Genjer-Genjer
Genjer-Genjer adalah lagu daerah Bahasa Osing dari Jawa Timur, Indonesia, ditulis dan digubah oleh musisi Muhammad Arief. Lagu tersebut ditulis sebagai gambaran kondisi masyarakat Banyuwangi pada masa masa pendudukan Jepang. Lagu ini berfokus pada perjuangan para petani yang terpaksa memakan tanaman genjer (Limnocharis flava) – tanaman yang awalnya dianggap hama – untuk bertahan hidup. Lagu ini pertama kali direkam pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda pada tahun 1942 oleh Muhammad Arief, diaransemen untuk angklung; pemerintah pendudukan militer Jepang menggunakan lagu tersebut sebagai propaganda untuk mendorong masyarakat Indonesia agar hidup sederhana selama masa perang karena hasil panen dialihkan untuk memberi makan tentara di garis depan, yang menyebabkan kelaparan dan kelaparan yang meluas.[1] Kampanye propaganda tersebut memperkenalkan lagu tersebut kepada masyarakat Indonesia di seluruh Jawa. Pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 60-an, Genjer-genjer mendapatkan popularitas di seluruh Indonesia, dan kelompok kiri politik mulai tertarik pada lagu tersebut. Lagu ini bertemakan kesulitan dan ketekunan petani yang bergema di kalangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada khususnya. Pada tahun 60an, lagu ini semakin dikenal dan populer di kalangan masyarakat Indonesia karena sempat mengudara di televisi melalui TVRI dan radio melalui RRI. Musisi ternama juga datang untuk merekam Genjer-Genjer, terutama Bing Slamet dan Lilis Suryani.[1] Pada tahun 1965, Genjer-Genjer terjerat dalam mitologi Orde Baru tentang Gerakan 30 September, sebuah kudeta sayap kiri yang dianggap gagal yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Selama kudeta, tujuh jenderal diculik oleh Gerakan 30 September dan kemudian dibunuh di sebuah situs bernama Lubang Buaya. Untuk memperkuat legitimasinya dan semakin mendiskreditkan kelompok Kiri Indonesia, Orde Baru mengarang cerita tentang bagaimana selama terjadinya pembunuhan anggota pemuda PKI (Pemuda Rakyat dan perempuan Gerwani ) menari dan ikut serta dalam pesta pora sambil memutilasi para jenderal sambil menyanyikan lagu-lagu, termasuk Genjer-Genjer.[2][3] Namun, satu-satunya bukti yang diajukan Orde Baru atas penggunaan lagu tersebut selama pembunuhan tidak dapat diandalkan dan dibuat-buat, berasal dari pengakuan yang diperoleh melalui penyiksaan dan sebuah buku lagu daerah Indonesia yang menyertakan lirik untuk Genjer-Genjer ditemukan tertinggal di Pangkalan Udara Halim (markas kudeta).[3][1] Mengingat kaitan Genjer-Genjer dengan politik dan budaya sayap kiri serta dugaan kaitannya dengan Gerakan 30 September, Orde Baru dengan cepat melarang lagu tersebut. Larangan terhadap lagu tersebut berakhir pada tahun 1998 dengan mundurnya Soeharto dan berakhirnya Orde Baru. Sejak tahun 1998, semakin banyak musisi Indonesia yang mulai membawakan lagu tersebut, meski stigma yang melekat pada lagu tersebut pada masa Orde Baru belum sepenuhnya hilang dari masyarakat Indonesia. Band rock Amerika Dengue Fever juga merekam versi Genjer-genjer pada tahun 2016, meskipun dengan lirik dalam Khmer.[4] Latar belakang penciptaan laguPada sekitar tahun 1942, berkembang lagu angklung Banyuwangi yang terkenal berjudul “Genjer-Genjer”. Syair lagu ini diciptakan oleh M. Arif, seorang seniman pemukul alat instrumen angklung. Berdasarkan keterangan teman sejawat almarhum Arif, lagu "Genjer-Genjer" itu diangkat dari lagu dolanan yang berjudul “Tong Alak Gentak”.