Forensik veteriner

Mengambil data individu dari duyung grade 2 di Waisai, Raja Ampat
Visum pada duyung di Kota Waisai, Raja Ampat

Forensik veteriner atau kedokteran hewan forensik adalah cabang ilmu forensik yang digunakan terhadap pasien berupa hewan. Pemeriksaan forensik veteriner dilakukan pada kasus kejahatan atau pidana yang melibatkan hewan, seperti penyiksaan hewan, pembunuhan, hingga penyelundupan satwa liar. Dalam hal ini, ilmu medis kedokteran hewan digunakan untuk kepentingan penegakan hukum (Pro Justitia).[1]

Peran dokter hewan

Forensik veteriner membutuhkan peran dokter hewan.[2] Seorang dokter hewan melakukan pemeriksaan forensik untuk menegakkan diagnosis pada tindak pidana yang dilakukan terhadap hewan. Pemeriksaan hewan dilakukan baik dalam kondisi hidup maupun mati.

Terhadap hewan dilakukan serangkaian pemeriksaan yang menghasilkan visum et repertum. Sedangkan pada hewan yang telah mati, setelah dilakukan pemeriksaan luar dapat dilanjutkan dengan nekropsi untuk memeriksa organ dalam secara makroskopik dan mikroskopik. Data-data yang didapat disimpulkan dalam suatu diagnosis.

Dalam proses hukum, dokter hewan bertindak sebagai ahli yang diminta keterangan maupun laporan pemeriksaan berupa visum sebagai alat bukti.[3][4] Kontribusi forensik veteriner untuk memenuhi kepentingan keadilan bagi korban kekerasan, yaitu hewan, dan menindak pelaku kejahatan secara setimpal sesuai peraturan yang berlaku.[2]

Forensik veteriner dilakukan setelah seorang dokter hewan menerima perintah dalam proses penyidikan suatu kasus kriminal. Observasi terhadap bukti-bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis barang bukti berfungsi sebagai alat utama dalam penyidikan.[3] Adanya pembuktian ilmiah membuat penegak hukum tidak hanya mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi dalam penyidikan dan penyelesaian suatu perkara. Kesaksian dokter hewan menurut keahliannya dapat digunakan sebagai pertimbangan hakim memutuskan hukuman bagi pelaku tindakan kejahatan yang melibatkan satwa.[2]

Perlakuan forensik untuk satwa tidak berbeda dengan manusia. Kendala pada analisis forensik satwa adalah banyaknya spesies hewan sehingga standar yang diperlukan juga banyak.[5] Kejahatan terhadap hewan seperti pada satwa liar maupun hewan kesayangan yang paling sering dijumpai yaitu kasus kematian yang diduga dise­bab­kan oleh penyiksaan, penelantaran, pembunuhan dengan racun, penem­ba­kan, pe­nye­truman, penjeratan, dan luka-luka yang fatal.[6]

Kompetensi

Dokter hewan teregistrasi sesuai kode etik menerima perintah untuk melakukan tindakan forensik veteriner perlu memiliki sejumlah kompetensi, di antaranya melakukan olah tempat kejadian perkara, mengumpulkan data dasar forensik (antemortem), melakukan pemeriksaan postmortem secara makroskopik/mikroskopik, melakukan pengujian spesimen, dan menetapkan diagnosis akhir dengan memperhatikan ilmu patologi forensik, radiologi forensik, toksikologi forensik, entomologi forensik, genetika forensik, psikologi forensik, odontologi forensik, balistik, hingga medikolegal. [1][2][7]

Kasus

Berikut ini beberapa kasus penerapan forensik veteriner.

