Geguritan Sucita Subudhi


Geguritan Sucita Subudhi
Disebut pulaSucita Subudhi
Bahasa(-bahasa)bahasa Bali
Ukurancm x cm
FormatGeguritan
AksaraAksara Bali
Masuk Koleksi padaBali
Salah satu latar budaya Bali yang terkandung dalam karya sastra Bali

Geguritan Sucita Subudhi adalah salah satu karangan pujangga Bali yaitu Ida Ketut Jelantik dari Geria Tegeha Banjar, Singaraja.[1][2][3] Karya sastra itu merupakan sebuah karya sastra Bali klasik yang berupa geguritan dengan jumlah pupuh atau bab yang seluruhnya 59 buah, 11 macam pupuh, dan 1841 bait.[1] Karya Ketut Jelantik yang lain adalah Geguritan Lokika, Tutur Aji Sangkya, Geguritan Gornita, Satua Men TIngkes dan Bhagawagita yang tidak terselesaikan.[1] Geguritan Sucita Subudhi mengandung konsep budaya Bali seperti dharma, tri hita karana, desa kala patra, rwa bhineda, dan karmaphala.[1]

Geguritan Sucita Subudhi sebagai Karya Geguritan

Karya sastra geguritan atau puisi dalam masyarakat Bali dikenal dengan istilah sekar alit atau macapat yaitu sebuah nyanyian yang menggunakan pupuh atau tembang.[1] Dalam masyarakat Bali terdapat 10 jenis pupuh yang diuraikan sebagai berikut:[1]

  • Pupuh Sinom dipakai untuk menggubah hal-hal yang menyangkut keindahan, kebahagiaan, kesenangan, keceriaan, kegiatan muda-mudi atau hal-hal yang menggembirakan.[1]
  • Pupuh Durma dipakai untuk menceritakan hal-hal yang menyangkut kekacauan, peperangan, kemarahan, permusuhan, atau hal yang menyangkut pertentangan.[1]
  • Pupuh Pangkur dipakai untuk melukiskan cerita yang mengandung maksud kesungguhan seperti nasihat yang bersungguh-sungguh dan mabuk asmara yang sampai puncaknya.[1]
  • Pupuh Smarandana dipakai untuk menggubah seputar asmara, kasih sayang, tangis, kesedihan, atau hal yang mengharukan.[1]
  • Pupuh Dangdang dipakai untuk menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan kecantikan wanita, keindahan alam, dan hal-hal tentang keindahan.[1]
  • Pupuh Pucung dipakai untuk menceritakan hal-hal yang lucu, nasihat dan teka-teki.
  • Pupuh Mijil dipakai untuk menguraikan nasihat tetapi dapat juga digubah untuk orang yang mabuk asmara.[1]
  • Pupuh Ginanti dipakai untuk menguraikan filsafat, cerita yang bersuasana asmara, dan keadaan mabuk cinta.[1]
  • Pupuh Maskumambang dipakai untuk melukiskan hal-hal kesedihan dan hati yang merana.[1]
  • Pupuh Ginanda dipakai untuk melukiskan kesedihan, merana atau kecewa.[1]

Geguritan Sucita Subudhi terdiri atas 1841 bait.[1] Dari sekian banyak bait itu dibentuk oleh 11 macam pupuh. Adapun kesebelas macam pupuh tersebut adalah Sinom, Pangkur, Durma, Ginanda, Ginanti, Kumambang, Warga-sari, Pucung, Smaradana, dan Sadpada Ngisep Sekar.[1] Di antarapupuh tersebut yang paling sering digunakan adalah pupuh Sinom yaitu sebanyak 15 kali.[1] Penggunaan pupuh-pupuh itu dalam Geguritan Sucita Subudhi dipilih dan disesuaikan antara tugas atau watak dari masing-masing pupuh.[1]

Konsep Budaya Bali dalam Geguritan Sucita Subudhi

  • Konsep Dharma

Dharma merupakan salah satu konsep penting dalam agama Hindhu.[1] Dharma sering disamakan artinya dengan kebenaran, kebajikan atau kewajiban dan hukum.[1] Dharma diibaratkan sebagai jalan yang halus dan sangat sejuk yang dapat melindungi dan menolong orang yang mengikuti jalan itu dari bencana.[1] Seorang yang melaksanakan dharma disebut dharmika. Orang yang menjalankan dharma hanya menginginkan satu hal yaitu kebahagiaan yang kekal dan abadi bukan kebahagiaan palsu yang ditimbulkan hal-hal keduniawian.[1][4][5]

  • Konsep Kharmapala

Karmaphala merupakan salah satu dari lima sistem keyakinan dalam agama Hindhu yang disebut Panca Sradha.[1] Karmaphala berasal dari kata karma ‘perbuatan’ dan phala ‘buah’ yang diartikan sebagai hasil dari perbuatan seseorang.[1] Inti dari pengertian karmaphala adalah bahwa sesuatu sebab akan menghasilkan suatu akibat.[1]

  • Konsep Rwa Bhineda

Rwa bhineka adalah konsep dualistis yang merefleksikan dua kategori yang berlawanan dalam hidup ini, semisal baik dan buruk atau positif dan negatif.[1] Di dalam Geguritan Sucita Subudhi, konsep ini dijelaskan secara implisit atau secara tidak langsung dalam ungkapan di dalam sesuatu yang disebutkan byakta atau seusatu yang ada selalu terkandung dua hal yang menyatu.[1] Konsep ini menyiratkan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna selain Tuhan.[1] Segala sesuatu itu pasti memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan.[1]

  • Konsep Tri Hita Karana

Tri hita karana adalah konsep tentang keselarasan hubungan yang dapat mendatangkan kebahagiaan.[1] Keselarasan hubungan tersebut meliputi tiga hal yaitu keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, keselarasan hubungan manusia dengan sesama manusia dan keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.[1] Dalam Geguritan Sucita Subudhi, konsep keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan disebut hubungan tidak nyata atau rohani sedangkan konsep keselarasan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitar.[1]

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag I Made Budiasa, I Made Subandia, Cokorda Istri Sukrawati, Ni Putu Ekatini Negari (1997). Konsep Budaya Bali Dalam Geguritan Sucita subudhi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 1-37. 
  2. ^ "Aji Sangkhya dan Ida Ketut Jelantik". Diakses tanggal 15 Mei 2014. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ "Riwayat Ida Ketut Jelantik". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-17. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  4. ^ "Rwa Bhineda". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-17. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
  5. ^ "Hukum Rwa Bhineda Berlaku Untuk Semua Makhluk Hidup Di Dunia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-17. Diakses tanggal 15 Mei 2014. 
Kembali kehalaman sebelumnya