan yang dipaksa tinggal bersama seorang komandan di Baucau, kemudian dilecehkan setiap hari oleh tentara setelah dibebaskan.[43] "Pernikahan" seperti ini lumrah pada masa pendudukan di Timor Leste.[44] Sejumlah perempuan juga didorong mengikuti prosedur sterilisasi. Beberapa di antaranya dipaksa menelan obat kontraseptif Depo Provera dan tidak diberitahu kegunaannya.[45] Pada tahun 1999, Rebecca Winters menerbitkan buku berjudul Buibere: Voice of East Timorese Women yang menceritakan kisah-kisah pribadi tentang kekerasan dan pelecehan sejak hari-hari pertama pendudukan di Timor Leste. Seorang perempuan mengaku diinterogasi dalam keadaan setengah telanjang, disiksa, dilecehkan, dan diancam akan dibunuh.[46] Seorang perempuan lain mengaku kaki dan tangannya dirantai, diperkosa berkali-kali, dan diinterogasi selama beberapa pekan.[47] Seorang perempuan yang menyiapkan makanan untuk pemberontak FRETILIN ditangkap, disundut rokok, disetrum, dan dipaksa berjalan telanjang melewati kumpulan tentara dan disuruh masuk tank yang dipenuhi air kencing dan kotoran manusia.[48] Pembantaian Santa CruzPada misa pemakaman tanggal 12 November 1991, untuk mengenang seorang pemuda pro-kemerdekaan ditembak oleh tentara Indonesia, pengunjuk rasa di tengah kerumunan berjumlah 2.500 orang membentangkan bendera dan panji Fretilin dengan slogan pro-kemerdekaan dan meneriakkan yel-yel dengan damai.[49] Usai konfrontasi singkat antara tentara Indonesia dan pengunjuk rasa,[50] 200 tentara Indonesia melepaskan tembakan ke kerumunan dan menewaskan sedikitnya 200 warga Timor Leste.[51] Kesaksian warga asing di pemakaman tersebut segera diliput oleh organisasi berita internasional. Rekaman pembantaian disiarkan[52] dan memancing kemarahan di seluruh dunia.[53] Menanggapi pembantaian ini, aktivis di seluruh dunia bersimpati dengan rakyat Timor Leste. Mereka menuntut penentuan nasib sendiri di Timor Leste.[54] TAPOL, organisasi Britania Raya yang dibentuk tahun 1972 untuk mendukung demokrasi di Indonesia, mengalihkan fokus aktivitasnya ke Timor Leste. Di Amerika Serikat, East Timor Action Network (kini East Timor and Indonesia Action Network) didirikan dan memiliki cabang di sepuluh kota di sana.[55] Kelompok solidaritas lain juga didirikan di Portugal, Australia, Jepang, Jerman, Malaysia, Irlandia, dan Brasil. Liputan pembantaian ini menjadi contoh bagaimana pertumbuhan media baru di Indonesia mempersulit Orde Baru mengontrol arus informasi ke dalam dan luar Indonesia. Selain itu, pada era pasca-Perang Dingin tahun 1990-an, pemerintah Indonesia menjadi sorotan dunia internasional.[56] Sejumlah perkumpulan mahasiswa pro-demokrasi beserta majalah secara terbuka dan kritis membahas Timor Leste, Orde Baru, serta sejarah dan masa depan Indonesia.[54][56][57] Kecaman keras terhadap militer Indonesia berdatangan, tidak hanya dari komunitas internasional, tetapi juga para petinggi pemerintahan Indonesia. Pembantaian ini mengakhiri penyerbuan Indonesia di Timor Leste tahun 1989. Gelombang penindasan baru pun dimulai.[58] Warouw dipecat dan pendekatannya yang lebih lunak kepada pemberontak Timor ditolak oleh atasannya. Para terduga simpatisan Fretilin ditangkap, pelanggaran HAM meroket, dan larangan wartawan asing diberlakukan kembali. Penduduk Timor semakin benci dengan kehadiran militer Indonesia di daerahnya.[59] Kopassus Grup 3 pimpinan Mayor Jenderal Prabowo melatih geng-geng militer berjaket hitam untuk meredam sisa-sisa pemberontakan.[58] Jumlah korban tewasJumlah korban tewas pastinya sulit ditentukan. Laporan Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR) PBB memperkirakan jumlah minimal korban tewas terkait konflik mencapai 102.800 (+/- 12.000) jiwa. Dari angka tersebut, kurang lebih 18.600 (+/-1.000) di antaranya dibunuh atau menghilang dan kurang lebih 84.000 (+/-11.000) orang lainnya meninggal akibat kelaparan atau penyakit (melebihi angka kematian pada masa damai). Angka ini merupakan perkiraan konservatif minimal yang disebut sebagai temuan utama ilmiah oleh CAVR. Laporan ini tidak mencantumkan batas atas, tetapi CAVR berspekulasi bahwa total korban tewas akibat kelaparan dan penyakit yang dipicu konflik bisa mencapai 183.000 jiwa.