  • Seekor orang utan betina bernama Hope mati dan ditemukan 74 peluru bersarang di badannya. Pelakunya adalah dua orang remaja di Aceh yang kemudian dihukum wajib azan selama satu bulan.[8]
  • Tim forensik veteriner diterjunkan untuk melakukan nekropsi terhadap bekantan yang tewas akibat sengatan listrik di Pontianak, Kalimantan Barat. Hewan tersebut sebelumnya ditemukan oleh warga dalam kondisi luka dan memar setelah terjatuh dari tiang listrik.[9]
  • Konflik manusia dengan harimau di Sumatera Barat pada 2021 menyebabkan luka dan trauma pada satwa.[10] Entomotoksikologi forensik veteriner digunakan[11] untuk membuktikan dugaan toksikasi pada ternak dan satwa liar di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung.
  • Pada kejadian satwa akuatik terdampar[12] peran dokter hewan untuk mendata individu dan menganalisis penyebab terdampar hingga kematian megafauna. Pada kasus-kasus ini penegakan hukum terhadap pelestarian satwa liar dan dilindungi masih perlu diperbaiki.[13]
  • Ilmu patologi forensik digunakan dalam dugaan ketidaksesuaian penyembelihan halal pada ayam konsumsi dengan memperhatikan gambaran patomorfologi intravitalitas luka sayat penyembelihan secara makroskopis, mikroskopis, dan ultrastruktur. Kondisi ini untuk membuktikan apakah ayam disembelih dalam kondisi hidup atau sudah mati (bangkai) sebagai bagian dari asesmen halal dan pemenuhan Nomor Kontrol Veteriner (NKV).[14]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b "Bahas Forensik Veteriner, Mahasiswa FKH IPB University Dapat Ilmu soal Penegakan Hukum". Tribun News Bogor. 23 Juli 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-14. Diakses tanggal 14 Januari 2023. 
  2. ^ a b c d Agustin, Citra (16 Desember 2020). "Peran Forensik Veteriner". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-09. Diakses tanggal 9 Desember 2022. 
  3. ^ a b Yohana, Nadia (11 Desember 2018). "Dokter Hewan Forensik dan Visum et Repertum". Media Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-14. Diakses tanggal 14 Januari 2023. 
  4. ^ Oktavianto, Aditya; Arafat, Muhammad Rusli (4 Desember 2022). "Kedudukan Visum et Repertum dalam Kejahatan yang Melibatkan Hewan dalam Hukum di Indonesia". Jurnal Justitia : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora. 9 (2): 728–735. doi:10.31604/justitia.v9i2.728-735. ISSN 2579-9398. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-14. Diakses tanggal 2023-01-14. 
  5. ^ "Peran Forensik Veteriner untuk Satwa Liar Indonesia". Unair News. 9 September 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-09. Diakses tanggal 9 Desember 2022. 
  6. ^ "Forensik Satwa Membongkar Kejahatan". Analisa Daily. 6 Desember 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-10. Diakses tanggal 14 Januari 2023. 
  7. ^ "Seminar "Peran Kedokteran Forensik dalam Dunia Veteriner"". Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies. 20 Oktober 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-09. Diakses tanggal 9 Desember 2022. 
  8. ^ "Tembak Orangutan "Hope" dengan 74 Peluru, Pelaku Dihukum Azan 1 Bulan". Kompas. 31 Juli 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-16. Diakses tanggal 10 April 2023. 
  9. ^ "Tim Forensik Veteriner Otopsi Bekantan yang Tewas Tersetrum". Antara News Kalimantan Barat. 8 April 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-14. Diakses tanggal 14 Januari 2023. 
  10. ^ "Penyegaran Medis Veteriner Untuk Meningkatkan Penanganan Konflik Harimau Sumatera". KSDAE Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. 14 September 2021. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-25. Diakses tanggal 14 JANUARI 2023. 
  11. ^ Yulianti, Eva; Siswanto, Joko; Triwibowo, Bayu; Heni, Ahyul (2020). "Kajian Literatur : Rekomendasi Penerapan Entomotoksikologi Forensik Veteriner pada Investigasi Kasus Keracunan Ternak dan Satwa Liar Tingkat Lanjut di Wilayah Kerja Balai Veteriner Lampung". ISSN 2087-1279. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-14. Diakses tanggal 2023-01-14. 
  12. ^ "Flying Vet | WWF-Indonesia | Building a future in which humans live in harmony with nature". www.supporterwwf.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-14. Diakses tanggal 2023-01-14. 
  13. ^ "PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG". jdih.kemenkeu.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-14. Diakses tanggal 2023-01-14. 
  14. ^ Yulianti, Eva (2021). "Analisis Patologi Forensik Veteriner Pada Kasus Ayam Bangkai Melalui Intravitalitas Luka Sayat Penyembelihan Dengan Variasi Waktu Postmortem". Universitas Gadjah Mada. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-14. Diakses tanggal 2023-01-14. 
Kembali kehalaman sebelumnya