[5][6] Lagu rakyat yang hidup di Banyuwangi itu, kemudian diberi syair baru. Syair lagu "Genjer-Genjer" dimaksudkan sebagai sindiran atas masa pendudukan Jepang ke Indonesia. Pada saat itu, kondisi rakyat semakin sengsara dibanding sebelumnya. Bahkan ‘genjer’ (Limnocharis flava) tanaman gulma yang tumbuh di rawa-rawa sebelumnya dikonsumsi itik, namun menjadi santapan yang lezat akibat tidak mampu membeli daging. Menurut Suripan Sadi Hutomo (1990: 10), upaya yang dilakukan M. Arif sesuai dengan fungsi Sastra Lisan, yaitu sebagai kritik sosial, menyindir penguasa, dan alat perjuangan. PopularitasSetelah kemerdekaan Indonesia, lagu "Genjer-Genjer" menjadi sangat populer setelah banyak dibawakan penyanyi-penyanyi dan disiarkan di radio Indonesia. Penyanyi yang paling dikenal dalam membawakan lagu ini adalah Lilis Suryani dan Bing Slamet. Saking terkenalnya bahkan kemudian muncul pengakuan dari Jawa Tengah, bahwa lagu "Genjer-Genjer" ciptaan Ki Narto Sabdo seorang dalang kondang. Dalam sebuah tulisannya Hersri Setiawan memberikan penjelasan tentang asal-muasal hingga lagu Genjer-Genjer menjadi terkenal. Penggunaan dalam politikPenggunaan dalam propaganda PKIPada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Partai Komunis Indonesia (PKI) melancarkan kampanye besar-besaran untuk meningkatkan popularitas. Lagu ini, yang menggambarkan penderitaan warga desa, menjadi salah satu lagu propaganda yang disukai dan dinyanyikan pada berbagai kesempatan. Akibatnya orang mulai mengasosiasikan lagu ini sebagai "lagu PKI". Pelarangan oleh pemerintahan Orde BaruPeristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965 membuat rezim Orde Baru yang anti-komunisme melarang disebarluaskannya lagu ini. Menurut versi ABRI, para anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat menyanyikan lagu ini ketika para jenderal yang diculik diinterogasi dan disiksa. Peristiwa ini digambarkan pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI besutan Arifin C. Noer. Dalam serangkaian peristiwa tragedi pembantaian komunis oleh TNI dan pendukung Orde Baru tahun 1965 - 1966 di Indonesia, Muhammad Arief, pencipta lagu "Genjer-Genjer" meninggal dibunuh akibat dianggap terlibat dalam organisasi massa onderbouw PKI. Pascaorde BaruSetelah berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, larangan penyebarluasan lagu "Genjer-Genjer" secara formal telah berakhir. Lagu "Genjer-Genjer" mulai beredar secara bebas melalui media internet. Walaupun telah diperbolehkan, masih terjadi beberapa kasus yang melibatkan stigmatisasi lagu ini, seperti terjadinya demo sekelompok orang terhadap suatu stasiun radio di Solo akibat mengudarakan lagu tersebut. Lagu "Genjer-Genjer" juga digunakan sebagai lagu pembuka dan penutup dalam serial dokumenter 40 Years of Silence yang memuat sejumlah kesaksian mengenai tahun 1965-1966.[7] Pada tanggal 9 Mei 2016, grup musik reggae asal Mojokerto, Mesin Sampink, ditangkap polisi akibat membawakan lagu berjudul "Genjer-Genjer". Namun, pihaknya sendiri menegaskan bahwa penampilan mereka sama sekali tidak berniat untuk menyebarkan komunisme di Indonesia.[8][9] Versi lainnya
Lihat pula
Referensi
Bibliografi
|