[60] Komisi Kebenaran menetapkan TNI sebagai pihak yang bertanggung jawab atas 70% kasus pembunuhan pada masa konflik di Timor Leste.[61] Ben Kiernan mengatakan bahwa "angka 150.000 jiwa mendekati jumlah korban tewas yang sesungguhnya," tetapi peneliti lain juga memperkirakan 200.000 jiwa atau lebih.[62] Center for Defense Information juga memperkirakan hampir 150.000 orang tewas.[63] Pada tahun 1974, Gereja Katolik memperkirakan jumlah penduduk Timor Leste sebanyak 688.711 jiwa; pada tahun 1982, Gereja hanya memperkirakan jumlah penduduk sebanyak 425.000 jiwa. Dari kedua jumlah tersebut, tampak bahwa kurang lebih 200.000 orang tewas pada masa pendudukan. Angka ini digunakan oleh laporan berita di seluruh dunia.[64] Sumber-sumber lain seperti Amnesty International dan Human Rights Watch juga membenarkan angka korban tewas sebanyak 200.000 jiwa.[65] Menurut Gabriel Defert, berdasarkan data statistik pemerintah Portugal dan Indonesia serta Gereja Katolik, antara Desember 1975 dan Desember 1981, kurang lebih 300.000 warga Timor tewas; jumlah ini mewakili 44% populasi Timor Leste pra-invasi.[66] George Aditjondro dari Universitas Salatiga mendalami data TNI dan menemukan bahwa 300.000 orang Timor tewas pada tahun-tahun pertama invasi di Timor Leste.[67] Robert Cribb dari Universitas Nasional Australia berpendapat bahwa jumlah korban tewas terlalu dilebih-lebihkan. Menurutnya, angka 555.350 penduduk yang diperoleh dari sensus 1980, disebut-sebut sebagai "sumber yang paling bisa diandalkan", mungkin merupakan perhitungan paling sedikit (minimum). Ia menulis, "Perlu diketahui bahwa ratusan ribu orang Timor Leste menghilang semasa kekerasan September 1999, lalu muncul kembali." Sensus 1980 menjadi usang karena sensus 1987 menghitung 657.411 penduduk Timor. Angka tersebut memerlukan pertumbuhan sebesar 2,5% per tahun, nyaris identik dengan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi di Timor Leste sejak 1970 sampai 1975. Pertumbuhan seperti ini mustahil karena pendudukan Indonesia berlangsung dengan sangat brutal, bahkan sampai mencegah reproduksi penduduk. Karena tidak banyak kesaksian pribadi tentang kekejaman atau trauma yang dialami tentara Indonesia, ia menambahkan bahwa Timor Leste "tampaknya—menurut laporan berita dan penelitian akademik—bukan masyarakat yang mudah trauma akibat kematian massal... [S]uasana menjelang pembantaian Dili tahun 1991...menunjukkan sebuah masyarakat yang tetap tegar dan marah, sikap yang tidak mungkin ada apabila [Timor Leste] diperlakukan layaknya Kamboja era Pol Pot." Strategi militer Indonesia bertujuan merebut "hati dan pikiran" rakyat, strategi yang tidak cocok as dengan dugaan pembunuhan massal.[68] Berangkat dari jumlah penduduk sebesar 700.000 jiwa tahun 1975 (menurut sensus Gereja Katolik 1974), Kiernan memperkirakan jumlah penduduk 735,000 jiwa pada tahun 1980 (dengan asumsi pertumbuhan hanya berkisar 1% per tahun akibat invasi Indonesia). Ia menganggap jumlah korban versi Cribb sebesar 10% (55.000 jiwa) terlalu sedikit. Kiernan memperkirakan bahwa kurang lebih 180.000 orang tewas dalam perang ini.[69] Cribb berpendapat bahwa pertumbuhan 3% yang dicantumkan oleh sensus 1974 terlalu tinggi. Faktanya, gereja hanya memperkirakan pertumbuhan sebesar 1,8% sehingga jumlah penduduknya sama dengan angka sensus Portugal tahun 1974, yaitu 635.000 jiwa. Meski Cribb menegaskan bahwa hasil sensus Portugal hampir pasti terlalu sedikit,[69] ia yakin bahwa angkanya lebih akurat daripada sensus Gereja Katolik karena upaya gereja untuk melebih-lebihkan total populasi "membuktikan bahwa pengaruh gereja belum merambah seluruh masyarakat [Timor Leste]" (umat Katolik berjumlah kurang dari separuh penduduk Timor Leste). Apabila angka pertumbuhannya setara dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, jumlah penduduk yang lebih akurat adalah 680.000 jiwa tahun 1975 dan perkiraan jumlah penduduk lebih dari 775.000 tahun 1980 (tanpa menghitung turunnya angka kelahiran akibat pendudukan Indonesia).[69] Selisihnya mendekati 200.000 jiwa. Menurut Cribb, kebijakan Indonesia membatasi angka kelahiran hingga 50% atau lebih. Karena itu, sekitar 45.000 orang tidak pernah lahir, bukan dibunuh; 55.000 warga Timor lainnya "hilang" karena menghindari petugas pemerintah Indonesia yang melakukan sensus 1980.[70] Sejumlah faktor—mengungsinya puluhan ribu orang untuk menghindari FRETILIN tahun 1974-5; tewasnya ribuan orang dalam perang saudara; tewasnya kombatan pada masa pendudukan; pembunuhan oleh FRETILIN; dan bencana alam—semakin mengurangi jumlah korban sipil yang ditimbulkan oleh serangan militer Indonesia waktu itu.[70] Setelah mempertimbangkan data-data tersebut, Cribb memilih jumlah korban yang lebih sedikit, yaitu 100.000 jiwa atau kurang, dengan jumlah minimal 60.000 jiwa. Ia juga berpendapat bahwa sepersepuluh warga sipil meninggal secara tidak alamiah pada tahun 1975–80.[71] Namun, Kiernan menegaskan bahwa datangnya pekerja migran pada masa pendudukan Indonesia dan naiknya angka pertumbuhan penduduk yang mencerminkan krisis mortalitas memperkuat hasil sensus 1980 meski bertentangan dengan perkiraan 1987. Selain itu, sensus gereja tahun 1974—walaupun hasilnya "semaksimal mungkin"—tidak bisa diabaikan karena kurangnya pengaruh gereja di Timor Leste bisa jadi menghasilkan angka populasi yang lebih sedikit.[69] Ia menyimpulkan bahwa kurang lebih 116.000 kombatan dan warga sipil tewas oleh serangan kedua belah pihak atau meninggal secara "tidak alamiah" pada tahun 1975–80 (apabila ini benar, artinya 15% warga sipil Timor Leste meninggal dunia pada tahun 1975–80).[69] F. Hiorth secara terpisah memperkirakan bahwa 13% (95.000 dari 730.000 jiwa apabila menghitung penurunan angka kelahiran) warga sipil meninggal pada tahun-tahun tersebut.[70] Kiernan percaya bahwa selisihnya sangat mungkin mencapai 145.000 jiwa atau 20% penduduk Timor Leste apabila menghitung penurunan angka kelahiran.[69] Rerata jumlah korban tewas menurut laporan PBB adalah 146.000 jiwa; R.J. Rummel, analis pembunuhan politis, memperkirakan 150.000 orang tewas.[72] Banyak pengamat yang menggolongkan aksi militer Indonesia di Timor Leste sebagai contoh genosida.[73] Rapat akademisi Oxford menetapkan bahwa peristiwa ini adalah genosida dan Universitas Yale mengajarkan peristiwa ini dalam program studi Kajian Genosida.[1][74] Dalam kajian makna hukum kata "genosida" serta kesesuaiannya untuk menyebut pendudukan di Timor Leste, pakar hukum Ben Saul mengatakan bahwa karena tidak ada kelompok yang diakui oleh hukum internasional yang menjadi target militer Indonesia, peristiwa ini tidak bisa disebut genosida. Namun, ia juga mengatakan, "Konflik di Timor Leste lebih tepat disebut sebagai genosida terhadap sebuah 'kelompok politik' atau 'genosida budaya', tetapi kedua konsep ini tidak diakui secara eksplisit dalam hukum internasional."[75] Pendudukan di Timor Leste disejajarkan dengan pembantaian oleh Khmer Merah, Perang Yugoslavia, dan Genosida Rwanda.[76] Jumlah korban tewas dari pihak Indonesia terdokumentasikan secara akurat. Nama-nama 2.300-an tentara Indonesia dan milisi pro-Indonesia yang meninggal dalam tugas dan meninggal akibat penyakit dan kecelakaan pada masa pendudukan dipahat di Monumen Seroja di Markas TNI, Cilangkap, Jakarta Selatan.[77] Film
Lihat pulaCatatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
|